Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sahabat Para pejuang Indonesia (Community of National Struggle History Activists and Friends of Indonesian Warriors)

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

Tampilkan postingan dengan label PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA. Tampilkan semua postingan

CUT MEUTIA (1870-1910)

Cut Meutia lahir di Perlak, Aceh pada tahun 1870. Ia adalah seorang panglima Aceh ketika melawan Belanda. Bersama suaminya Teuku Cik Tunong ia membentuk dan menyerang patroli patroli Belanda di pedalaman Aceh. 

Belanda membujuk Cut Meutia supaya menyerah. Bujukan itu tidak berhasil. Dalam bulan Mei 1905 Teuku Cik Tunong ditangkap Belanda dan rnenjalani hukuman tembak. Sesuai pesan suaminya Cik Tunong, Cut Meutia kawin lagi dengan Pang Nangru, Pang Nangru kawan akrab Cik Tunong,

setelah itu Cut Meutia melanjutkan perjuangan. Pada 26 September 1910 terjadilah pertempuran di Paya Ciciem yang menewaskan Pang Nangru. Cut Meutia dapat meloloskan diri. Ia diserahi untuk memimpin pasukan yang berkekuatan hanya 45 orang dengan 13 pucuk senjata. 

Dengan seorang anaknya bemama Raja Sabil yang berumur sebelas tahun Cut Meutia melanjutkan perjuangan. Cut Meutia terns berjuang dan suatu hari ia terkepung dan meninggal dunia pada tahun 1910. 
Share:

TEUKU UMAR (1854 - 1899)

Teuku Umar lahir pada tahun 1854 di Meulaboh. Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau yang merantau ke Aceh pada akhir abad ke-1 7. la kemudian menikah dengan Cut Nyak Dien. 

Pada saat itu perang Aceh telah berlangsung, mula-mula ia berjuang menyelamatkan kampungnya, kemudian meluas sampai ke daerah Meulaboh. 

Kampung Darat yang menjadi markas besar Teuku Umar dapat diduduki Belanda tahun 1878. 

Teuku Umar pada tahun 1883 berdamai dengan Belanda, sebenarnya ini hanya siasat belaka, karena kemudian Teuku Umar membunuh 32 orang tentara Belanda dan berhasil merampas senjatanya.

Pada 29 Maret 1896, Teuku Umar berhasil membawa 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, uang 18.000 dollar dan peralatan lainnya. Atas kejadian ini Belanda menjadi marah dan menggerakkan pasukannya dibawah panglima Van Heutz.

Pertempuran meletus 10 Februari 1899 malam dan Teuku Umar terkena tembakan, sehingga gugur sebagai kusuma bangsa. 
Share:

CUT NYAK DIEN (1848 - 1908)

Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Aceh Besar pada tahun 1848. Ayahnya bemama Teuku Nanta Setia Ulebalang VI Mukim, seorang Aceh keturunan Minangkabau. Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang pejuang Aceh.

Tahun 1873 meletus perang Aceh dan tahun 1875 Belanda berhasil menduduki daerah VI Mukim. Dalam pertempuran melawan Belanda, suami Cut Nyak Dien meninggal dunia tahun 1878.  Sejak itu Cut Nyak Dien meneruskan perjuangan dan bersumpah untuk membalas kematian suaminya.

Pada tahun 1880 ia menikah untuk yang kedua kalinya dengan kemenakan ayahnya, yaitu Teuku Umar, seorang pejuang Aceh pula. 

Berkat kegigihan Teuku Umar dapat merebut daerah VI Mukim dari tangan Belanda tahun 1884. Teuku Umar gugur 11 Februari 1899. Sejak itu Cut Nyak Dien terus bergerilya dalam usia 50 tahun.

Setelah enam tahun lamanya Cut Nyak Dien dan pasukannya bergerilya, mereka tertangkap Belanda. Kemudian dibuang ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal 6 November 1908. 
Share:

SISINGAMANGARAJA XII (1849-1907)

Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang dikenal dengan nama Sisingamangaraja XII Jahir di BakkaraTapanuli Utara tahun 1849. Selain raja ia pun menjadi kepala adat sekaligus pemimpin agama yang disebut Parmalim. 

Rakyat suku Batak mempunyai kenyakinan bahwa raja Sisingamangaraja memiliki kesaktian dan sangat berpengaruh. Seringnya Raja Sisingamangaraja melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok menjadikan dirinya dikagumi. 

Selain sebagai pengayoman di tengah-tengah masyarakat Batak, ia dikenal juga sebagai pemimpin yang menentang kolonialisme. Sejak Belanda menduduki tanah Batak dan menempatkan kontrolir di Balige, Tarutung, Sipoholon dan tempat-tempat lain Sisingamangaraja sangat marah. 

Pada tahun 1878 ia melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda yang berada di Tarutung, Balige dan Bakkara dan pada tahun 1884 Sisingamangaraja melancarkan serangan ke daerah Tangga Batu. 

Dalam setiap serangan pasukan Sisingamangaraja XII selalu dapat meloloskan diri.

Pada 17 Juni 1907 Belanda mengetahui tempat persembunyian Sisingamangaraja XII, tempat itu dikepung. Terjadilah pertempuran sengit dan gugurlah Sisingamangaraja. 

Beliau meninggal setelah 30 tahun mengobarkan Perang Batak untuk mengusir Belanda. 

Share:

TEUNGKU CIK DI TIRO (1836-1891)

Muhammad Saman, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Cik Di Tiro, adalah pahlawan dari Aceh. Ia adalah putra dari Teungku Sjech Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro. 

Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dajah Krueng kenegerian Tjombok Lamlo, Tiro, daerah Piciie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat. 

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. 

Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Teungku Cik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinanya ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabi!. 

Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik Di Tiro. 

Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun Cik Di Tiro memakannya, akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong. 
Share:

SULTAN THAHA SYAIFUDDIN (1816-1904)

Sultan Thaha Syaifuddin dilahirkan di Keraton Tanah Pilih, Kampung Gedang, Iambi pada
pertengahan tahun 1816. Ketika kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat. Ayahnya Sultan
Muhamad Fakhruddin dikenal rakyat Jambi sebagai Sultan yang saleh dan besar jasanya terhadap pengembangan agama Islam di Jambi. 

Sejak kecil Raden Thaha Ningrat telah memperlihatkan tandatanda kecerdasan dan ketangkasan. Ia adalah seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa. Ia dididik oleh ayahnya dengan ajaran Islam yang ketat sehingga sejak kecil ia telah kelibatan sebagai seorang anak yang taat beribadah. Pelajaran tauhid meresap benar ke dalam jiwanya. Ia percaya bahwa Allah adalah Maha Kuasa, lebih berkuasa dari segala yang berkuasa di dunia ini. 

