Siauw Giok Tjhan (lahir di Kapasan, Simokerto, Surabaya, Jawa Timur, 23
Maret 1914 – meninggal di Leiden, Belanda, 20 November 1981 pada umur 67
tahun) adalah seorang politikus pejuang dan tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia dari golongan Tionghoa-Indonesia.
Ayahnya bernama Siauw Gwan Swie, seorang peranakan dan ibunya Kwan
Tjian Nio, seorang totok. Memiliki adik bernama Siauw Giok Bie. Siauw
pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP,
anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu
1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA.
Salah satu warisan buah karya Siauw ialah Universitas Trisakti yang
dulu didirikan oleh Baperki dengan nama Universitas Res Publika, yang
kemudian diubah namanya menjadi Universitas Trisakti. Siauw Giok Tjhan
wafat di Belanda pada tanggal 20 November l98l, beberapa menit sebelum
memberikan ceramah di Universitas Leiden.
Siauw sejak kecil
sudah mempunyai watak perlawanan atas penghinaan dan ketidakadilan yang
menimpa diri dan kelompok etnisnya. Saat itu, ejekan "cina loleng"
sering sekali dilayangkan oleh kelompok anti-Tionghoa untuk merendahkan
orang-orang Tionghoa. Begitulah, dengan kemahiran kung-fu yang
dipelajari dari kakeknya, memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi
melawan anak-anak Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek dirinya.
Istilah "cina-loleng" adalah salah satu penghinaan yang biasa
dilontarkan untuk etnis Tionghoa. Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam
memperjuangkan keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus
dihadapi. Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda,
ia terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah
meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya, Siauw Giok Bie yang masih
harus meneruskan sekolah itu.
Orang sederhana
Ada
beberapa peristiwa yang memperlihatkan Siauw Giok Tjhan adalah seorang
yang sangat sederhana, keras pada diri-sendiri, tapi sabar pada orang
lain.
Begitu keras dan disiplinnya tidak menggunakan milik umum
untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Tan Gien Hwa, istrinya
ketika di Malang, September 1947 akan melahirkan anak ke-4. Adik
satu-satunya, Siauw Giok Bie hendak menggunakan mobil Palang Biru. Ia
melarang Siauw Giok Bie untuk mengantar kakak iparnya (Ny. Siauw Giok
Tjhan) ke rumah sakit dengan menggunakan fasilitas umum. Palang Biru
adalah organisasi Angkatan Muda Tionghoa untuk memberikan pertolongan
pertama kepada prajurit-prajurit yang terluka di garis depan melawan
agresi militer Belanda. Beruntung, sekalipun harus diantar dengan naik
becak, Ibu Siauw Giok Tjhan bisa melahirkan Siauw Tiong Hian dalam
keadaan selamat.
Pada saat ia dilantik menjadi menteri negara
Urusan Minoritas oleh Kabinet Amir Syarifudin, Siauw yang belum
mendapatkan mobil menteri, hanya bisa naik andong (kereta kuda) untuk ke
Istana. Tapi malang, ternyata andong dilarang memasuki halaman Istana,
terpaksa ia turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Keraton
Yogyakarta. Pada saat itu ia juga terbentur dengan masalah rumah
tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah yang bisa diberikan
kepadanya sebagai menteri negara. Pada saat itu, menteri yang datang
dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel Merdeka. Tapi untuk
menghemat pengeluaran uang negara, Siauw memilih tinggal di gedung
kementerian negara, di Jalan Jetis, Yogya, dan harus tidur di atas meja
tulis.
Kesederhanaan hidup sehari-hari, sebagaimana biasa
kemana-mana hanya mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih
sering terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan
bersepatu sandalet saja itu, beliau harus berkali-kali dianggap sebagai
orang kere yang tidak perlu dilayani oleh noni-noni pejabat administrasi
kenegaraan Indonesian pada saat beliau harus menemui Menteri-Menteri
atau Presiden-Direktur Bank. Tapi, itulah pembawaan Siauw yang sangat
bersahaja, yang dikagumi oleh kawan-kawan maupun lawan-lawan politiknya.
