Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sahabat Para pejuang Indonesia (Community of National Struggle History Activists and Friends of Indonesian Warriors)

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

Tampilkan postingan dengan label PAHLAWAN KEMERDEKAAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PAHLAWAN KEMERDEKAAN. Tampilkan semua postingan

Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

 


PINDAH IBUKOTA REPUBLIK INDONESIA dari Jakarta ke Yogyakarta Januari tahun 1946 atas kerelaan dan biaya sepenuhnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX. 

Kraton Ngayogyokarto Hadningrat sepenuhnya mendukung Republik Indonesia Moriil maupun Materiil. Bung Karno dan Keluarga tinggal di Gedung Agung ex Kediaman Gubernur Djendral Belanda dan Bung Hatta tinggal di Kadipaten Pakualaman. 

Kala itu Kraton Yogyakarta sepenuhnya mendukung Pemerintahan Republik Indonesia! Kepatihan disekitar Malioboro pun menjadi Pusat Pemerintahan dan Sidang2 Kabinet pun diadakan disana. Sultan atas bantuan Haji Bilal menyediakan Perumahan Menteri di Taman Juwono Dagen dan daerah Sagan. 

Para menteri pun mendapat kendaraan Sepeda Raeligh buatan Inggris dari Kraton Yogyakarta. Kendaraan Presiden pun disediakan Kraton Yogya yaitu mobil sedan Buiqh sebagai mobil RI - 1. Keperluan Negara yang sedang berjuang kala itu, sepenuhnya di tanggung Keraton Yogyakarta. 

Ketika akhir tahun 1949, Pemerintah RI akan balik ke Jakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX masih nyangoni Bung Karno 6 Juta Gulden sambil berkata; " Bung hanya ini sisa yang bisa saya berikan untuk melanjut kan perjuangan Republik di Jakarta, semoga bermanfaat." Bung Karno pun terharu menitikan air mata sambil memeluk Sri Sultan : " Matur nuwun Ngarsodalem, Indonesia pasti merdeka!" 

Dalam kepemimpinannya ke depan Bung Karno  sangat hormat dan respek dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan menganggap beliau sebagai Saudara tua yang berjasa bagi Indonesia. 

Bung Karno selalu menyebut Sri Sultan HBIX sebagai " NGARSADALEM SAMPEYAN DALEM INKANG SINUWWUN KANJENG SULTAN SENAPATI ING NGALAGA SAYIDIN PANATAGAMA KALIFATULLAH " , Kata Bung Karno: " Ingat Negeri Ngayogyakarto itu sudah ada, sebelum Indonesia ada dan di pimpin Ngarsodalem Hamengkubuwono IX, beliau saudara tua Indonesia!" Di ucapkan dalam sidang kabinet perpisahan sebelum republik kembali ke Jakarta, diceritakan oleh M Natsir menteri penerangan masa itu.

Share:

Frans Kaisiepo


Frans Kaisiepo adalah seorang pahlawan nasional yang memiliki peran penting dalam penyatuan Papua dengan Indonesia. 

Ia bahkan merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di Irian Barat dengan penuh kebanggaan.

Frans Kaisiepo lahir pada tanggal 10 Oktober 1921 di Biak, Papua. 

Ayahnya adalah seorang kepala suku Biak Numfor dan seorang pandai besi.

Ibunya meninggal ketika Frans masih berusia dua tahun. Frans pun kemudian dititipkan pada bibinya sehingga ia tumbuh besar dengan sepupunya, Markus.

Meskipun Frans besar di kampung Wardo yang terdapat di pedalaman Biak, tapi ia beruntung dapat menempuh pendidikan di sekolah dengan sistem pendidikan Belanda.

Pada tahun 1928–1931, Frans bersekolah di Sekolah Rakyat. Selulusnya dari sana, ia melanjutkan ke LVVS di Korido hingga tahun 1934 kemudian ke Sekolah Guru Normalis di Manokwari.

Setelah lulus, Frans Kaisiepo sempat mengikuti sebuah kursus kilat Sekolah Pamong Praja di Kota Nica, Hollandia (sekarang namanya Kampung Harapan Jaya) selama bulan Maret hingga Agustus 1945. 