Pada pertempuran di Sungai Aro, Sultan Thaha Syaifuddin dengan panglima-panglimanya melarikan diri dan bersembunyi di beberapa tempat dari kejaran Belanda. Sejak terjadinya pertempuran di SungaiAro itu jejak Sultan Thaha tidak diketahui lagi oleh rakyat umum, kecuali oleh pembantunya yang sangat dekat. 

Cara ini mungkin disengaja agar Belanda menduga bahwa Sultan Thaha sudah meninggal dunia atau sebaliknya Belanda yang sengaja menyebarkan berita kematian Sultan Thaha yang sebenarnya masih hidup pada waktu itu.

Sultan Thaha Syaifuddin meninggal pada tanggal 26 April 1904 dan dimakamkan di Muara Tebo. 
Share:

PANGERAN ANTASARI (1809-1862)

Pangeran Antasari lahir tahun 1809. Ia adalah seorang keluarga Kesultanan Banjarmasin yang dibesarkan di luar lingkungan istana.

Rakyat yang resah akan perlakuan Belanda. menggugah P. Antasari untuk menggempur pasukan Belanda. Ia kemudian bergabung dengan kepala-kepala daerah Hulu Sungai, Marthapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas, dan lain-lain. Mereka bersepakat mengusir Belanda dari Kesultanan Banjar. 

Maka 18 April 1859 meletuslah perang pertama yang lebih dikenal dengan Perang Banjar, dibawah pimpinan Pangeran Antasari. · Perang itu berlangsung sampai belas tahun. 

Pernah pihak Belanda mengajak berunding, tetapi P. Antasari tidak pernah mau. Daerah pertempurannya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalirnantan Tengah. 

Pada tahun 1862 Pangeran Antasari merencanakan suatu serangan besar-besaran terhadap Belanda, tetapi secara mendadak, wabah cacar melanda daerah Kalimantan Selatan. P. Antasari terserang juga, sampai ia meninggal pada 11 Oktober 1862 di Bayan Begak, Kalimantan Selatan. Kemudian ia dirnakarnkan di Banjarmasin. 
Share:

SRI SUSUHUNAN PAKUBUWONO VI (1807-1848)

Raden Mas Sapardan atau Paku Buwono VI , dilahirkan di Surakarta pada 26April 1807. la putera ke 11 dari Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono V dari permaisurinya Raden Ayu Sosrokusumo. Paku Buwono VI menjadi raja tahun 1823. 

Sewaktu memerintah, pemerintah Belanda terlalu banyak ikut campur dalam urusan kerajaan. Pada tahun 1825-1830 Pangeran Diponegoro mengadakan pemberontakan. Dalam peperangan ini kerajaan Surakarta semula berpegang teguh pada pendiriannya sendiri yaitu bersikap sebagai daerah yang merdeka. Pendirian tersebut membuat Belanda menganggap Paku Buwono VI bersikap mendua sehingga membahayakan kedudukannya. Apalagi secara diam-diam Paku Buwono sering mengadakan pertemuan dan bantuan fisik kepada pasukan Diponegoro. Belanda menganggap dua bangsawan ini harus dipecah belah .

Akhirnya Belanda menyodorkan surat perjanjian kepada Paku Buwono VI yang isinya pengurangan kekuasaan raja. Dilandasi sikap anti Belanda maka suatu saat Paku Buwono meninggalkan istana selama beberapa hari ke Imogiri dan dilanjutkan ke daerah lain. Tindakan
ini oleh Belanda dianggap makar. 

Akhirnya ia ditangkap di Mantingan dan dibawa ke Surakarta. selanjutnya dibawa ke Semarang. Dari Semarang Paku Buwono diasingkan ke Ambon. Paku Buwono VI meninggal di Ambon tahun 1649, kemudian tahun 1956 makamnya dipindahkan ke Imogiri. 
Share:

MARTHA KHRISTINA TIAHAHU (± 1800-1818)

Martha Khristina Tiahahu lahir kurang lebih tahun 1800 di Nusa Laut Kepulauan Maluku. Ia anak sulung Kapitan Paulus Tiahahu. Umurnya masih 17 tahun ketika mengikuti ayahnya Kapitan Paulus Tiahahu memberontak melawan kekuasaan Belanda. 

Gadis belia ini selalu menyandang bedil mendampingi ayahnya berjuang di Nusa Laut. Dengan suatu tipu muslihat Belanda berhasil memasuki benteng Beverdijk pada lO November 1817. Mereka menangkap beberapa orang/tentara termasuk Kapitan Paulus Tiahahu dan dijatuhi hukurnan mati pada 17 November 1817. 

Setelah ayahnya meninggal, Martha Khristina Tiahahu meneruskan perjuangan dan masuk dalarn hutan. Ia berusaha mengumpulkan pasukan dan menyusun kekuatan baru.

Usaha terse but berhasil diketahui Belanda sehingga Martha Khristina ditangkap bersarna 39 orang lainnya. Ia diangkut ke Pulau Jawa sebagai pekerja paksa di perkebunan kopi. 

Dalarn perjalanan ke Pulau Jawa, diatas kapal Martha Khristina Tiahahu tidak mau bicara, makan, maupun minum. Sejak saat itu kondisinya semakin lemah dan 2 Januari 1818 ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Jenazahnya terkubur dalam pelukan ombak laut P. Nuru dan P. Tiga. 
Share:

PANGERAN DIPONEGORO (1785-1855)

Pangeran Diponegoro, nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta.

Ia adalah putera Sultan Hamengkubuwono Ill. Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Ia kemudian bertekad melawan Belanda. Kediaman Pangeran di Tegalrejo diserang Belanda pada 20 Juli 1825. 

Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya. Perjuangan Diponegoro mendapat dukungan dari kalangan bangsawan, ulama maupun petani. 

Ulama besar Kyai Mojo dan Sentot Alibasah Prawirodirdjo pun menggabungkan diri pada barisan Pangeran Diponegoro dengan menjanjikan uang sebesar 20.000 ringgit Belanda mencoba menangkap Pangeran Diponegoro. 

Usaha Belanda ini gagal, Belanda kemudian menjalankan siasat licik dengan pura-pura mengajak berunding di Magelang tahun 1830. Dalam perundingan tersebut Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Manado selanjutnya dipindah ke Ujung Pandang dan meninggal disana tanggal 8 Januari 1855. 
Share:

TUANKU IMAM BONJOL (1772 - 1864)

Peto Syarif yang lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol, lahirpada tahun 1772 di Kampung Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Ia juga pendiri negeri Bonjol, sebuah desa kecil yang diperkuat dengan benteng dari tanah liat.

Pertentangan kaum adat dengan kaum paderi ( kaum agama) melibatkan Imam Bonjol dalam perlawanan melawan Belanda.

