Jl. KH Wahid Hasyim Jurang Mangu Timur Pondok Aren Kota Tangerang Selatan. Banten, Indonesia. Whatsapp : 0878-7726-5522. e-Mail : projasonline@gmail.com

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

Tampilkan postingan dengan label SAKSI SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SAKSI SEJARAH. Tampilkan semua postingan

Pejuang Itu Bernama Lie Yak Heng !

Tahun ini, dia tak sempat lagi menikmati kegembiraan dan semangat 17 Agustus. Pada Minggu, 24 Juni lalu, hanya dua bulan sebelum momen kemerdekaan yang turut ia rebut, pejuang tua itu pergi istirahat panjang di sisi Tuhan. Satu lagi saksi sejarah meninggalkan kita, yakni Lie Yak Heng alias Henry Wijaya.

Setiap tahun, jumlah para pejuang kemerdekaan kita memang makin berkurang. Mereka telah melawan penjajah dengan gagah, tapi akhirnya harus takluk jua pada usia. Bulan ini, kita kembali mengenang mereka sebagai tumbal kebebasan. Bung, izinkan rakyat mengheningkan cipta! ***

Di antara daftar ribuan pejuang veteran di negeri ini, tidak banyak terdapat nama-nama yang berasal dari etnis Tionghoa. Hidup selama ratusan tahun berdampingan dengan etnis lain di Indonesia belum sepenuhnya membuat warga Tionghoa dianggap sebagai pribumi. Kita mengalami kecelakaan sejarah sosial yang serius, sehingga agak sulit menyembuhkan luka-luka itu. Peristiwa pengkhianatan komunis di tahun 1965 telah membuat sebagian besar etnis Tionghoa dicurigai sebagai kelompok pembelot. Keikutsertaan mereka dalam perjuangan akhirnya terlupakan. Lie Yak Heng (Bung Lie) adalah salah seorang pahlawan kemerdekaan yang diakui secara resmi oleh negara.

Sebagaimana pejuang-pejuang dari etnis Tionghoa, Bung Lie memilih kembali menjadi rakyat biasa pasca kemerdekaan. Dia sempat menutup cerita tentang perjuangan yang pernah dilakukan, hingga akhirnya bergabung dengan Lembaga Veteran Republik Indonesia (LVRI) sampai akhir hayatnya. Awal Juli lalu, jasadnya dibaringkan secara terhormat di antara para pejuang lain di Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan Medan.

Tidak banyak yang tahu kisah hidup Bung Lie. Untunglah, seorang anaknya, dr. Julijamnasi, yang meneruskan usaha ayahnya, Poliklinik Kebaktian Veteran RI, masih menyimpan sebagian epos perjuangan yang melibatkan almarhum. Lie Yak Heng lahir pada tanggal 20 Oktober 1930 di Kisaran. Masa kanak-kanaknya tidak berbeda dengan kehidupan rakyat Indonesia lainnya pada masa itu. Mereka terlilit kemiskinan dan sulit mendapat makanan. Kolonialisme dan peperangan hanya memberi kesempatan untuk bertahan hidup.

Lie dan kebanyakan anak seusianya tak mengenal bangku sekolah. Bahkan anak ketiga dari empat bersaudara ini sudah harus menghidupi diri sendiri setelah ditinggal mati ayahnya saat ia masih berusia 11 tahun. Lie remaja mengambil alih tulang punggung keluarga dengan berjualan tebu di stasiun kereta api bersama teman-teman sebayanya yang juga mengalami kesusahan serupa. Mereka berebut rezeki di sekitar gerbong hingga seharian. Bila hujan turun, maka tebunya terkadang tidak laku dan ia pulang dengan lesu.

Pada tahun 1942, saat usianya baru 12 tahun, sekelompok pemuda berhasil menahan beberapa tentara Jepang. Serdadu-serdadu itu diikat dan dimasukkan ke dalam gerbong kereta dan dikunci. Namun entah bagaimana, tentara Jepang itu berhasil lolos dan menyerang masyarakat yang tinggal di sekitar stasiun secara membabi buta. Demi menyelamatkan diri, Lie dan beberapa kawannya lari tunggang langgang meninggalkan tempat. Sekitar tahun 1944, Lie bersama keluarga hijrah ke Tebingtinggi. Setahun kemudian, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI. Namun berita menggembirakan itu baru sampai ke Tebingtinggi pada bulan Oktober. Saat berita itu diterima, Lie dan kawan-kawan segera melucuti senjata dan sepeda milik tentara Jepang. Bersama pejuang-pejuang lain, Lie bergabung dengan Laskar Napindo. Namun kebahagiaan mereka menikmati kemerdekaan tak berlangsung lama. Pada tahun 1947, Belanda melancarkan agresi militer pertama. Mereka membonceng NICA dengan alasan Indonesia tidak mematuhi perjanjian Linggarjati yang ditandatangani kedua pihak pada tanggal 24 Maret 1947. Belanda menguasai daerah Jawa Timur dan Jawa Barat sebagai pusat perekonomian.