Di sekolah tersebut, Frans diajar oleh Soegoro Atmoprasodjo, seorang guru dari jawa yang sangat dipercaya oleh Belanda tapi justru mengajarkan tentang nasionalisme pada murid-muridnya.

Soegoro Atmoprasodjo sendiri sebenarnya adalah aktivis dari Partai Indonesia (Partindo) dan pengajar di Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara. 

Pada tahun 1935 ia dibuang ke Boven Digoel, Papua karena dituduh terlibat dalam pemberontakan terhadap Belanda. 

Pertemuan dengan Soegoro semakin menambah rasa cinta Frans Kaisiepo pada Indonesia. 

Dari Soegoro lah, Frans dan teman-teman di sekolah mengenal lagu Indonesia Raya, jauh sebelum gerakan Papua Merdeka muncul.

Pada tanggal 15 hingga 25 Juli 1946, sebuah konferensi yang bertujuan untuk membentuk negara-negara bagian di Indonesia dilaksanakan di Kota Malino, Sulawesi Selatan. 

Konferensi tersebut dikenal dengan nama Konferensi Malino.

Frans Kaisiepo ikut menghadiri konferensi tersebut sebagay wakil dari Papua. 

Pada konferensi tersebut, ia menentang keras niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku dan memasukkan Papua ke Negara Indonesia Timur (NIT). Pada akhirnya, Negara Indonesia Timur hanya terdiri dari Maluku, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Sementara Papua tidak jadi dimerdekakan. Wilayah itu tetap dalam cengkeraman kekuasaan Belanda dan diberi nama Hollandia.

Di konferensi yang sama, Frans juga mengusulkan supaya pemimpin Papua dipilih dari kalangan sendiri dan mengubah nama Papua menjadi Irian. 

Nama Irian itu berasal istilah dalam bahasa Biak yang memiliki arti panas.

Istilah Irian tersebut sering digunakan oleh para pelaut Biak yang harus menunggu panas matahari untuk dapat melaut. Penggunaan nama Irian sebagai pengganti Papua seolah mengharapkan kalau Irian  bisa menjadi cahaya penerang yang mengusir kegelapan di Indonesia. 

Pada akhirnya, nama Irian juga dibuat sebagai akronim oleh Presiden Soekarno dengan kepanjangan “Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands.”

Namun usulan untuk mengganti nama dan menyatukan Irian dengan Indonesia itu tidak mendapatkan dukungan sama sekali baik dari pemerintah Indonesia ataupun Belanda. 

Sejak tahun 1946, tidak pernah ada perwakilan dari Papua untuk konferensi apa pun. Sebagai hukuman, Frans dikirim untuk bersekolah di Opleidingsschool voor Inheemsche Bestuursambtenaren (OSIBA) di Belanda.

Lima belas tahun berlalu sejak konferensi Malino, pada tahun 1961, Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua dan Indonesia. 

Operasi militer tersebut diberi nama Trikora (Tri Komando Rakyat).

Ketika menyadari kalau tujuan Trikora itu sejalan dengan keinginannya untuk menyatukan Papua dengan Indonesia, Frans pun berusaha untuk memberikan bantuan sebisa mungkin.

Saat itu, Frans baru saja mendirikan sebuah partai politik bernama Irian Sebagian Indonesia (ISI). Melalui ISI, Frans Kaisiepo memberikan bantuan untuk sukarelawan Indonesia yang mendarat di Mimika.

Usahanya berhasil. Pada tahun 1964, gubernur Papua yang bernama Eliezer Jan Bonay diturunkan dari jabatannya dan ditahan oleh Pemerintah. 

Sebagai gantinya, Frans Kaisiepo diangkat menjadi gubernur Papua.

Selama menjabat sebagai gubernur, banyak peningkatan yang terjadi di Papua dibandingkan ketika dipimpin oleh pemerintah Belanda. Di antaranya adalah pertumbuhan penduduk dan tingkat pendidikan masyarakat yang meningkat.

Lima tahun kemudian, pada tahun 1969, di Papua Barat terdapat jajak pendapat untuk menentukan status daerah tersebut menjadi milik Indonesia atau Belanda. Jajak pendapat tersebut disebut Penentuan Pendapat Rakyat atau yang lebih banyak dikenal dengan istilah Pepera. 

Masing-masing daerah mengirimkan perwakilan untuk memberikan suara dan menentukan  status Papua. 