Belanda memihak kaum adat, sedang kaum paderi dibawah pimpinan Imam Bonjol. Tahun 1824, Belanda mencoba berdamai dengan kaum paderi dengan "perjanjian masang" tetapi dilanggar oleh Belanda sendiri. Belanda menyerang Sumatera Barat dan dapat menguasai Bonjol pada tahun 1832, tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali.

Setelah berulangkali mencoba selama 3 tahun Bonjol dapat diserbu Belanda tanggal 16 Agustus 183 7 . Imam Bonjol terjebak oleh penghianatan Belanda, dia ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon, dan terakhir Manado hingga wafat tanggal 6 November 1864 dalam usia 92 tahun. 
Share:

KAPITAN PATTIMURA (1783 -1817)

Thomas Matulessy yang lebih dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, lahir di Ambon tahun 1783.

Tahun 1816 Belanda berkuasa di Maluku, sejak itu rakyat Maluku mengalami penindasan. Kekayaan Maluku dikuras dan rakyatnya dipaksa bekerja rodi. Oleh sebab itu rakyat Maluku bangkit mengadakan perlawanan, dibawah pimpinan Pattimura.

Perlawanan pertama terjadi tanggal 14 Mei 1817, banyak tentara Belanda terbunuh. Gubernur Belanda di Ambon (Mayor Beetj es) memerintahkan merebut kembali benteng tersebut, dan karena mendapat bantuan dari luar maka benteng Duurstede berhasil direbut dari pasukan Pattimura. Di Palu, barisan Pattimura juga berhasil merebut benteng Hoorn, akibatnya Belanda kembali menyerang dan berhasil menangkap Pattimura sewaktu di Siri Sori, kemudian dibawa ke Ambon. Belanda menawarkan kerjasama pada Pattimura, tetapi ditolaknya, sehingga Pattimura dijatuhi hukuman mati di tiang gantung pada tanggal 16 Desember 1817. 
Share:

NYI AGENG SERANG (1752 - 1828)

Nyi Ageng Serang atau Raden Ajeng Kustiah Retno Edi lahir tahun 1752 di Desa Serang, ± 40 km sebelah utara Solo. 

Ayahnya adalah Bupati Serang yang kemudian diangkat menjadi Panglima Perang oleh Sultan Hamengkubuwono I. Setelah Perjanjian Gianti tahun 1755, Belanda justru menyerang Desa Serang.

Pada saat itu Kustiah/Nyi Ageng Serang telah dewasa dan ikut berperang menghadapi Belanda. Ia tertangkap dan dibawa ke Yogyakarta tetapi dikembalikan lagi ke Serang.

Nyi Ageng Serang kemudian bergabung dengan pasukan Diponegoro (1825-18130). Pasukan Serang yang tangguh pernah ditugaskan Diponegoro untuk mempertahankan daerah Prambanan.

Ketika itu Nyi Ageng Serang sudah tua, sehingga terpaksa dibawa dengan tandu. Dalam berperang Nyi Ageng Serang menggunakan teknik "daun lumbu" atau daun keladi hijau. Pasukannya berkerudung daun lumbu, sehingga dari kejauhan tampak seperti tanaman keladi, namun bila musuh mendekat diserang habis-habisan.

Nyi Ageng Serang meninggal dalam usia 76 tahun pada tahun 1828 dimakamkan di Desa Beku, Kulon Progo, Yogyakarta. 
Share:

SULTAN HASANUDDIN (1631 - 1670)

Sultan Hasanuddin lahir pada tahun 1631 di Ujung Pandang. Ia putera kedua Sultan Malikusaid, Raja Gowa ke-15.

Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah Timur Indonesia yang menguasai lalu Untas perdagangan.

Pada tahun 1666 dibawah pimpinan Cornelis Speelman Belanda berusaha menundukkan kerajaankerajaan kecil, tapi belum berhasil menundukkan Gowa.

Pertempuran terus berlangsung, sehingga Gowa semakin lemah dan tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan perdamaian Bongaya. Gowa merasa dirugikan karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Belanda (dibawah pimpinan Speelman) minta bantuan tentara ke Batavia. Akibatnya Belanda berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Samba Opu tanggal 12 Juni 1669.

Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dan wafat tanggal 12 Juni 1670.
Share:

SULTAN AGUNG (1591 - 1645)

Sultan Agung Anyokrokusumo lahir tahun 159l di Yogyakarta. Ia adalah cucu dari Sutawijaya atau yang lebih dikenal dengan Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram.

Sejak tahun 1613 Sultan Agung berkuasa di kerajaan Mataram dengan keagungan dan kebijaksanaannya ia berusaha mempersatukan seluruh Jawa. Wawasannya tidak terbatas pada bidang politik dan ekonomi tetapi juga pada bidang kebudayaan yang luas dan menjangkau jauh ke depan.

Sultan Agung merupakan putra Indonesia pertama yang menyerang Belanda secara teratur dan besarbesaran. Ketika itu kompeni Belanda telah menguasai beberapa daerah di Indonesia, antara lain Batavia. Hak monopoli dagang yang dituntut Belanda sangat bertentangan dengan pendirian Sultan Agung, apalagi setelah Belanda mengadakan perampokan di Bandar Jepara.

Pertentangan ini semakin meruncing, sehingga peperangan tak dapat dihindarkan lagi. Dua kali serangan dilakukan oleh pasukan Mataram ke Batavia. Setelah serangan pertama tahun 1628 mengalami kegagalan, maka Sultan Agung menyiapkan serangan keduanya, Persiapan dilakukan dengan teliti dan seksama dan serangan kedua dimulai pada 22 Agustus 1629 dan sasarannya benteng-benteng Belanda antara lain Pare/,Holland, Robijn, dan Safier dan Diamant. Namun serangan kedua inipun gagal.

Sultan Agung wafat 1645. Ia adalah seorang yang anti penjajah dan penganut agama Islam yang taat. 
Share:

Sri Sultan HB. IX, Sang Bangsawan yang Demokratis

Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Sri Sultan Hamengkubuwono IX ( Sompilan Ngasem, Yogyakarta, 12 April 1912-Washington, DC, AS, 1 Oktober 1988 ) adalah seorang Raja Kasultanan Yogyakartadan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Beliau kita kenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun pada 12 April 1912, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Diumur 4 tahun Hamengkubuwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Universiteit Leiden, Belanda, disinilah beliau sering mendapat panggilan “SultanHenkie”.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat HB IX menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta di kemudian hari. Berbagai tradisi keraton yang kurang menguntungkan dihapusnya dan dengan alternatif budaya baru HB IX menghapusnya.

Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh itu perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mempu menemukan terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan Yogyakarta. Bila dalam masa kejayaan Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep politik keagungbinataraan yaitu bahwa kekuasaan raja adalah agung binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama), maka HB IX dengan wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa laksana.

Menentang penjajahan dan mendorong kemerdekaan Indonesia.

Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik Indonesia dengan sangat konsekuen. Segera setelah Proklamasi RI ia mengirimkan amanat kepada Presiden RI yang menyatakan keinginan kerajaan Yogyakarta untuk mendukung pemerintahan RI. Ketika Jakarta sebagai ibukota RI mengalami situasi gawat, HB IX tidak keberatan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Begitu juga ketika ibukota RI diduduki musuh, ia bukan saja tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka, namun juga mengambil inisatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada serangan oemoem 1 Maret 1949. Jelaslah bahwa ia seorang raja yang republiken. Setelah bergabung dengan RI, HB IX terjun dalam dunia politik nasional.

Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin.Berikut jabatan yang pernah di embannya :

a. Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
b. Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
c. Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 - 11 November 1947 dan 11 November 1947 - 28 Januari 1948)
d. Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
e. Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
f. Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 - 6 September 1950)
g. Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951)
h. Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
i. Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
j. Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
k. Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
l. Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
m. Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
n. Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
o. Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
p. Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
q. Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
r. Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
s. Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 - 23 Maret 1978)

Bapak Pramuka Indonesia.

Semangat menyatukan berbagai organisasi kepanduan yang tumbuh di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan terus berkobar. Hal itu membuat Presiden Soekarno lantas berkoordinasi dengan Pandu Agung, Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Pada 20 Mei 1961 terbitlah Keppres No 238 / 1961, yang melebur seluruh organisasi kepanduan pada satu wadah yaitu Gerakan Pramuka. Gerakan Pramuka diperkenalkan pada tanggal 14 Agustus 1961, dengan penyerahan Panji-Panji Gerakan Pramuka dari Presiden Soekarno kepada Sri Sultan HB IX, yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Pramuka.

Gerakan Pramuka memang lahir dari berbagai organisasi kepanduan yang tersebar di Tanah Air. Dalam masa peralihan itu peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sangat besar hingga Sri Sultan Hamengku Buwono IX dipercaya mendampingi perjalanan kepengurusan Gerakan Pramuka di tingkat nasional, yaitu sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama 4 periode untuk masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974.
Kiprah Sri Sultan Hamengku Buwono dalam pembinaan Gerakan Pramuka tidak hanya di dalam negeri. Konsep-konsep pemikiran beliau tentang kepanduan atau Gerakan Pramuka mendapat sambutan yang luar biasa. Salah satunya pidato Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Konferensi Kepramukaan Se dunia tahun 1971, mendapat sambutan yang luas. Ketika itu, Sultan mengajak organisasi kepanduan terlibat dalam pembangunan masyarakat. Alhasil, pidato itu menjadi arah baru pembinaan kepanduan di seluruh dunia.

Atas jasa-jasanya yang luar biasa bagi kepramukaan internasional, Sri Sultan dianugerahi Bronze Wolf Award pada tahun 1974, penghargaan tertinggi World Organization of the Scout Movement. Sri Sultan merupakan warganegara Indonensia yang pertama yang memperoleh penghargaan itu. Sebelumnya tahun 1973, beliau mendapat penghargaan dari Boy Scouts of America berupa Silver World Award.

Di dalam negeri, melalui Surat Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka Tahun 1988 di Dili, Timor Timur nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka, mengukuhkan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Bapak Pramuka. Gerakan Pramuka juga memberi penghargaan tertinggi kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX berupa Lencana Tunas kencana. Penghargaan tersebut juga diterima oleh Presiden ke-2 Republik Indonesia, almarhum H.M. Soeharto.

Sebagai Wakil Presiden.
Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN. Minggu malam pada 1 Oktober 1988 ia wafat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri.
Share:

Pahlawan Nasional dari Tanah Papua, Frans Kaisiepo


Mungkin, banyak yang melupakan jasa Pahlawan Nasional dari tanah Papua, Frans Kaisipo yang telahberjuang sejak masa-masa kemerdekaan RI. Tindakannya yang sangat teguh menyatakan bahwa Papua merupakan bagian dari Nusantara Indonesia, menjadikan dirinya “dipinggirkan” oleh pemerintah Belanda karena hingga setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemerintah Belanda masih bersikukuh menjadikan Papua sebagai wilayah koloninya.


Hingga pada suatu ketika di tahun 1946, Frans Kaisiepo dengan lantang mengatakan “Irian (Papua) itu merupakan bagian dari Indonesia.”

Frans Kaisiepo lahri di Wardo, Biak, 10 Oktober 1921. Pada usia 24 tahun, ia mengikuti Kursus Bestuur(Pamong Praja) di Hollandia (Jayapura) yang salah stau pengajarnya adalah Soegoro Atmoprasodjo yang merupakan mantan guru Taman Siswa (yogyakarta).

Sejak pertemuannya dengan Soegoro Atmoprasodjo, jiwa kebangsaan Frans semakin bertumbuh dan kian berjuang keras untuk menyatukan Irian (Papua) kedalam NKRI. Ketika umurnya 25 tahun, Frans menggagas berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Biak. Selain itu, pada usianya yang ke-25 tersebut, Frans menjadi anggota delegasi Papua (Nederlands Nieuw Guinea) yang kala itu membahas tentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) dalam Republik Indonesia Serikat (RIS), dimana pada saat itu Belanda memasukkan Papua dalam NIT.

Di hadapan konferensi, Frans Kaisiepo memperkenalkan nama “Irian” sebagai pengganti nama “Nederlands Nieuw Guinea”, yang secara historis dan politik merupakan bagian integral dari Nusantara Indonesia (Hindia-Belanda). Jelaslah pernyataan Frans serta merta ditolak oleh Belanda dan sejak saat itu pula Frans dipinggirkan oleh Belanda. Selain itu, ia juga dijauhkan dari segala agenda pembicaraan mengenai Papua yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada 1940-an, Frans Kaisiepo pernah menjadi Kepala Distrik d Warsa, Biak Utara dan menjelang dekade 1940an, ia sempat mengusulkan diri agar Irian (Papua) masuk ke dalam wilayah Karesidenan Sulawesi Utara. Beberapa waktu setelah pengusulan itu, ia dipenjara dan diasingkan oleh Belanda. Kemudian tahun 1961, Frans mendirikan Partai Politik Irian yang bersikap lantang menuntut penyatuan segera Irian (Papua) ke dalam NKRI.

Adanya beberapa tuntutan dari berbagai pihak agar Irian (Papua) segera diserahkan kepada pemerintah Indonesia mengakibatkan perlunya konferensi yang membicarakan hal tersebut. Oleh sebab itu, tahun 1949, digelarkan Koferensi Meja Bundar (KMB). Pada saat itu, Belanda meminta Frans Kaisiepo masuk sebagai anggota delegasi Belanda atau negara bagian BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg). Jelas hal tersebut langsung ditolak oleh Frans.