Ketika musuh juga mulai berusaha menduduki Sumatera, perlawanan rakyat di Sumatera Utara dan Aceh pun terjadi. Di Sumatera Utara sendiri, tentara Belanda masuk ke Siantar melewati Tebingtinggi. Para pejuang tidak tinggal diam. Mereka berupaya menghambat gerak maju tentara Belanda di sepanjang rute tersebut. Lie diangkat sebagai mata-mata dan bertugas melaporkan informasi yang diketahuinya kepada tentara nasional. Dengan menyamar sebagai pengantar sayuran ke kediaman Belanda, ia bisa dengan leluasa mempelajari situasi. Untungnya ia tidak dicurigai sebagai musuh karena pada saat itu tentara Belanda percaya bahwa etnis Tionghoa tidak akan berpihak pada RI.

Pekerjaan mata-mata adalah tugas yang berbahaya. Nyawa taruhannya. Lie harus berjuang menaklukkan ketakutannya sendiri demi teman-temannya. Tugas sebagai mata-mata berhasil ia laksanakan dengan baik. Menurut penuturan Lie, pejuang dari etnis Tionghoa yang terlibat perjuangan TNI pada masa itu cukup banyak jumlahnya. Di regunya saja ada sekitar 3 sampai 4 orang. Selama krisis tersebut, Lie menjadi anggota laskar penghubung TKR, TRI dan TNI. Tugas ini diembannya hingga 4 tahun dengan daerah operasi meliputi Kisaran, Tebingtinggi, Pulau Raja dan Labuhanbatu.

Setelah usai perang kemerdekaan, ia mendapat tawaran bergabung sebagai tentara nasional, tapi ditolaknya. Lie lebih memilih menjadi masyarakat sipil dan bekerja untuk menghidupi keluarganya. Berbagai pekerjaan saat itu ia lakoni, mulai dari supir truk hingga mengikat tali jerami. Saat bekerja sebagai pengikat tali jerami itulah ia mencuri ilmu dari anak majikannya. Lie meminta anak majikannya untuk mengajarinya baca-tulis dengan cara membayar beberapa rupiah dari hasil kerjanya.

Berbekal pengetahuan baca-tulis yang dimilikinya, pada tahun 1950 Lie memberanikan diri melamar pekerjaan di Rumah Sakit Rambutan, Perkebunan Gunung Pamela, Tebingtinggi. Di sana ia belajar merawat dan mengobati pasien yang sakit. Perlahan, Lie mulai mengumpulkan duit hasil pekerjaannya dan akhirnya membangun poliklinik sendiri yang diperuntukkan bagi para veteran. Lie tahu, kehidupan para pejuang dari saat perang hingga merdeka kebanyakan susah secara ekonomi. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak memiliki biaya berobat ketika mulai tua dan dijangkiti penyakit.

Lie merasa terpanggil untuk meringankan beban teman-temannya dan segera membangun Poliklinik Kebaktian Veteran di Serdangbedagai pada tahun 1962. Setelah itu, kehidupan Lie belum juga tenteram. Meski sudah turut berjuang melawan penjajahan Belanda, ia masih harus berjuang pula menghadapi tuduhan pengkhianatan dari pemerintahnya sendiri. ( hanya ) Karena punya darah Tionghoa, ia sempat dianggap terlibat dalam pemberontakan PKI pada tahun 1965. Lie dipanggil Kodam untuk diperiksa.

Selanjutnya, seorang tentara mengajaknya pergi ke Kisaran. Ia sendiri tidak mengetahui maksud kepergian ke kota kelahirannya ini. Di Kisaran, Lie bertemu dengan teman-teman lamanya semasa perjuangan. Setelah itu, ia dibawa pulang dan dibebaskan. Belakangan ia baru mengetahui bahwa tentara tersebut membawanya ke Kisaran adalah untuk kepentingan penyelidikan dan pembuktian di antara teman-temannya, apakah ia memang seorang pejuang atau tidak.