Saat itu, Frans Kaisiepo memiliki peran yang cukup penting.

Ia sering melakukan kampanye ke daerah-daerah, seperti Jayapura, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, hingga ke Merauk dengan tujuan untuk berusaha meyakinkan para anggota dewan di daerah-daerah tersebut untuk memilih bergabung dengan Indonesia.

Tak berhenti sampai di sana, Frans Kaisiepo pun dipilih sebagai delegasi Indonesia untuk menyaksikan pengesahan hasil Pepera di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.

Setelah pensiun sebagai gubernur Papua, Frans Kaisiepo diminta untuk pindah ke Jakarta oleh pemerintah Indonesia. 

Di ibukota lama Indonesia tersebut, ia diangkat menjadi pegawai di Kementerian Dalam Negeri dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selain itu, ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk periode 1973–1979.

Frans wafat di Jakarta pada 10 April 1979 akibat serangan jantung setelah dirawat selama beberapa hari di sebuah rumah sakit di Jakarta. 

Kematian Frans diliputi misteri, saat itu Frans disebut-sebut tengah berusaha mengungkap kebenaran tentang adanya penipuan dalam pelaksanaan Pepera. 

Namun mendadak ia dikabarkan meninggal dunia. 

Meskipun begitu, tidak ada yang tahu dengan pasti apakah kematiannya itu normal atau ada yang membunuhnya.

Empat belas tahun berlalu, tepatnya pada tanggal 14 September 1993, Pemerintah Indonesia akhirnya mengakui jasa-jasanya untuk Indonesia.

Atas jasa-jasanya, Frans Kaisiepo dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.

Selain itu, namanya juga diabadikan menjadi nama salah satu kapal perang TNI AL dan bandara internasional di Pulau Biak. 

Bahkan, pada tahun 2016, Bank Indonesia merilis uang baru nominal 10.000 dengan gambar Frans Kaisiepo di salah satu sisinya.

Demikianlah sosok Frans Kaisiepo, sang pengibar merah putih pertama di tanah papua.

Bagaimanapun juga, sudah sepantasnya kita semua berusaha mengenali dan menghormati setiap Pahlawan yang ada di Indonesia. 

Karena tanpa keberadaan para pahlawan ini, Indonesia tak akan menjadi negara yang merdeka seperti sekarang.

ket. foto:
inset 1: Maria Magdalena Moorwahyuni, Victor Kaisiepo, dan Frans Kaisiepo.
inset 2: Uang Republik Indonesia pecahan Rp 10.000 keluaran tahun 2016.

Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI) bekerja 24 Jam sehari baik secara online maupun offline, Sejak tahun 2011 hingga hari ini. KCPI membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk Kegiatan Sosial dan Operasional. Bantuan donasi anda dapat di kirim ke : No Rekening Bank BCA : 3452-157-362 a.n Heri Eriyadi Safitri (Founder KCPI)
 

Share:

Sejarah Perjuangan HR Rasuna Said


Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Agam, Sumatra Barat. Wanita yang selalu meng gunakan kerudung ini tak hanya berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tetapi juga untuk emansipasi wanita.

Rasuna mendapatkan pendidikan sedari kecil. Ia memang dikenal dengan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan. Pendidikan dasar Rasuna dihabiskan di SD Maninjau. Setelah itu ia melanjutkan ke Diniyah School di Padangpanjang.

Kecerdasan Rasuna sudah bisa terlihat saat ia bersekolah. Ia dipercaya mengajar kelas di bawahnya meskipun ia masih pelajar.

Tak hanya pendidikan umum, Rasuna juga menimba ilmu agama di Pesantren Ar Rasyidiyah. Usai menamatkan Diniyah School, Rasuna mengabdi menjadi pengajar di almamaternya. Tak banyak saat itu, Muslimah yang menempuh pendidikan hingga tingkat lanjut. Rasuna ingin memajukan pendidikan bagi seorang wanita.

Selain pendidikan, ia juga tertarik dengan politik. Ia ingin agar wanita saat itu juga melek politik. Dalam pandangan agama, bangsa, dan politik, Rasuna banyak di pe ngaruhi gurunya H Abdul Karim Amrullah, ayahanda HAMKA. Hingga akhir perjuangannya landasan berpikirnya sela lu menggunakan pemikiran dari Abdul Karim.

