Tahun ini, dia tak sempat lagi menikmati kegembiraan dan semangat 17 Agustus. Pada Minggu, 24 Juni lalu, hanya dua bulan sebelum momen kemerdekaan yang turut ia rebut, pejuang tua itu pergi istirahat panjang di sisi Tuhan. Satu lagi saksi sejarah meninggalkan kita, yakni Lie Yak Heng alias Henry Wijaya.
Setiap tahun, jumlah para pejuang kemerdekaan kita memang makin berkurang. Mereka telah melawan penjajah dengan gagah, tapi akhirnya harus takluk jua pada usia. Bulan ini, kita kembali mengenang mereka sebagai tumbal kebebasan. Bung, izinkan rakyat mengheningkan cipta! ***
Di antara daftar ribuan pejuang veteran di negeri ini, tidak banyak terdapat nama-nama yang berasal dari etnis Tionghoa. Hidup selama ratusan tahun berdampingan dengan etnis lain di Indonesia belum sepenuhnya membuat warga Tionghoa dianggap sebagai pribumi. Kita mengalami kecelakaan sejarah sosial yang serius, sehingga agak sulit menyembuhkan luka-luka itu. Peristiwa pengkhianatan komunis di tahun 1965 telah membuat sebagian besar etnis Tionghoa dicurigai sebagai kelompok pembelot. Keikutsertaan mereka dalam perjuangan akhirnya terlupakan. Lie Yak Heng (Bung Lie) adalah salah seorang pahlawan kemerdekaan yang diakui secara resmi oleh negara.
Sebagaimana pejuang-pejuang dari etnis Tionghoa, Bung Lie memilih kembali menjadi rakyat biasa pasca kemerdekaan. Dia sempat menutup cerita tentang perjuangan yang pernah dilakukan, hingga akhirnya bergabung dengan Lembaga Veteran Republik Indonesia (LVRI) sampai akhir hayatnya. Awal Juli lalu, jasadnya dibaringkan secara terhormat di antara para pejuang lain di Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan Medan.
Tidak banyak yang tahu kisah hidup Bung Lie. Untunglah, seorang anaknya, dr. Julijamnasi, yang meneruskan usaha ayahnya, Poliklinik Kebaktian Veteran RI, masih menyimpan sebagian epos perjuangan yang melibatkan almarhum. Lie Yak Heng lahir pada tanggal 20 Oktober 1930 di Kisaran. Masa kanak-kanaknya tidak berbeda dengan kehidupan rakyat Indonesia lainnya pada masa itu. Mereka terlilit kemiskinan dan sulit mendapat makanan. Kolonialisme dan peperangan hanya memberi kesempatan untuk bertahan hidup.
Lie dan kebanyakan anak seusianya tak mengenal bangku sekolah. Bahkan anak ketiga dari empat bersaudara ini sudah harus menghidupi diri sendiri setelah ditinggal mati ayahnya saat ia masih berusia 11 tahun. Lie remaja mengambil alih tulang punggung keluarga dengan berjualan tebu di stasiun kereta api bersama teman-teman sebayanya yang juga mengalami kesusahan serupa. Mereka berebut rezeki di sekitar gerbong hingga seharian. Bila hujan turun, maka tebunya terkadang tidak laku dan ia pulang dengan lesu.
Pada tahun 1942, saat usianya baru 12 tahun, sekelompok pemuda berhasil menahan beberapa tentara Jepang. Serdadu-serdadu itu diikat dan dimasukkan ke dalam gerbong kereta dan dikunci. Namun entah bagaimana, tentara Jepang itu berhasil lolos dan menyerang masyarakat yang tinggal di sekitar stasiun secara membabi buta. Demi menyelamatkan diri, Lie dan beberapa kawannya lari tunggang langgang meninggalkan tempat. Sekitar tahun 1944, Lie bersama keluarga hijrah ke Tebingtinggi. Setahun kemudian, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI. Namun berita menggembirakan itu baru sampai ke Tebingtinggi pada bulan Oktober. Saat berita itu diterima, Lie dan kawan-kawan segera melucuti senjata dan sepeda milik tentara Jepang. Bersama pejuang-pejuang lain, Lie bergabung dengan Laskar Napindo. Namun kebahagiaan mereka menikmati kemerdekaan tak berlangsung lama. Pada tahun 1947, Belanda melancarkan agresi militer pertama. Mereka membonceng NICA dengan alasan Indonesia tidak mematuhi perjanjian Linggarjati yang ditandatangani kedua pihak pada tanggal 24 Maret 1947. Belanda menguasai daerah Jawa Timur dan Jawa Barat sebagai pusat perekonomian.
Ketika musuh juga mulai berusaha menduduki Sumatera, perlawanan rakyat di Sumatera Utara dan Aceh pun terjadi. Di Sumatera Utara sendiri, tentara Belanda masuk ke Siantar melewati Tebingtinggi. Para pejuang tidak tinggal diam. Mereka berupaya menghambat gerak maju tentara Belanda di sepanjang rute tersebut. Lie diangkat sebagai mata-mata dan bertugas melaporkan informasi yang diketahuinya kepada tentara nasional. Dengan menyamar sebagai pengantar sayuran ke kediaman Belanda, ia bisa dengan leluasa mempelajari situasi. Untungnya ia tidak dicurigai sebagai musuh karena pada saat itu tentara Belanda percaya bahwa etnis Tionghoa tidak akan berpihak pada RI.