Pada tahun 1970-an Lie memutuskan pindah ke Medan. Poliklinik Veteran yang dibangunnya juga ikut dipindahkan ke Belawan. Selama bergabung dengan LVRI, ia kembali bertemu dengan teman-teman lama dan seperjuangan. Atas bantuan teman-temannya tersebut, akhirnya Lie terdaftar sebagai salah satu pejuang kemerdekaan. Selanjutnya ia diangkat menjadi Kepala Kesehatan LVRI Sumut hingga akhir hayatnya.

“Bapak itu orangnya perasa. Kalau melihat kondisi masyarakat dan negara kita saat ini, beliau suka sedih. Ia pernah mengatakan pada saya, tujuan mereka dulu berjuang adalah untuk membangun negara yang mandiri dan terhormat. Perjuangan mereka dilakukan tanpa pamrih dan didasarkan pada rasa cinta pada negara. Tapi kini sudah jauh berbeda. Menurutnya, masyarakat Indonesia lebih bersifat individual dan lebih mementingkan diri sendiri sehingga menghancurkan martabat bangsa,” tutur dr. Julijamnasi mengenang nasehat-nasehat ayahnya.

Hingga akhir hayatnya, Lie tidak pernah berhenti berjuang dan melayani teman-temannya sesama anggota LVRI. Atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia menganugerahinya beberapa penghargaan, di antaranya Bintang Gerilya, Bintang Perang Kemerdekaan I dan Bintang Perang Kemerdekaan II. Lie telah menunaikan tugasnya.
Share:

Pemikul Tandu Jenderal Soedirman Hingga Kini Hidup Miskin

Ironis & Tragis!! Pemikul Tandu Jenderal Soedirman Hingga Kini Hidup Miskin


Indonesia Sudah Merdeka?? Nanti doeloe… Jika setiap tahun para pejabat dari pemerintahan ke pemerintahan yang satunya lagi merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) dengan sangat mewah dan hidup berg

elimang harta, ternyata para veteran pejuang yang dulu berjuang untuk kemerdekaan negeri ini hidup dengan memprihatinkan dan dalam keadaan miskin.

Salah satunya adalah pejuang Djuwari. Melihat sosok Djuwari, tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun lalu memanggul Panglima Besar, Jenderal Soedirman. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari.

Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan. Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan. Sehingga angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya yang memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah lusuh dibanding baju atasan.

Rumah-rumah di Dusun Goliman termasuk area kediaman Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan miskin. Beberapa rumah masih berdinding anyaman bambu, jika ada yang bertembok pastilah belum dipermak semen. Sama halnya dengan kediaman Djuwari yang amat sederhana dan belum dilengkapi lantai.

“Sing penting wes tau manggul Jenderal, Pak Dirman. Aku manggul teko Goliman menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk – (Terjemahan: yang penting sudah pernah manggul Jenderal, Pak Dirman. Saya manggul dari Goliman sampai Bajulan, itu masuk Nganjuk) ,” ujar suami almarhum, Saminah itu ketika ditanya balas jasa perjuangannya.

Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa. Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu Jenderal merupakan pengabdian.

Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun. Sepanjang hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Soedirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp 500 ribu, setelah itu belum ada yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.

“Biyen manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman) – (Terjemahan: Dulu yang memanggul tandu Jenderal Soedirman yaa gantian, kira-kira ada 7 orang, yang ikut manggul dari Goliman yaitu Warso Dauri, Martoredjo dan Djoyo),” akunya.

Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa.

“Teko Bajulan (Nganjuk), aku karo sing podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi sewek (jarik) karo sarung – (Terjemahan: Dari Bajulan, saya dan yang pada memikul langsung kembali ke Goliman. Waktu itu jarik dan sarung),” imbuhnya.

Ayah dari empat putra dan empat putri itu menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah dipanggil Tuhan setahun lalu) amat senang menerima sewek pemberian sang Jenderal. Saking seringnya dipakai, sewek itupun akhirnya rusak, sehingga kini Djuwari hanya tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya.

“Pak Dirman pesen, urip kuwi kudu seng rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun kabeh – (Terjemahan: Pak Dirman berpesan, hidup itu harus pada rukun, dengan tetangga, seluruh desa juga harus rukun semua),” katanya.

Dari empat warga Dusun Goliman yang pernah memanggul tandu Panglima Besar, hanya Djuwari seorang yang masih hidup. Putra Kastawi dan Kainem itu masih memiliki kisah dan semangat masa-masa perang kemerdekaan.
Share:

Pak Arsilan Semakin Terpuruk karena Kenaikan Harga BBM


Mau Bensin naik harganya atau tidak, bagi Pak Arsilan dan teman seperjuangan nya tetap saja akan membuat hidup mereka semakin menderita karena berada di bawah Garis kemiskinan. 