Dari hasil KMB tersebut, lahirlah keputusan tentang pengakuan kedaulatan oleh keputusan mengenai pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap seluruh wilayah NKRI, namun Belanda menunda penyerahan Papua kepada Indonesia hingga setahun kemudian. Akan tetapi, setelah setahun berjalan, Belanda tetap berusaha keras melanggengkan politik kolonialnya di Papua.

Berbagai jalur diplomasi pun terus dilakukan Pemerintah Indonesia, namun Belanda semakin bersikukuh mempertahankan kolonialisasinya terhadap Papua bahkan semakin terlihat keinginan Belanda menyiapkan “Negara Papua”.

Setelah melewati beberapa konfrontasi, pada 4 Agustus 1969 dilaksanakanlah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang pada saat itu Frans masih menjadi Gubernur Papua. Jelas Frans Kaisiepo sangat berperan dalam pelaksanaan Pepera tersebut.

Hasil dari dari Pepera tersebut adalah suara bulat dari masyarakat Papua adalah tetap bergabung dengan Indonesia. Pelaksanaan Pepera diawasi langsung oleh utusan Sekjen PBB (diplomat Bolivia, Fernando Ortiz Sanz selaku wakil PBB untuk Irian Barat) serta dihadiri oleh beberapa duta besar dari negara lain.

Melalui Resolusi No.2504 pada tanggal 19 November 1969, secara resmi Papua dinyatakan kembali ke dalam pangkuan NKRI.

Tentulah Frans Kaisiepo sangat berjasa dalam perebutan kemerdekaan Irian (Papua) dari pemerintah Belanda. Oleh sebab itu, pemerintah RI menganugerahi penghargaan Trikora dan Pepera kepada Frans Kaisiepo.

Sangat jelas bukan, bahwa Papua memang jelas bagian Indonesia sejak dahulu kala. Perjuangan para Pahlawan Nasional dari tanah Papua juga turut mewarnai penyatuan NKRI. Lah sekarang kok iya, penerusnya malah berkhianat terhadap jasa para pahlawannya?

Jelas tertulis diatas, bahwa keinginan mendirikan “Negara Papua” adalah keinginan Pemerintah Belanda, bukan keinginan dari para pahlawan yang berjuang mati-matian ingin memerdekakan wilayah Papua dari jajahan Belanda.
Share:

Haji Agus Salim - pejuang kemerdekaan Indonesia

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.

Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.

Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.

Karya tulis
  • Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
  • Dari Hal Ilmu Quran
  • Muhammad voor en na de Hijrah
  • Gods Laatste Boodschap
  • Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi koleganya, Oktober 1954)
Karya terjemahan
  • Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya Shakespeare)
  • Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard Kipling)
  • Sejarah Dunia (karya E. Molt)
Karier politik

Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.

Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
  • anggota Volksraad (1921-1924)
  • anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
  • Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
  • pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.

Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.
Share:

Siauw Giok Tjhan

Siauw Giok Tjhan (lahir di Kapasan, Simokerto, Surabaya, Jawa Timur, 23 Maret 1914 – meninggal di Leiden, Belanda, 20 November 1981 pada umur 67 tahun) adalah seorang politikus pejuang dan tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia dari golongan Tionghoa-Indonesia.

Ayahnya bernama Siauw Gwan Swie, seorang peranakan dan ibunya Kwan Tjian Nio, seorang totok. Memiliki adik bernama Siauw Giok Bie. Siauw pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA. Salah satu warisan buah karya Siauw ialah Universitas Trisakti yang dulu didirikan oleh Baperki dengan nama Universitas Res Publika, yang kemudian diubah namanya menjadi Universitas Trisakti. Siauw Giok Tjhan wafat di Belanda pada tanggal 20 November l98l, beberapa menit sebelum memberikan ceramah di Universitas Leiden.

Siauw sejak kecil sudah mempunyai watak perlawanan atas penghinaan dan ketidakadilan yang menimpa diri dan kelompok etnisnya. Saat itu, ejekan "cina loleng" sering sekali dilayangkan oleh kelompok anti-Tionghoa untuk merendahkan orang-orang Tionghoa. Begitulah, dengan kemahiran kung-fu yang dipelajari dari kakeknya, memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi melawan anak-anak Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek dirinya. Istilah "cina-loleng" adalah salah satu penghinaan yang biasa dilontarkan untuk etnis Tionghoa. Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam memperjuangkan keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus dihadapi. Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda, ia terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya, Siauw Giok Bie yang masih harus meneruskan sekolah itu.

Orang sederhana

Ada beberapa peristiwa yang memperlihatkan Siauw Giok Tjhan adalah seorang yang sangat sederhana, keras pada diri-sendiri, tapi sabar pada orang lain.
Begitu keras dan disiplinnya tidak menggunakan milik umum untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Tan Gien Hwa, istrinya ketika di Malang, September 1947 akan melahirkan anak ke-4. Adik satu-satunya, Siauw Giok Bie hendak menggunakan mobil Palang Biru. Ia melarang Siauw Giok Bie untuk mengantar kakak iparnya (Ny. Siauw Giok Tjhan) ke rumah sakit dengan menggunakan fasilitas umum. Palang Biru adalah organisasi Angkatan Muda Tionghoa untuk memberikan pertolongan pertama kepada prajurit-prajurit yang terluka di garis depan melawan agresi militer Belanda. Beruntung, sekalipun harus diantar dengan naik becak, Ibu Siauw Giok Tjhan bisa melahirkan Siauw Tiong Hian dalam keadaan selamat.

Pada saat ia dilantik menjadi menteri negara Urusan Minoritas oleh Kabinet Amir Syarifudin, Siauw yang belum mendapatkan mobil menteri, hanya bisa naik andong (kereta kuda) untuk ke Istana. Tapi malang, ternyata andong dilarang memasuki halaman Istana, terpaksa ia turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Keraton Yogyakarta. Pada saat itu ia juga terbentur dengan masalah rumah tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah yang bisa diberikan kepadanya sebagai menteri negara. Pada saat itu, menteri yang datang dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel Merdeka. Tapi untuk menghemat pengeluaran uang negara, Siauw memilih tinggal di gedung kementerian negara, di Jalan Jetis, Yogya, dan harus tidur di atas meja tulis.

Kesederhanaan hidup sehari-hari, sebagaimana biasa kemana-mana hanya mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih sering terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan bersepatu sandalet saja itu, beliau harus berkali-kali dianggap sebagai orang kere yang tidak perlu dilayani oleh noni-noni pejabat administrasi kenegaraan Indonesian pada saat beliau harus menemui Menteri-Menteri atau Presiden-Direktur Bank. Tapi, itulah pembawaan Siauw yang sangat bersahaja, yang dikagumi oleh kawan-kawan maupun lawan-lawan politiknya.