Salah satu warisan buah karya Siauw ialah Universitas Trisakti yang
dulu didirikan oleh Baperki dengan nama Universitas Res Publika, yang
kemudian diubah namanya menjadi Universitas Trisakti.
Pak Siauw
mendirikan universitas yang pertama bernama Universitas Baperki, saya
tau persis karena setelah saya lulus dari ITB, dicari professor saya
untuk memberikan kuliah Differential dan Intergral, profesor itu adalah
panitya pembentukan universitas Baperki, kemudian diubah menjadi
Universitas Res Publika dimana saya telah tidak mengajar lagi.
Konsep Integrasi
"Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia"
adalah semboyan yang untuk pertama-kalinya dikumandangkan Kwee Hing
Tjiat melalui Harian MATAHARI di Semarang sejak tahun 1933-1934. Dan
semboyan ini benar-benar menjadi keyakinan-hidup Siauw Giok Tjhan sejak
masa muda, berjuang menjadi putra ter-baik Indonesia yang tidak ada
bedanya dengan putra-putra Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan
memperjuangkan kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama.
Dalam
menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganut
konsep Integrasi yaitu konsep menjadi Warga Negara dan menjadi bagian
dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya
tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing masing
komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep Integrasi yang
diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan ini sangat identik dengan teori
"pluralisme" atau "multikulturalisme".
Menurut Siauw Giok
Tjhan, Indonesian Race - Ras Indonesia - tidak ada. Yang ada adalah
"Nasion" Indonesia, yang terdiri dari banyak suku bangsa. Siauw
berpendapat, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi
di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku
Tionghoa adalah bagian dari "Nasion" Indonesia. Berdasarkan pengertian
inilah, Siauw mencanangkan konsep integrasi, sebagai metode yang paling
efektif dalam mewujudkan "Nasion" Indonesia - Nasion yang ber-Bhineka
Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi bersatu. Setiap suku, termasuk suku
Tionghoa, harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh "Nasion"
Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga
aspirasi "Nasion" Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku. Berpijak
di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan bahwa setiap suku tetap
mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama
dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia.
Menentang Asimilasi
Menurut Siauw Giok Tjhan, kecintaaan seseorang terhadap Indonesia,
tidak bisa diukur dari nama, bahasa dan kebudayaan yang
dipertahankannya, melainkan dari tindak tanduk dan kesungguhannya dalam
berbakti untuk Indonesia. Konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno
pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa
adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya,
ataupun agamanya, atau menjalankan kawin campuran dengan suku
non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia.
Oleh karena itu
Siauw Giok Tjhan menentang konsep asimilasi yang dikembangkan oleh
Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), dibawah kepemimpinan Kristoforus
Sindhunata pada awal 1960-an. LPKB yang dimotori oleh para politisi
katolik seperti Harry Tjan Silalahi, Onghokham dsb mencanangkan
asimilasi sebagai "terapi" penyelesaian masalah Tionghoa. Dengan
asimilasi mereka bermaksud golongan Tionghoa menghilangkan
ke-Tionghoaan-nya dengan menanggalkan semua kebudayaan Tionghoa,
mengganti nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama Indonesia dan kawin
campur antar ras. Dengan demikian, golongan Tionghoa tidak lagi
bereksistensi sebagai golongan terpisah dari golongan mayoritas. Kalau
ini dijalankan, LPKB menyatakan, lenyaplah diskriminasi rasial.
Siauw tidak menentang proses asimilasi yang berjalan secara suka-rela
dan wajar. Yang ia tentang adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan
identitas sebuah golongan, karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke
genosida, seperti yang dialami oleh golongan Yahudi pada masa Perang
Dunia ke II.