Negara ini sudah banyak orang pintar. tapi sayang sedikit sekali yang peduli dengan jasa para pejuang terlantar seperti beliau

Share:

Mbah Padmo Pejuang Veteran

Sadmo kini hanya bisa duduk di kursi rumah sewanya yang sempit. Sepasang kakinya sudah tak lagi sekuat dahulu ketika memanggul senapan di laga per-tempuran. Namun, nyala api semangat di dadanya masih seperti pejuang kemerdekaan ’45 ketika me-rasakan ada ketidakberesan. “Saya kepikiran ingin memberontak saja,” kata dia dengan suara yang gemetaran. “Tapi dengan siapa ya? Wong saya sudah tua,” lanjut Mbah Padmo

Mbah Padmo adalah satu-satunya pejuang Veteran di wilayah Kampung Balong yang masih bertahan hidup. Betapapun usianya telah memasuki 87 tahun, namun kakek bernama lengkap Sadmo Atmo Dikromo ini masih ingat betul perjalanan getir hidupnya semasa muda. “Orang menyangka saya hanya pejuang Veteran. Padahal, dulu saya pernah jadi romusa di Sulawesi juga,” kisahnya.


Semangat anti penjajahan itu pula yang membuat Mbah Padmo kabur membelah samudra bersama rekan-rekannya. Ada yang selamat, ada pula yang pulang tingal nama. “Saya beruntung masih selamat. Tapi, banyak kawan-kawan yang mati,” tuturnya.


Kenangan pahit dan patriotik itu sungguh terpatri dalam hidup Mbah Padmo. Namun, raga Mbah Padmo kini telah renta. Tak ada harta kekayaan atau tempat tinggal yang bisa ia wariskan, selain sekuel kisah perjuangannya masa lalu. “Bapak sudah tak kuat lagi ke mana-mana sejak sakit-sakitan,” papar Sarjono, putera angkat semata wayangnya.

Untuk membiayai sewa rumah, biaya hidup, berobat, dan kebutuhan sehari-harinya, Mbah Padmo hanya menggantungkan tunjangan pensiun Veteran. Dua tahun lalu, ketika pemerintah mengumumkan adanya dana kehormatan bagi para pejuang kemerdekaan, Mbah Padmo menaruh harapan besar dan bergegas mengurusnya. Segala berkas yang dipersyaratkan, mulai kartu keluarga (KK), poto, KTP, hingga SK asli penetapannya sebagai pejuang veteran juga telah diajukan. Namun, sejak 1,5 tahun itu, dana yang diperuntukkan untuk menghargai jasa-jasa pejuang negeri rupanya tak kunjung datang. “Bapak selalu tanya, dananya sudah turun belum, Le,” kata Sarjono menirukan kata-kata ayahnya yang mulai sakit-sakitan itu.

Kisah pahit Mbah Padmo hanya satu di antara ratusan pejuang veteran di Kota Solo yang hidup di bawah standar kelayakan. Mereka adalah pejuang yang tulus tanpa pamrih apapun kecuali untuk sebuah kemerdekaan bagi anak-anak dan cucu bangsa ini.


Kini, ketika sebuah kemerdekaan telah dirayakan penuh gegap gempita, Mbah Padmo serasa belum merasakan arti kemerdekaan itu. Dalam hatinya yang paling sunyi, mbah Padmo mungkin selalu bertanya penuh getir, masihkah berarti dana kehormatan bagi dirinya yang telah renta dan sakit-sakitan itu. “Le, kapan ya dana kehormatan itu turun?” tanyanya penuh harap.
Share:

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”


Bung Karno.



Desa Kejawar, Arcawinangun - Purwokerto Utara. Di Tahun 1923 bulan Nopember, Delapanpuluh delapan tahun yang lalu, lahir sosok prajurit pejuang. Beliau biasa dipanggil Mbah Martoyo, Ketika disambangi, tanggal 2 Nopember 2012, Pukul 16.30 WIB, dalam obrolan saya singgung akan tibanya Hari Pahlawan Sepuluh Nopermber, Beliau menyatakan pelan tapi tegas

“Aku pejuang! Niatku berjuang adalah panggilan jiwa. Apa yang aku lakukan demi menjaga keamanan negara kesatuan Republik Indonesia! Pahlawan itu orang-orang berpangkat dan pintar-pintar, sedang aku ini hanya prajurit kecil!”

Bila kita tengok ke belakang perjalanan perjuangan Beliau sangat panjang. Dimulai jaman Jepang, masuk PETA dan ditempatkan di tangsi Cilacap, (1943-1945).