Salah satu warisan buah karya Siauw ialah Universitas Trisakti yang dulu didirikan oleh Baperki dengan nama Universitas Res Publika, yang kemudian diubah namanya menjadi Universitas Trisakti.

Pak Siauw mendirikan universitas yang pertama bernama Universitas Baperki, saya tau persis karena setelah saya lulus dari ITB, dicari professor saya untuk memberikan kuliah Differential dan Intergral, profesor itu adalah panitya pembentukan universitas Baperki, kemudian diubah menjadi Universitas Res Publika dimana saya telah tidak mengajar lagi.

Konsep Integrasi

"Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia" adalah semboyan yang untuk pertama-kalinya dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui Harian MATAHARI di Semarang sejak tahun 1933-1934. Dan semboyan ini benar-benar menjadi keyakinan-hidup Siauw Giok Tjhan sejak masa muda, berjuang menjadi putra ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan putra-putra Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan memperjuangkan kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama.
Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganut konsep Integrasi yaitu konsep menjadi Warga Negara dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing masing komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep Integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan ini sangat identik dengan teori "pluralisme" atau "multikulturalisme".

Menurut Siauw Giok Tjhan, Indonesian Race - Ras Indonesia - tidak ada. Yang ada adalah "Nasion" Indonesia, yang terdiri dari banyak suku bangsa. Siauw berpendapat, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa adalah bagian dari "Nasion" Indonesia. Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mencanangkan konsep integrasi, sebagai metode yang paling efektif dalam mewujudkan "Nasion" Indonesia - Nasion yang ber-Bhineka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi bersatu. Setiap suku, termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh "Nasion" Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga aspirasi "Nasion" Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku. Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan bahwa setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia.
Menentang Asimilasi

Menurut Siauw Giok Tjhan, kecintaaan seseorang terhadap Indonesia, tidak bisa diukur dari nama, bahasa dan kebudayaan yang dipertahankannya, melainkan dari tindak tanduk dan kesungguhannya dalam berbakti untuk Indonesia. Konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kawin campuran dengan suku non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia.

Oleh karena itu Siauw Giok Tjhan menentang konsep asimilasi yang dikembangkan oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), dibawah kepemimpinan Kristoforus Sindhunata pada awal 1960-an. LPKB yang dimotori oleh para politisi katolik seperti Harry Tjan Silalahi, Onghokham dsb mencanangkan asimilasi sebagai "terapi" penyelesaian masalah Tionghoa. Dengan asimilasi mereka bermaksud golongan Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoaan-nya dengan menanggalkan semua kebudayaan Tionghoa, mengganti nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama Indonesia dan kawin campur antar ras. Dengan demikian, golongan Tionghoa tidak lagi bereksistensi sebagai golongan terpisah dari golongan mayoritas. Kalau ini dijalankan, LPKB menyatakan, lenyaplah diskriminasi rasial.

Siauw tidak menentang proses asimilasi yang berjalan secara suka-rela dan wajar. Yang ia tentang adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan, karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genosida, seperti yang dialami oleh golongan Yahudi pada masa Perang Dunia ke II.

Putra bungsu Siauw Giok Tjhan yang bernama Siauw Tiong Djin menyatakan bahwa efek samping dari penerapan konsep Asimilasi yang pada awalnya dipercaya mempunyai maksud baik, namun pada saat pelaksanaannya oleh penguasa Orde Baru, kebijakan asimilasi itu dijadikan Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang bentuknya memaksa, sehingga timbulah larangan yang kita alami selama 32 tahun tersebut. Sejarah membuktikan bahwa akibat dari itu semua akhirnya meledak pada Kerusuhan Mei 1998, dimana terjadi pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan terhadap kelompok minoritas Tionghoa.

BAPERKI

Siauw Giok Tjhan adalah ketua umum Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), sebuah organisasi massa yang didirikan pada suatu pertemuan di Gedung Sin Ming Hui di Jakarta pada 13 Maret 1954. Pertemuan ini dihadiri oleh 44 orang Tokoh Tionghoa, kebanyakan dari mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti PERWITT (Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa) yang berpusat di Kediri, PERWANIT (Persatuan Warga Indonesia Tionghoa) yang berdiri di Surabaya dan PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan) yang berdiri di Makassar. Semua peserta adalah peranakan Tionghoa yang umumnya berpendidikan Belanda. Sebagian besar dari mereka berasal dari Jawa, tetapi ada pula sebagian yang berasal dari luar Jawa, seperti Padang, Palembang, dan Banjarmasin.

Mereka mewakili semua spektrum politik di Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan, seperti Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auwyong Peng Koen, Tan Siang Lian. Tokoh-tokoh golongan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Jang Goan, dan mereka yang bergaris netral, seperti Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian dan Liem Koen Seng (adik Liem Koen Hian).

Siauw Giok Tjhan terpilih sebagai Ketua Umum, sementara wakil ketuanya adalah Oei Tjoe Tat, Khoe Woen Sioe, The Pek Siong, dan Thio Thiam Tjong. Baperki Cabang Jakarta dibentuk pada 14 Maret 1954 dan diketuai oleh Sudarjo Tjokrosisworo (seorang pribumi Indonesia).
Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw Giok Tjhan sebagai wakilnya.

Pada tahun 1958 Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki mulai berpikir untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi. Maka pada tahun itu dibukalah Akademi Fisika dan Matematika yang tujuan utamanya adalah mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah itu, pada 1959, dibuka pula Kedokteran Gigi (September), dan Teknik (November). Pada 1962 dibuka Fakultas Kedokteran dan Sastra. Rektor pertama Universitas Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi menteri dalam beberapa kabinet di masa demokrasi parlementer.

Pada 1962, nama Universitas Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica yang biasa disingkat sebagai URECA, dengan cabang-cabang di berbagai kota di Jawa dan Sumatra. Setelah peristiwa G30S, Universitas Res Publica ditutup, dan gedungnya diambil alih oleh pemerintah. URECA di Jakarta kemudian dibuka kembali dengan kepengurusan yang baru, dengan nama Universitas Trisakti.

Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave dan C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.

Setelah tragedi Gerakan 30 September 1965, Baperki dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru karena dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Sejumlah aktivisnya, seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili.
Partai Tionghoa Indonesia

Siauw Giok Tjhan memasuki kancah politik nasional Indonesia melalui proses pembentukan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang dipelopori oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Berusia 18 tahun, Siauw menjadi salah seorang pendiri PTI termuda. PTI berkembang sebagai aliran terbaru di dalam komunitas Tionghoa di zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua Tionghoa di kawasan Hindia Belanda, terutama yang lahir di sana, untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Argumentasinya, menurut perspektif masa kini, sangat masuk di akal. Orang Tionghoa pada umumnya lahir, hidup dan meninggal di Indonesia. Setelah hidup bergenerasi, kaitan dengan Tiongkok semakin berkurang.

