“Kenapa anda tidak menembak Soekarno waktu
kudeta dulu?” , Kapten Westerling ditanya. Apa jawabnya? Kapten yang
pernah mengatakan bahwa Soekarno adalah tokoh yang paling dibencinya,
menjawab: “Orang Belanda itu perhitungan sekali. Satu peluru harganya 35
sen. Sedangkan harga Soekarno tak lebih dari 5 sen. Jadi rugi 30 sen.
Kerugian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan”. Dengan kata lain
Westerling ingin menghina Soekarno, bahwa pelurunya lebih mahal daripada
nyawa Soekarno.
Indonesia tentu saja geram dengan penghinaan
itu. Beberapa kali ada usaha untuk mengekstradisi Westerling ke
Indonesia. Sayangnya usaha itu tak pernah terwujud sampai meninggalnya
Westerling tahun 1987 dalam usia 68 tahun di Purmerend Belanda. Beberapa
jam sebelum meninggal akibat serangan jantung, Westerling dikabarkan
marah-marah pada wartawan Belanda yang tidak pernah berhenti menguber
noda masa lalunya.
Permintaan untuk mengekstradisi dan mengadili
Westerling terutama bukan karena penghinaan tadi. Tapi juga karena
kekejamannya di masa agresi militer Belanda plus percobaan kudetanya
terhadap Presiden Soekarno. Kekejaman Westerling dituding memakai
cara-cara Gestapo. Tudingan ini bukan hanya dari pihak Indonesia, tapi
tudingan pada Westreling ini justru sangat gencar datang dari orang
Belanda sendiri, terutana kaum peduli HAM.
Harian “De Waarheid”
di Belanda menurunkan berita bulan Juli tahun 1947, isinya tentang
kekejaman Westerling yang dinilai sama dengan kekejaman pasukan Jerman
di PD II. Kemudian harian “Vrij Nederland” Juli 1947, juga merinci
bagaimana kekejaman Westerling. Misalnya menyuruh dua tawanan bertarung.
Lalu yang kalah ditembak mati. Termasuk mengeksekusi orang-orang tak
bersalah di depan umum. Maksudnya untuk menakut-nakuti penduduk lain
agar mereka mau buka mulut tentang persembunyian gerilyawan.
“Semua
orang kampung, juga perempuan dan anak-anak, dikumpulkan dan ditembaki
satu per satu. Saya pura-pura mati dan menjatuhkan diri di antara
timbunan mayat berlumuran darah Saya tidak berani bergerak sebelum
merasa yakin, Westerling dan pasukannya itu benar-benar telah pergi
jauh”. Begitulah kesaksian seorang penduduk di Makassar atas aksi
kekejaman Westerling.
Ketika masih bekerja di Jakarta, saya
pernah mewawancarai seorang pejabat militer yang bermukim di bilangan
Matraman Jakarta. Wawancara itu antara lain menyinggung tentang
pengalamannya bertemu Westerling. Pak Suryadi bercerita, dia sempat
ditahan di sel oleh Westerling. Di sel itu selama hampir tiga hari dia
digantung dengan kepala di bawah dan kaki di atas. “Rasanya saya sudah
hampir mati saja. Untung saja saya tidak sampai dibunuh”.
Raymond
Paul Pierre Westerling, lahir di Istanbul 31 Agustus 1919, adalah
tentara bayaran Belanda. Ayahnya Belanda, ibunya Turki. Tapi ada juga
yang mengatakan ibunya orang Yahudi, ada yang mengatakan orang Yunani
yang lahir di Turki. Simpang siur. Maklumlah, sejak usia 5 tahun
Westerling mesti hidup sendiri di panti asuhan karena ditinggal kedua
orangtuanya. Mungkinkah kekerasannya disebabkan sejak usia dini dirinya
terpaksa tumbuh sendiri di jaman perang yang ganas, tanpa belaian kasih
sayang orangtua?
Kapten ini biasa juga dipanggil “Turk”, panggilan yang biasanya ditujukan buat orang-orang berdarah Turki di Belanda.
Dia
bisa bergabung dengan kesatuan Belanda, setelah mendatangi konsulat
Belanda di Istanbul dan menawarkan diri sebagai sukarelawan perang.