Perjuangan politik dimulai Rasuna saat beraktivitas di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris. Kemudian, dia bergabung sebagai anggota di Persatuan Muslim Indonesia.
Rasuna Said juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Kemudian, dia mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukit Tinggi Saat terjun dalam dunia politik, Rasuna dikenal dengan kemahirannya ber pi dato. Isi pidato yang disam pai kannya selalu tajam menyangkut pe nindasan pemerintah Belanda ketika tahun 1930.

Akibat pidato yang menyinggung Belanda, Rasuna akhirnya ditangkap dan dipenjara tahun 1932 di Semarang. Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapa pun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.
Rasuna Said sempat ditangkap bersama teman seperjuangannya Rasimah Ismail. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.

Pada 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi Majalah Raya. Karena ruang gerak yang dibatasi Belanda, Rasuna Said pindah ke Medan dan mendirikan sekolah pendidikan khusus wanita Perguruan Putri.
Dia juga menerbitkan majalah Menara Putri yang membahas seputar pentingnya peran wanita, kesetaraan antara pria, wanita, dan keislaman.

Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri or gani sasi pemuda Nippon Raya di Padang. Tetapi, kemudian organisasi itu dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. Tak berhenti, Rasuna bersama Khatib Sulaiman aktif memperjuangkan dibentuk nya barisan Pembela Tanah Air (Peta).
Laskar inilah yang kelak menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Setelah kemerdekaan Indonesia, HR Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatra mewakili daerah Sumatra Barat.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia diangkat sebagai anggota Dewan Per wakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Kemudian dia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya.

Karena keaktifannya di dunia politik, Rasuna kurang memperhatikan kesehatannya sendiri. Ia baru diketahui mengidap penyakit kanker darah yang sudah parah. Rasuna akhirnya meninggal dunia pada 2 November 1965 pada umur 55 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Karena perjuangannya untuk kemerdekaan bangsa, Rasuna digelari Pahlawan Nasional dengan SK Presiden No 084/TK/Tahun 1974.

HR Rasuna Said meninggalkan seorang putri yaitu Auda Zaschkya Duski dan 6 cucu di antaranya Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh Ibrahim, Moh Yusuf, Rommel Abdillah, dan Natasha Quratul’Ain.
Share:

I GUSTI NGURAH RAI PAHLAWAN DARI BALI

I Gusti Ngurah Rai adalah salah satu Pahlawan Indonesia dari Bali yang berjasa saat Revolusi Nasional. I Gusti Ngurah Rai gugur dalam Perang Puputan Margarana yang merupakan salah satu perjuangan yang paling heroik di Bali. 'Puputan' dalam bahasa Bali berarti 'penghabisan' 'Rana' berarti 'peperangan', dan 'Marga' adalah nama Desa di Tabanan.Perang yang terjadi pada tanggal 20 November ini menjadi sejarah yang tak terlupakan oleh suku Bali. 

I Gusti Ngurah Rai lahir tanggal 30 Januari 1917 di Badung, Bali. Dilahirkan dari pasangan I Gusti Ngurah Patjung dan I Gusti Ayu Kompyang, Ngurah Rai adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Keluarga I Gusti Ngurah Rai cukup terpandang. Sang ayah pernah bekerja sebagai Manca (Camat).

Karier
I Gusti Ngurah Rai dapat menempuh pendidikan calon perwira kemiliteran pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada 1 Desember 1936, I Gusti Ngurah Rai masuk ke barisan Korps Prajoda, kelompok para pemuda dari kalangan bangsawan. I Gusti Ngurah Rai kemudian lanjut pendidikan militer di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO).

Setelah lulus, I Gusti Ngurah Rai masuk ke Akademi Pendidikan Arteri. Saat Jepang menggantikan
Belanda, I Gusti Ngurah Rai bekerja sebagai pegawai Mitsui Hussan Kaisya. Perusahaan itu bergerak di bidang pembelian padi rakyat.  I Gusti Ngurah Rai menolak masuk ke organisasi militer Jepang, tentara Pembela Tanah Air (PETA) karena tidak suka dengan Jepang. Ngurah Rai malah membentuk Gerakan Anti Fasis (GAF) untuk menentang Jepang. Hingga pemerintahan Jepang berakhir, Ngurah Rai terus melakukan gerakan bawah tanah.