Lalu masuk jaman kemerdekaan, sempat masuk dinas ketentaraan karena Agresi I dan II Belanda, Beliau memilih kembali ke Desa, jadi Petani dan di dapuk jadi Ketua Pemuda Desa Arcawinangun dan secara diam-diam membantu pergerakan Gerilyawan. Lepas Agresi, Beliau ikut bergabung di Mobil Brigade (Mobrid) (1948) dan akhirnya jadi Brigade Mobil (Brimob) (1961). Ketika di Mobrid di tugaskan di berbagai palagan perang. Dari mulai mengamankan wilayah Banyumas dari penyusupan ‘pembrontak’ AOI (Angkatan Oemat Islam), setelah itu menghadapi gerakan separatis DI/TII. Lalu dikirim ke Sumatera mengatasi gerakan koreksi PRRI-Permesta.

Kemudian ditugaskan di Pati jadi Polisi hingga purna bakti, pangkat terakhir Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu). Lalu kembali ke kampung halamannya, tinggal di rumah cukup sederhana bersama anak tunggalnya bekerja di Pemda Banyumas dan satu cucunya. Di Kampungnya Beliau menjadi sesepuh/penasehat warga hingga sekarang tentu karena dihormati dan disegani. 

Di dalam rumahnya tidak terpapang satu foto maupun tanda jasa Beliau. Pesan dari Beliau bila menjalankan tugas disamping doa, jangan suka ‘melik’ (mengambil sesuatu yang bukan haknya) dan jangan adigang adigung (sombong, mentang-mentang) itulah yang menyelamatkan Beliau dari berbagai palagan perang. Namun, walau sudah berpegang teguh pada prinsip pun akhirnya dapat ‘kenangan‘ satu peluru bersarang di antara tulang kaki kiri bawah, tidak bisa diambil sebab harus di amputasi. Lalu Beliau cerita kejadiannya, ketika sedang mengadakan operasi penyergapan di tengah malam gelap gulita, di bukit wilayah Wangon Barat, terjadi kontak senjata dengan DI/TII. Posisi Beliau di bawah Bukit, tiarap. Ketika tembakan terhenti, lalu teman-temannya saling memanggil, menanyakan keadaan dan kemudian berkumpul. Ketika berkumpul Beliau baru sadar kaki kirinya tidak bisa digerakkan, terkena peluru lalu jatuh terduduk. Langsung di evakuasi, ke Rumah Sakit DKT Purwokerto. Dua bulan kemudian dinyatakan sehat dan diterjunkan kembali diberbagai ke medan perang.

Mbah Martoyo, sudah hampir tiga tahun ini keadaan fisiknya sudah mulai sakit, berjalan pakai tongkat, pun demikian peluru ‘kenangan’ yang bersarang di kakinya bila udara dingin selalu berasa ngilu hingga sekarang. Purwokerto 2 Nopember 2012.

Bagi saya Beliau adalah Pahlawan, bagaimana menurut Saudara apakah Beliau Pahlawan?
Share:

PAK SILAM JADI TUKANG SAPU

Pak Silam


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Begitulah kata Bung Karno, bapak proklamator sekaligus presiden pertama RI. Namun, apa yang telah terjadi kini. Bahkan, pada Hari Pahlawan yang jatuh pada Sabtu (10/11) 2007. Setelah 62 tahun Indonesia merdeka, tak sedikit para vetaran perang kemerdekaan yang hidup menderita.

Sebut saja Silam. Lelaki tua yang tinggal di Desa Pelang, Kecamatan Kembangbahu, Lamongan Jawa Timur, menjadi tukang sapu di gereja dan Balai Desa Pelang. Untuk itu, ia mendapatkan upah sebesar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per bulan. Tak banyak memang. Namun, bisa untuk tambahan uang pensiunnya sebesar Rp 600 ribu per bulan.

Meski demikian, Silam cukup bangga dengan apa yang dilakukannya. Pada usianya yang menjelang satu abad, ia tetap tidak membebani orang lain. Silam hanyalah satu potret para veteran yang tidak mengharapkan penghargaan untuk perjuangan mereka meski di masa lalu telah mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan.
Share:

Profil Komunitas Cinta Pejuang Inonesia (KCPI)

TRANSLATE

Entri yang Diunggulkan

Founder Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI) siap mengisi acara sebagai Narasumber Wawasan Kebangsaan

KCPI siap memberi materi sebagai Narasumber Bidang Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan berlatar belakang sejarah perjuangan bangsa kepada P...

Bantu Perjuangan KCPI

Bantu Perjuangan KCPI
Klik Donasi