Putra bungsu Siauw Giok Tjhan yang bernama Siauw
Tiong Djin menyatakan bahwa efek samping dari penerapan konsep Asimilasi
yang pada awalnya dipercaya mempunyai maksud baik, namun pada saat
pelaksanaannya oleh penguasa Orde Baru, kebijakan asimilasi itu
dijadikan Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang bentuknya memaksa,
sehingga timbulah larangan yang kita alami selama 32 tahun tersebut.
Sejarah membuktikan bahwa akibat dari itu semua akhirnya meledak pada
Kerusuhan Mei 1998, dimana terjadi pembunuhan, penjarahan dan
pemerkosaan terhadap kelompok minoritas Tionghoa.
BAPERKI
Siauw Giok Tjhan adalah ketua umum Badan Permusjawaratan
Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), sebuah organisasi massa yang
didirikan pada suatu pertemuan di Gedung Sin Ming Hui di Jakarta pada 13
Maret 1954. Pertemuan ini dihadiri oleh 44 orang Tokoh Tionghoa,
kebanyakan dari mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi
Tionghoa, seperti PERWITT (Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa)
yang berpusat di Kediri, PERWANIT (Persatuan Warga Indonesia Tionghoa)
yang berdiri di Surabaya dan PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan)
yang berdiri di Makassar. Semua peserta adalah peranakan Tionghoa yang
umumnya berpendidikan Belanda. Sebagian besar dari mereka berasal dari
Jawa, tetapi ada pula sebagian yang berasal dari luar Jawa, seperti
Padang, Palembang, dan Banjarmasin.
Mereka mewakili semua
spektrum politik di Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan
kanan, seperti Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auwyong Peng Koen, Tan
Siang Lian. Tokoh-tokoh golongan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien
Tjwan dan Ang Jang Goan, dan mereka yang bergaris netral, seperti Thio
Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian
dan Liem Koen Seng (adik Liem Koen Hian).
Siauw Giok Tjhan
terpilih sebagai Ketua Umum, sementara wakil ketuanya adalah Oei Tjoe
Tat, Khoe Woen Sioe, The Pek Siong, dan Thio Thiam Tjong. Baperki Cabang
Jakarta dibentuk pada 14 Maret 1954 dan diketuai oleh Sudarjo
Tjokrosisworo (seorang pribumi Indonesia).
Baperki ikut serta dalam
Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota
Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki
memperoleh 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70%
suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini,
Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw Giok
Tjhan sebagai wakilnya.
Pada tahun 1958 Jajasan Pendidikan dan
Kebudajaan Baperki mulai berpikir untuk mendirikan sebuah perguruan
tinggi. Maka pada tahun itu dibukalah Akademi Fisika dan Matematika yang
tujuan utamanya adalah mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah
itu, pada 1959, dibuka pula Kedokteran Gigi (September), dan Teknik
(November). Pada 1962 dibuka Fakultas Kedokteran dan Sastra. Rektor
pertama Universitas Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang
dokter yang pernah menjadi menteri dalam beberapa kabinet di masa
demokrasi parlementer.
Pada 1962, nama Universitas Baperki
diubah menjadi Universitas Res Publica yang biasa disingkat sebagai
URECA, dengan cabang-cabang di berbagai kota di Jawa dan Sumatra.
Setelah peristiwa G30S, Universitas Res Publica ditutup, dan gedungnya
diambil alih oleh pemerintah. URECA di Jakarta kemudian dibuka kembali
dengan kepengurusan yang baru, dengan nama Universitas Trisakti.
Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe
Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan
Ave dan C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk
golongan Indo.
Setelah tragedi Gerakan 30 September 1965,
Baperki dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru karena dituduh sebagai
onderbouw Partai Komunis Indonesia. Sejumlah aktivisnya, seperti Siauw
Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili.
Partai Tionghoa Indonesia
Siauw Giok Tjhan memasuki kancah politik nasional Indonesia melalui
proses pembentukan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang dipelopori oleh
Liem Koen Hian pada tahun 1932. Berusia 18 tahun, Siauw menjadi salah
seorang pendiri PTI termuda. PTI berkembang sebagai aliran terbaru di
dalam komunitas Tionghoa di zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua
Tionghoa di kawasan Hindia Belanda, terutama yang lahir di sana, untuk
menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Argumentasinya, menurut
perspektif masa kini, sangat masuk di akal. Orang Tionghoa pada umumnya
lahir, hidup dan meninggal di Indonesia. Setelah hidup bergenerasi,
kaitan dengan Tiongkok semakin berkurang.