Saat Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), terbentuk pula Tentara Keamanan Rakyat (TKR). BKR kemudian ditransformasikan ke dalam TKR. I Gusti Ngurah Rai dipilih sebagai pimpinan TKR Sunda Kecil (sekarang Bali) pada rapat bulan November 1945. Pada 13 Desember 1945 pukul 24.00, di bawah komando Resimen TKR Sunda Kecil, Ngurah Rai melakukan serangan ke Jepang. Sayangnya, saat itu Jepang sudah mengetahui rencana I Gusti Ngurah Rai sehingga pasukannya terpukul mundur. I Gusti Ngurah Rai berinisiatif meminta bantuan kepada TKR Yogyakarta. Ternyata sekembalinya I Gusti Ngurah Rai ke Bali, Jepang sudah menyerah pada Belanda. Pasukan Ngurah Rai saat itu tercerai berat hingga harus didirikan DPRI (Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia) Sunda Kecil. 

Belanda mengajak kerjasama namun ditolak mentah-mentah oleh Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai mengirim surat balasan berupa penolakan yang sekarang dikenal sebagai Surat Sakti Ngurah Rai. Soerat telah kami terima dengan selamat. Dengan singkat kami sampaikan djawaban sebagai berikoet:

Tentang keamanan di Bali adalah oeroesan kami. Semendjak pendaratan tentera toean, poelau mendjadi tidak aman. Boekti telah njata, tidak dapat dipoengkiri lagi. Lihatlah, penderitaan rakjat menghebat. Mengantjam keselamatan rakjat bersama. Tambah2 kekatjauan ekonomi mendjirat leher rakjat. Keamanan terganggoe, karena toean memperkosa kehendak rakjat jang telah menjatakan kemerdekaannja. Soal peroendingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin2 kita di Djawa. Bali boekan tempatnja peroendingan diplomatic. Dan saja boekan kompromis. Saja atas nama rakjat hanja menghendaki lenjapnja Belanda dari poelau Bali atau kami sanggoep dan berdjandji bertempoer teroes sampai tjita2 kita tertjapai. Selama Toean tinggal di Bali, poelau Bali tetap mendjadi belanga pertoempahan darah, antara kita dan pihak toean. Sekian, harap mendjadikan makloem adanja. Sekali merdeka, tetap merdeka
a/n. DEWAN PERJOANGAN BALI. Pemimpin: (I Goesti Ngoerah Rai).

Pada 20 November 1946, Belanda melancarkan serangan besar di desa Marga. Belanda membombardir dari udara dengan serangan pesawat tempur. Dari darat, artileri dengan pasukan bersenjata lengkap menyerang. Pasukan I Gusti Ngurah Rai pun terdesak.  Pasukan Ngurah Rai yang hanya berjumlah 96 orang gugur saat itu. Sementara pasukan Belanda lebih dari 300 orang juga menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Di saat itu, Ngurah Rai menyerukan kata 'puputan' yang berarti habis-habisan.

Pemerintah RI menghargai keberanian dan jasa–jasa dan Ngurah Rai dalam mempertahankan kemerdekaan tanah air.Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Rl No. 063/TK/Tahun 1975 tanggal 9 Agustus 1975, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi kolonel. Nama I Gusti Ngurah Rai juga diabadikan menjadi nama lapangan terbang di Denpasar. Sebuah kapal ALRI diberi nama Ngurah Rai, KRI Ngurah Rai Gambarnya juga diabadikan di pecahan mata uang kertas Rp 50.000.

Share:

KOBOI DARI SUMBAWA

Laksamana Madya TNI. H. L. Manambai Abdulkadir, menunggangi kuda kesayangannya dan memainkan 2 (dua) pucuk senjata laras pendek, saat memimpin pasukan gerilyawan Kancil Merah, untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia, di wilayah Cirebon Jawa Barat, pada tahun 1942-1945. 