PTI mendukung berdirinya GERINDO (Gerakan Rakyat Indonesia) pada tanggal 18 Mei 1937, yang berdasarkan keputusan Kongres di Palembang, menerima Oei Gee Hwat (Sekretaris Pengurus Besar PTI) menjadi salah seorang pengurus GERINDO. Ketika itu, GERINDO dibawah pimpinan A.K. Gani, Amir Syarifudin, Mohammad Yamin dan lain lain melanjutkan usaha perjuangan tokoh-tokoh PNI, Partindo, yang di-Digul-kan dan masih dalam pembuangan. Jadi, GERINDO menjalankan garis demokrasi yang mengutamakan perlawanan terhadap fasisme dan tidak mempersoalkan warna-kulit yang berbeda, bisa membuka pintu untuk menerima etnis Tionghoa.

Perkawinan Sosialisme dan Kapitalisme

Siauw Giok Tjhan dianggap sebagai tokoh yang memperjuangkan hak komunitas Tionghoa. Akan tetapi sebenarnya ia senantiasa bersandar atas prinsip yang dianugrahi PTI sejak tahun 1932, yaitu pemecahan masalah Tionghoa tidak terpisahkan dari masalah nasional Indonesia. Karena prinsip ini, Siauw Giok Tjhan kerap melontarkan pandangan-pandangan, di dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, yang sifatnya membenahkan struktur Indonesia secara keseluruhan.

Pada tahun 1950-an, Siauw tekun menyebar-luaskan pandangannya dalam hal pengembangan ekonomi domestik. Pada hakekatnya, ia menganjurkan dilaksanakannya sebuah kebijakan ekonomi pemerintah yang menyuburkan pada usaha yang dikelola oleh para pedagang Indonesia tanpa memandang latar belakang ras si pedagang.

Argumentasinya, modal domestik ini sangat dibutuhkan untuk membangun ekonomi Indonesia dan pengkonsolidasian usaha domestik akan mempercepat kemakmuran yang bisa diarahkan kemerataannya.

Siauw menentang digalakkannya usaha-usaha raksasa yang dikelola oleh kekuatan multi-nasional karena menurutnya keuntungan usaha semacam ini, yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan negara akan ditarik keluar dari Indonesia. Ia beranggapan kebijakan ekonomi yang membunuh usaha domestik dan membangun jaringan multi-nasional akan merugikan Indonesia.

Bilamana modal domestik dikembangkan, ia berargumentasi, keuntungan yang diperoleh akan dipergunakan oleh para pengusaha domestik untuk mengembangkan usahanya, sehingga Indonesia secara keseluruhan memperoleh faedahnya. Pandangan ekonomi digambarkan di atas sebenarnya mencanangkan "perkawinan" antara paham sosialisme dan kapitalisme. Ia menginginkan kapitalisme skala domestik berkembang untuk mempercepat proses perwujudan sosialisme ala Indonesia.

Pada tahun 1950-an, pandangan ekonomi Siauw cukup banyak ditentang oleh beberapa tokoh PKI di parlemen, seperti Sakirman. Mereka mempromosikan konsep ekonomi sosialisme yang menghendaki kapitalisme dikikis habis.

Kedekatan Siauw dengan Bung Karno dan para tokoh politik di zaman Demokrasi Terpimpin memungkinkan pandangan ekonomi ini masuk ke dalam kebijakan ekonomi yang tercantum di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1964.

Sayangnya kebijakan ini tidak pernah dilaksanakan karena kekuasaan politik beralih ke tangan Soeharto lebih tertarik ke arah Kapitalisme.
Share:

Sejarah Singkat Kapten Tubagus Muslihat


Belum banyak orang tau, apabila jalan Kapten Muslihat yang setiap harinya tidak pernah dilalui kendaraan bermotor dan pejalan kaki itu ternyata menyimpan nilai sejarah tentang gugurnya seorang pejuang muda di masa revolusi, bahkan karena perjuangan dan pengorbanannya, selain nama besarnya diabadikan menjadi nama jalan tersebut, dibagian jalan lain tersebut didirikan pula monumennya, itulah monumen yang selama ini kita kenal sebagai Kapten Muslihat. Akan tetapi tahukah anda, siapa kapten Muslihat itu ?.

Tubagus Muslihat lahir di Pandeglang, hari Senin tanggal 26 oktober 1926, bertepatan dengan terjadinya aksi pemogokan buruh komunis yang saat itu tengah gencar-gencarnya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Pendidikan formal Tb Muslihat diawali dari HIS Rangkas Bitung, akan tetapi, hanya sampai kelas 3, karena ia harus ikut pindah bersama orang tuanya ke Jakarta. Di Jakarta ia melanjutkan kembali pada tingkat sekolah yang sama hingga selesai.

Tamat dari HIS tahun 1940. kemudian dilanjutkan ke MULO sampai kelas 2. Sekeluarnya dari MULO, Tb Muslihat bekerja di BOSBOW Proefstasiun (Balai Penelitian Kehutanan) yang terletak di Gunung Batu Bogor, akan tetapi baru sebulan kerja disana, terjadi perang Pasifik, perang yang memaksa tentara dan pemerintahan Belanda menyerah kepada Jepang.

Sejak saat itu, tepatnya tahun 1942, kota Bogor dikusai oleh Dai Nippon. Sejalan dengan itu, Tb Muslihat berpindah kerja ke Rumah Sakit Kedung Halang Bogor, dan menjadi juru rawat, tetapi tidak lama kemudian pindah lagi ke jawatan kehutanan.

Situasi Kota Bogor dibawah kepemimpinan Dai Nippon tidak lebih baik dari Pemerintahan Jepang dikenal dengan pemerintahan militer, segala kebijakan diserahkan kepada pucuk pimpinan angkatan perang di daerah kekuasannya masing-masing, garis kebijakan dibicarakan langsung dengan Markas Besar Angkatan perang, sedangkan pelaksanaan dari kebijakan tersebut sepenuhnya berada ditangan mentri pertahanan dan para Panglima Daerah pendudukannya masing-masing, hal semacam ini sudah merupakan watak dari penjajah.

Seiring dengan didirikannya tentara pembela tanah air PETA pada bulan oktober Tb Muslihat meninggalkan pekerjaannya, ia mendaftarkan diri menjadi tentara sukarelawan Pembela Tanah Air PETA, setelah melalui beberapa test, Tubagus Muslihat berhasil lulus dan diterima sebagai tentara PETA dengan pangkat, ia dimasukan kedalam kategori pemuda-pemuda cakap dan berani, emudian dipilih menjadi Shudanco (komandan Seksi atau peleton) bersamaan dengan Ibrahin Ajie, M Ishak Juarsa, Rahmat Padma, Tarmat, Suwardi, Abu Usman,Rojak dan Bustami.