PTI mendukung
berdirinya GERINDO (Gerakan Rakyat Indonesia) pada tanggal 18 Mei 1937,
yang berdasarkan keputusan Kongres di Palembang, menerima Oei Gee Hwat
(Sekretaris Pengurus Besar PTI) menjadi salah seorang pengurus GERINDO.
Ketika itu, GERINDO dibawah pimpinan A.K. Gani, Amir Syarifudin,
Mohammad Yamin dan lain lain melanjutkan usaha perjuangan tokoh-tokoh
PNI, Partindo, yang di-Digul-kan dan masih dalam pembuangan. Jadi,
GERINDO menjalankan garis demokrasi yang mengutamakan perlawanan
terhadap fasisme dan tidak mempersoalkan warna-kulit yang berbeda, bisa
membuka pintu untuk menerima etnis Tionghoa.
Perkawinan Sosialisme dan Kapitalisme
Siauw Giok Tjhan dianggap sebagai tokoh yang memperjuangkan hak
komunitas Tionghoa. Akan tetapi sebenarnya ia senantiasa bersandar atas
prinsip yang dianugrahi PTI sejak tahun 1932, yaitu pemecahan masalah
Tionghoa tidak terpisahkan dari masalah nasional Indonesia. Karena
prinsip ini, Siauw Giok Tjhan kerap melontarkan pandangan-pandangan, di
dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, yang sifatnya membenahkan
struktur Indonesia secara keseluruhan.
Pada tahun 1950-an,
Siauw tekun menyebar-luaskan pandangannya dalam hal pengembangan ekonomi
domestik. Pada hakekatnya, ia menganjurkan dilaksanakannya sebuah
kebijakan ekonomi pemerintah yang menyuburkan pada usaha yang dikelola
oleh para pedagang Indonesia tanpa memandang latar belakang ras si
pedagang.
Argumentasinya, modal domestik ini sangat dibutuhkan
untuk membangun ekonomi Indonesia dan pengkonsolidasian usaha domestik
akan mempercepat kemakmuran yang bisa diarahkan kemerataannya.
Siauw menentang digalakkannya usaha-usaha raksasa yang dikelola oleh
kekuatan multi-nasional karena menurutnya keuntungan usaha semacam ini,
yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan negara akan ditarik keluar dari
Indonesia. Ia beranggapan kebijakan ekonomi yang membunuh usaha
domestik dan membangun jaringan multi-nasional akan merugikan Indonesia.
Bilamana modal domestik dikembangkan, ia berargumentasi, keuntungan
yang diperoleh akan dipergunakan oleh para pengusaha domestik untuk
mengembangkan usahanya, sehingga Indonesia secara keseluruhan memperoleh
faedahnya. Pandangan ekonomi digambarkan di atas sebenarnya
mencanangkan "perkawinan" antara paham sosialisme dan kapitalisme. Ia
menginginkan kapitalisme skala domestik berkembang untuk mempercepat
proses perwujudan sosialisme ala Indonesia.
Pada tahun 1950-an,
pandangan ekonomi Siauw cukup banyak ditentang oleh beberapa tokoh PKI
di parlemen, seperti Sakirman. Mereka mempromosikan konsep ekonomi
sosialisme yang menghendaki kapitalisme dikikis habis.
Kedekatan Siauw dengan Bung Karno dan para tokoh politik di zaman
Demokrasi Terpimpin memungkinkan pandangan ekonomi ini masuk ke dalam
kebijakan ekonomi yang tercantum di dalam Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) tahun 1964.
Sayangnya kebijakan ini tidak pernah
dilaksanakan karena kekuasaan politik beralih ke tangan Soeharto lebih
tertarik ke arah Kapitalisme.