Karena kepiawaiannya menembak dengan reaksi cepat dan tepat sasaran, Bung Karno, Presiden RI, menyebutnya sebagai "Koboi dari Sumbawa".
Share:

peran Djiaw Kie Siong dalam Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Djiaw Kie Siong (meninggal tahun 1964) adalah pemilik rumah di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, tempat Bung Karno dan Bung Hatta diinapkan oleh para pemuda (Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni.) yang menculik mereka dan menuntut agar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan segera. Di rumah ini pula naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditulis.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Reynaldi David Abner dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Michelle Margo itu. Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka.
Ketika naskah proklamasi akan dibacakan, tiba-tiba pada Kamis sore datanglah Ahmad Subardjo. Ia mengundang Bung Karno dkk. berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56.
Selain kedua "Bapak Bangsa" itu, rumah itu ditinggali pula oleh Sukarni, Yusuf Kunto, dr. Sutjipto, Ibu Fatmawati, Guntur Soekarnoputra, dan lainnya selama tiga hari, pada 14 - 16 Agustus 1945.
Djiaw adalah seorang petani kecil keturunan Tionghoa. Ia merelakan rumahnya ditempati oleh para tokoh pergerakan yang kelak menjadi "Bapak Bangsa". Hingga kini rumahnya masih dihuni oleh keturunannya.
Babah (sebutan untuk laki-laki Tionghoa) Djiaw pernah berwasiat, keluarga yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar. Tak dibolehkan merengek minta-minta sesuatu kepada pihak mana pun. Bahkan, harus rela setiap hari menunggui rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa.
Djiaw meninggal dunia pada 1964 dan namanya praktis hampir tidak dikenal ataupun tercatat dalam sejarah. Mayjen Ibrahim Adjie pada saat masih menjabat sebagai Pangdam Siliwangi, pernah memberikan penghargaan kepada Djiaw dalam bentuk selembar piagam nomor 08/TP/DS/tahun 1961.
Share:

Biografi WR Soepratman - Pencipta lagu Kebangsaan Indonesia Raya

WR Soepratman, yang konon kabarnya adalah seorang kristiani ini terlahir pada 9 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dan meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 di Surabaya. Ada juga yang menyatakan bahwa WR Soepratman terlahir pada 19 Maret 1903.

Ia sendiri merupakan anak ke-7 dari ayahnya yang bernama Joemeno Senen Kartodikromo (seorang tentara KNIL Belanda), dan ibunya bernama Siti Senen. Masa kecilnya dihabiskan di Jakarta, tepatnya di daerah sekitar Jatinegara. 

Kemudian, pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem yang adalah kakak sulungnya, hijrah dari Jakarta ke Makassar. Disana, ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.

Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah "Klein Ambtenaar".

Dari Makassar, ia pindah sebentar ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Setelah itu, ia tinggal di Jakarta dan mulai tertarik kepada pergerakan nasional, dimana ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. 

Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.

Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924, lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.

Indahnya, pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum dengan gesekan biola. 

Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat, lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka..

Dalam perjalanan waktu, Wage Rudolf Soepratman menghubungi para pemilik perusahaan rekaman di Batavia, yaitu Odeon, ThioTek Hong, Yo Kim Tjan dan beberapa orang lain, untuk merekam lagu Indonesia Raya. Tapi, hanya Yo Kim Tjan, seorang Tionghoa yang bersedia merekam lagu Indonesia Raya karena yang lainnya takut ditangkap Belanda. 

Yo Kim Tjan atau Johan Kertayasa (lahir di Garut, Indonesia pada tahun 1899 dan wafat pada tahun 1968) sendiri adalah anak dari pasangan Yo Sin Seng dan Sim Pipi Nio; suami dari Tjie Lian Nio.

Yo Kim Tjan yang jelas jelas tionghoa ini adalah orang yang pertama kali merekam lagu Indonesia Raya ke dalam piringan hitam. Saat itu, alunan lagu kebangsaan itu menyertakan suara WR Soepratman. 

Pada waktu itu, Belanda memang sudah mengendus gerakan bawah tanah yang dilakukan pemuda-pemudi Indonesia. WR Soepratman sendiri waktu itu adalah pekerja paruh waktu sebagai pemain biola di orkes populer yang dipimpin oleh Yo Kim Tjan. 

Selain itu, WR Soepratman juga bekerja sebagai wartawan lepas surat kabar "Sin Po", koran yang diterbitkan masyarakat Tionghoa. "Sin Po" adalah surat kabar pertama yang mempublikasikan teks lagu Indonesia Raya sesudah dikumandangkan WR Soepratman pada Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928 di Jakarta.