Pekerjaan mata-mata adalah tugas yang berbahaya. Nyawa taruhannya. Lie harus berjuang menaklukkan ketakutannya sendiri demi teman-temannya. Tugas sebagai mata-mata berhasil ia laksanakan dengan baik. Menurut penuturan Lie, pejuang dari etnis Tionghoa yang terlibat perjuangan TNI pada masa itu cukup banyak jumlahnya. Di regunya saja ada sekitar 3 sampai 4 orang. Selama krisis tersebut, Lie menjadi anggota laskar penghubung TKR, TRI dan TNI. Tugas ini diembannya hingga 4 tahun dengan daerah operasi meliputi Kisaran, Tebingtinggi, Pulau Raja dan Labuhanbatu.
Setelah usai perang kemerdekaan, ia mendapat tawaran bergabung sebagai tentara nasional, tapi ditolaknya. Lie lebih memilih menjadi masyarakat sipil dan bekerja untuk menghidupi keluarganya. Berbagai pekerjaan saat itu ia lakoni, mulai dari supir truk hingga mengikat tali jerami. Saat bekerja sebagai pengikat tali jerami itulah ia mencuri ilmu dari anak majikannya. Lie meminta anak majikannya untuk mengajarinya baca-tulis dengan cara membayar beberapa rupiah dari hasil kerjanya.
Berbekal pengetahuan baca-tulis yang dimilikinya, pada tahun 1950 Lie memberanikan diri melamar pekerjaan di Rumah Sakit Rambutan, Perkebunan Gunung Pamela, Tebingtinggi. Di sana ia belajar merawat dan mengobati pasien yang sakit. Perlahan, Lie mulai mengumpulkan duit hasil pekerjaannya dan akhirnya membangun poliklinik sendiri yang diperuntukkan bagi para veteran. Lie tahu, kehidupan para pejuang dari saat perang hingga merdeka kebanyakan susah secara ekonomi. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak memiliki biaya berobat ketika mulai tua dan dijangkiti penyakit.
Lie merasa terpanggil untuk meringankan beban teman-temannya dan segera membangun Poliklinik Kebaktian Veteran di Serdangbedagai pada tahun 1962. Setelah itu, kehidupan Lie belum juga tenteram. Meski sudah turut berjuang melawan penjajahan Belanda, ia masih harus berjuang pula menghadapi tuduhan pengkhianatan dari pemerintahnya sendiri. ( hanya ) Karena punya darah Tionghoa, ia sempat dianggap terlibat dalam pemberontakan PKI pada tahun 1965. Lie dipanggil Kodam untuk diperiksa.
Selanjutnya, seorang tentara mengajaknya pergi ke Kisaran. Ia sendiri tidak mengetahui maksud kepergian ke kota kelahirannya ini. Di Kisaran, Lie bertemu dengan teman-teman lamanya semasa perjuangan. Setelah itu, ia dibawa pulang dan dibebaskan. Belakangan ia baru mengetahui bahwa tentara tersebut membawanya ke Kisaran adalah untuk kepentingan penyelidikan dan pembuktian di antara teman-temannya, apakah ia memang seorang pejuang atau tidak.
Pada tahun 1970-an Lie memutuskan pindah ke Medan. Poliklinik Veteran yang dibangunnya juga ikut dipindahkan ke Belawan. Selama bergabung dengan LVRI, ia kembali bertemu dengan teman-teman lama dan seperjuangan. Atas bantuan teman-temannya tersebut, akhirnya Lie terdaftar sebagai salah satu pejuang kemerdekaan. Selanjutnya ia diangkat menjadi Kepala Kesehatan LVRI Sumut hingga akhir hayatnya.
“Bapak itu orangnya perasa. Kalau melihat kondisi masyarakat dan negara kita saat ini, beliau suka sedih. Ia pernah mengatakan pada saya, tujuan mereka dulu berjuang adalah untuk membangun negara yang mandiri dan terhormat. Perjuangan mereka dilakukan tanpa pamrih dan didasarkan pada rasa cinta pada negara. Tapi kini sudah jauh berbeda. Menurutnya, masyarakat Indonesia lebih bersifat individual dan lebih mementingkan diri sendiri sehingga menghancurkan martabat bangsa,” tutur dr. Julijamnasi mengenang nasehat-nasehat ayahnya.
Hingga akhir hayatnya, Lie tidak pernah berhenti berjuang dan melayani teman-temannya sesama anggota LVRI. Atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia menganugerahinya beberapa penghargaan, di antaranya Bintang Gerilya, Bintang Perang Kemerdekaan I dan Bintang Perang Kemerdekaan II. Lie telah menunaikan tugasnya.