Pada tanggal 14 Agustus 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki Jepang dibom oleh tentara sekutu, pada saat itu sikap tentara jepang tampak kebingungan, Seluruh anggota PETA yang ada di Asramanya langsung dibubarkan oleh tentara Jepang, dengan catatan senjata dan peralatan perang lainnya harus ditanggalkan, namun demikian ada juga beberapa orang yang berhasil keluar dari asrama tersebut dengan membawa senjata dan pedang, salah satunya adalah Shudanco Muslihat.

Dengan bermodalkan senjata curian itulah kapten Muslihat bersama rekan-rekannya meneruskan perjuangannya dan ikut bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang bekerjasama dengan organisasi API, AMRI, KRIS dab PESINDO, disamping tugas mereka menjaga keamanan didalam kota, gerakan yang merwka lakukan pun berusaha mengumpulkan dan merebut senjata dari tangan Jepang.

Selanjutnya perjuangan mereka lebih meluas dengan merebut kantor-kantor yang di duduki tentara Jepang hingga menjadi milik Republik Indonesia. Karena Kapten Muslihat sangat dikenal sebagai seorang komandan yang tegas, maka perintahnyapun selalu dikuti oleh seluruh anak buahnya.

Pada tahun yang sama 1945. secara de jure dan de facto pemerintahan Republik Indonesia resmi didirikan di kota Bogor, pada saat itu BKR dibubarkan dan dirubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) oleh Jenderal Urip Sumoharjo, sedangkan Tubagus Muslihat diangkat menjadi Kapten dan ditugaskan sebagai komandan Kompi IV Batalion II TKR.

Pada bulan Oktober 1945, situasi kota Bogor sangat genting, tentara Inggris dan Gurkha memasuki daerah Bogor, ditunggangi oleh tentara NICA, pertama kali yang mereka datangi adalah tengsi Batalyon XVI bekas tentara jepang yang memang sudah di kosongkan, merasa sudah kuat, tentara Inggris dan Gurkha melebarkan kekuasaannya dengan menduduki Kota Paris, tempat nyonya-nyonya dan anak-anak Belanda (RAOPWI) dikumpuilkan. Dlam waktu singkat dan tanpa melalui proses peperangan Kota Paris dapat direbut dengan mudah oleh tentara Inggris dan dijadikan wilayahnya,

Kadaan di dalam kota Bogor saai itu semakin kacau, tentara Inggris ternyata lebih sombong daripada Belanda, mereka mencoba merebut Istana yang waktu itu dijaga ketat oleh pemuda-pemuda Bogor. Dalam situasi yang cukup panas itu, perundingan antara pembesar kota Bogor dan Inggris segera dilakukan, tetapi perundingan itu gagal, tentara Inggris berhasil memasuki istana Bogor. dengan berat hati pejuang-pejuang Bogor meninggalkan Istana.

Akibat sikap tentara Inggris yang menyakitkan hati rakyat, maka pada tanggal 6 Desember 1945, seluruh masyarakat Bogor mengadakan pemberontakan, kendati hanya bersenjatakan bambu runcing, golok, pedang dan persenjataan alakadarnya, akan tetapi peperangan berlangsung sengit dan menggetarkan, terutama disekitar Istana Bogor dan Kota Paris.

Ditengah situasi Kota Bogor yang kian memanas dan berbau maut itu, Kapten Muslihat bersama pasukannya melakukan penyerangan kemarkas-markas yang diduduki tentara Inggris dan Gurkha, padahal waktu itu istri kapten Muslihat dalam keadaan mengandung, makanya setiap kali akan melakukan peperangan kapten yang berusia relatif muda itu selalu berpesan kepada istrinya supaya ia dapat menjaga sijabang bayi, bahkan untuk menghibur dan menenagkan hati istrinya kapten muslihat sering berkata apabila kelak anaknya lahir akan ia beri nama merdeka.

Hingga suatu hari yang nahas, tepatnya tanggal 25 Desember 1945, Kapten Muslihat bersama pasukannya melakukan penyerangan kekantor Polisi yang terletak di jalan Banten (sekarang jalan Kapten Muslihat), dalam penyerangan tersebut ikut turut pula Gustiman (adik kandung kapten Muslihat).

Kontak senjatapun terjadi mewarnai penyerangan itu. Akan tetapi pertahanan tentara Inggris dan Gurkha sangat kuat. Merasa kesal karena serangan yang dilakukannya belum dapat mematahkan kekuatan musuh, maka kapten Muslihat keluar dari tempat persembunyian dan melakukan pennyerangan penyerangan secara terbuka.

Awalnya serangan yang dilancarkan ditempat terbuka memang banyak mengakibatkan beberapa pihak musuh ambruk diterjangan peluru yang dimuntahkan dari senjatanya. Akan tetapi tiba-tiba sebutir peluru dari pihak musuh mengenai bagian perutnya. Darah mengucur dari perut kapten muslihat. Seperti banteng terluka, kapten Muslihat terus menyerbu menembaki musuhnya hingga ia tidak memperdulikan lagi berapa peluru yang sudah bersarang ditubuhnya akibat serangan balik yang dilancarkan yang dilancarkan musuh.

Melihat kondisi yang menyakitkan dan menyayat hati siapapun yang melihatnya. Gustiman memburu kearah kapten Muslihat dan berusaha untuk menolongnya, tetapi kapten muslihat memerintahkan supaya adiknya menyingkir dari lokasi tersebut, ia khawatir akan semakin menambah korban, sampai ketika sebuah peluru lagi menerjang bagian punggungnya, barulah seketika itu tubuh Kapten Muslihat jatuh tersungkur mencium bumi, darah segar bersimbah memenuhi badannya, dfan kaos oblong putih polos yang dikenakannya berubah menjadi merah.

Sekalipun sangat sulit untuk menarik tubuh kapten Muslihat dari arena pertempuran karena terus menerus dihujani peluru, tapi berkat kesigapan PMI dan pasukan yang dipimpinnya, akhirnya tubuh kapten muslihat berhasil juga ditarik keluar dari arena pertempuran dan diboyong kerumahnya yang terletak di Panaragan.

Sebelum menghebuskan napas terakhirnya, Kapten Muslihat berwasiat kepada istri dan keluarganya, supaya uang simpanannya yang berjumlah Rp 600 (uang kertas Jepang) disedekahkan kepada fakir miskin, sedangkan kepada kolega dan beberapa anak buahnya beliau berpesan agar meneruskan perjuangannya.”Kita pasti menang dan Indonesia pasti merdeka!!!. Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar” seiring dengan berakhirnya takbir tersebut, tubuh kapten Muslihat mengejang dan diam tak bergerak untuk selamanya, inalilahi wainailahi rojiun. Peninggalkan kapten Muslihat disaksikan oleh Dr Marjuki Mahdi. dari berbagai sumber
Share:

Postingan Populer KCPI