Berkat eskpose dari suratkabar "Sin Po", lagu Indonesia Raya makin diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia kala itu. Pemerintah Hindia Belanda terkejut dan marah karena menilai lagu itu membahayakan kepentingan dan merugikan politik Belanda maka lagu Indonesia Raya dilarang. Rakyat bergolak. Berbagai suratkabar di Indonesia menggugat, termasuk politisi bangsa Indonesia memprotes tindakan pemerintah Hindia Belanda melarang lagu Indonesia Raya.

Akhirnya, protes keras atas larangan menyanyikan lagu Indonesia Raya direspon pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan tidak berkeberatan menyanyikan lagu Indonesia Raya tetapi kalimat “Merdeka, Merdeka” tidak dicantumkan.

WR. Soepratman sebagai pencipta lagu mengerti syair lagu ”Merdeka, Merdeka” itu yang ditakutkan Belanda dan syair lagu ”Merdeka, Merdeka” itu menyemangati persatuan dan gelora perjuangan tidak berhenti.

Yo Kim Tjan pun yang penuh dengan gelora perjuangan juga mengusulkan agar rekaman lagu Indonesia Raya dibuat dalam dua versi, yaitu versi asli yang dinyanyikan langsung oleh WR Soepratman sambil bermain biola. Versi kedua adalah yang berirama keroncong yang nyaris tidak banyak diketahui masyarakat. Versi keroncong dimaksudkan agar semua orang Indonesia sudah tahu irama lagu kebangsaan bila kelak dikumandangkan.

Kedua lagu itu direkam di rumah Yo Kim Tjan di daerah Jalan Gunung Sahari Jakarta, dibantu seorang teknisi berkebangsaan Jerman. Master rekaman piringan hitam berkecepatan 78 RPM yang versi asli suara WR Soepratman disimpan dengan hati-hati oleh Yo Kim Tjan. Hanya versi keroncong yang kemudian dikirim ke Inggris untuk diperbanyak.

Setelah lagu Indonesia Raya dikumandangkan oleh WR Soepratman pada 28 Oktober 1928, Belanda menjadi panik dan menyita semua piringan hitam versi keroncong baik yang sudah sempat beredar maupun yang masih dalam perjalanan dari London ke Batavia. Belanda tidak mengira bila lagu yang dinyanyikan oleh WR Soepratman sebetulnya sudah direkam setahun sebelumnya tanpa ada yang tahu. 

Master lagu ini luput dari pengetahuan pihak penjajah Belanda dan Jepang. Puteri sulung Yo Kim Tjan, Kartika, menyimpan masternya dengan sangat hati-hati. 

Sesuai amanah WR Soepratman yang meminta Yo Kim Tjan untuk menyelamatkan master lagunya agar bisa didengungkan pada waktu Indonesia Merdeka, maka pada 1942 keluarga Yo Kim Tjan membawa dan menyelamatkan master lagu itu dalam pengungsiannya dari daerah ke daerah di Karawang, Garut, dan lain-lain.

Pada 1953, Yo Kim Tjan ingin memperbanyak lagu asli Indonesia Raya. Ia menghadap ke Pemerintah yang ketika itu diwakili oleh Maladi sebagai ketua RRI yang berkuasa atas pengeluaran izin rekaman. Namun permohonan Yo Kim Tjan ditolak. 

Dalam sebuah surat dari Kementerian Penerangan tertanggal 11 November 1953 yang ditunjukkan Des Alwi disebutkan bahwa pemerintah meminta kepada Yo Kim Tjan agar lagu tersebut dimiliki oleh negara dan melarang reproduksinya.

Kemudian pada 1957, master itu diminta dengan alasan ingin dikeluarkan hak ciptanya, ternyata lagu itu dinyatakan disita negara. 
Sebagai warga negara yang baik, Yo Kim Tjan menyerahkan rekaman itu ke Djawatan Kebudajaan (Informasi ini dimuat di majalah Star Weekly pada tahun 1957, lalu dikutip Musika pada tahun 1958).

Tragisnya!!!
Master asli yang luput dari penyitaan penjajah Belanda dan Jepang itu ternyata hilang tak berbekas di tangan anak bangsa sendiri. 
Ini sebuah pelajaran penting dan berharga untuk kita semua, seperti yang ditulis dalam artikel karya Udaya Halim, pemilik Museum Benteng Heritage, sebuah museum peranakan Tionghoa pertama dan satu-satunya di Indonesia, yang berada Di Kota Tangerang di dekat pinggiran kali Cisadane.

Syukurlah, sekeping piringan hitam lagu Indonesia Raya versi keroncong bisa diselamatkan keluarga Yo Kim Tjan, terlebih WR Soepratman konon sudah menyerahkan hak memperbanyak lagu itu kepada Yo Kim Tjan, pemilik NV Populair.

Oleh Yo Kim Tjan, lagu itu kemudian dibuat salinannya dan kemudian dikirim ke luar negeri untuk direkam dalam piringan hitam. Piringan hitam itu kabarnya saat ini masih disimpan oleh keluarga Yo Kim Tjan dan rekaman versi keroncong bisa didengarkan di Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta.

Lebih lanjut, pelaku sejarah Des Alwi juga meyakini bahwa lagu Indonesia Raya yang ditemukan di Museum Leiden, Belanda, adalah lagu yang dibuat Yo Kim Tjan, pemilik NV Populair.

Sebuah catatan ingatan perjalanan sejarah bangsa bahwa sebelum pembacaan teks Sumpah Pemuda, maka diperdengarkan lagu Indonesia Raya gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.

Indahnya, teks Sumpah Pemuda yang dibacakan pada 28 Oktober 1928 itu bertempat di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat yang adalah rumah dari seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong (yang sekarang menjadi Gedung Museum Sumpah Pemuda).

Pada waktu itu, yang membacakan teks Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda 1928
adalah empat orang pemuda Tionghoa yakni Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien kwie, dengan didahului oleh gesekan biola dan lagu ciptaan seorang pemuda kristiani.

"Jasmerah"
Jangan sesekali melupakan sejarah !
✊🇲🇨
Share:

MENGAPA HARUS KARTINI ?

Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat,menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkanbuku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan KoninklijkInstitut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia,sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia ? Bukankah katanya, kita berbahasa satu:Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti,misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht,yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan).Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), RohanaKudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebihjauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang ber inisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio(padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran pikiran Rohana dalam berbagai suratkabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkanKartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,Pecut Baren, cut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan

Jadi,ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini?Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya.Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukanyang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati.Putri Indonesia..., mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka.Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?
Share:

Muhamad Husni Thamrin


Mohammad Husni Thamrin
(lahir di Weltevreden, Batavia, 16 Februari 1894 – meninggal di Senen, Batavia, 11 Januari 1941 pada umur 46 tahun) adalah seorang politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia. Ayahnya adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang nama Belanda.

Share:

Kisah nyata : SAAT-SAAT TERAKHIR BUNG KARNO TERUSIR DARI ISTANA NEGARA.

"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1967)
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.
Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu".
Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno,
Bung Karno lalu melangkah ke arah ruang tamu Istana, disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan karena para ajudan bung karno sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.
Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.
"Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". tegas bung karno kepada ajudannya.
Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya".
Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..."
Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan.
Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara.
Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Maulwi Saelan ( pengawal terakhir bung karno ) dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan.
"Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak.
Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman.
Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi.
Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri gadis Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.
Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental.
Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno.
Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.
Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!...
Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri.
Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.
Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.
Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.
"Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachma lalu dengan menggenggam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto.
"Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso.
Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.
Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapikan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno.
Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar mardjono hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.
Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui diceritakan nekat membebaskan Bung Karno.
Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak.
Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!"
Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.
Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.
Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.
Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.
"Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" ujar istri bung hatta.
Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini".
Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.
Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan...
Share:

DETIK-DETIK KEMATIAN SOEKARNO


Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.

Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”
(Senyap)

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia koma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.

Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka.

Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Kini telah tiada lagi manusia yang bisa membuat dunia terdiam dengan perkataannya, tidak ada lagi singa yang sangat ganas. Betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami Soekarno. Terima kasih wahai Bung Karno karena telah membuat rakyat indonesia dapat terbebas dari penjajahan yang amat pedih. Jasamu tak akan pernah dilupakan. Dan terima kasih Allah karena engkau telah menciptakan manusia terhebat di negara kami. Selamat jalan wahai Singa Mimbar.
Share:

Postingan Populer KCPI