Kebrutalannya dan nalurinya sebagai penjagal mungkin membuat perang
menjadi tempat yang cocok untuknya. Dia sendiri pernah mengakui, dalam
perang dia menemukan kesenangannya. Keahliannya dalam kemiliteran adalah
sabotase dan peledakan. Dia digojlok dalam satuan komando dengan
training yang karena begitu kerasnya disebut “neraka dunia”, di Pantai
Skotlandia yang dingin kosong melompong tanpa penghuni. Latihan keras
untuk meraih baret hijau itu antara lain bertarung dan membunuh dengan
tangan kosong, tanpa suara.
Berbekal segudang training berat
kemiliteran, akhirnya Westerling sang tentara bayaran ditugaskan ke
Indonesia untuk menumpas pemberontakan. Tugas sebagai pimpinan pasukan
komando baret merah berada di pundaknya.
Seorang eks anak buahnya
menggambarkan Westerling sebagai, “Orang yang kejam, tidak menghargai
hidup dan suka melanggar janji. Dia bisa membiarkan tahanan di sel
berhari-hari tanpa diberi makanan. Kadang dijanjikannya bahwa tawanan
akan dilepaskan kalau mereka mau menolong Westerling. Tapi setelah
tawanan itu sudah terlalu lemah dan tidak bisa lagi berjalan, malah
langsung ditembak mati”.
Bahkan bagi anak buahnya sendiri,
kekejamannya kadang dinilai keterlaluan. Sampai kadang ada yang menolak
melaksanakan perintahnya, karena tak sampai hati menembak tawanan.
Akibatnya anak buah yang membangkang tentu saja harus menerima hukuman
indisipliner dari sang kapten ini.
Di Indonesia Westerling
dikenal sebagai “algojo” yang melakukan pembantaian berkubang darah,
terutama di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Dari kota Makassar
sampai kabupaten Barru, Parepare, Pinrang, Sidrap, dan Enrekang.
Kejadian itu sekitar Desember 1946 – Februari 1947. Korban terbanyak
adalah di Galung Lombok, kabupaten Barru. Untuk mengenang sejarah kelam
itu, pemerintah kota membangun tugu di kota Makassar, disebut monumen
korban 40.000 jiwa. Apakah betul sebanyak 40.000 jiwa, hingga kini masih
diperdebatkan kebenarannya jumlahnya. Namun ada satu hal yang jelas.
Nyaris semua kesaksian, baik pihak Indonesia maupun pihak Belanda
sendiri membenarkan bagaimana kejinya kekejaman Westerling. Dia adalah
prajurit yang sangat mudah menembak mati seseorang, tanpa alasan jelas.
Seperti menembak burung saja. Itu belum terhitung menyiksa tawanan
secara tidak berperikemanusiaan.
Untuk menggambarkan kekejaman
Westerling yang berdarah dingin itu, J. Dancey seorang perwira Inggris
bercerita, “Suatu pagi saya mendatangi Westerling untuk minum dan
ngobrol bersama. Tiba-tiba dengan tenang dia mengambil potongan kepala
dari keranjang sampah di samping meja kerjanya. Katanya itu potongan
kepala dari pimpinan pemberontak yang baru saja dipenggalnya”.
Westerling seakan ingin mengajari perwira Inggris itu, “begini lho
caranya kalau mau menumpas pemberontakan!”.
Situasi perang
kadang membuat seorang prajurit mesti bertindak “saya yang mati atau
kamu yang mati”. Sehingga mau tidak mau, kadang mesti membunuh. Namun
itu tidak berarti prajurit tidak pakai aturan dan diperbolehkan membunuh
sesuka hati. Tetap ada aturannya. Jika tidak, maka bisa kena tuduhan
melakukan pelanggaran HAM.
Karena melakukan pembunuhan seenak
perutnya sendiri, maka perbuatan Westerling tergolong pelanggaran HAM
dan dituding melakukan kejahatan perang. Westerling memang menumpas
pemberontakan dengan caranya sendiri. Dengan cara bengis dan kejam.
Padahal ketika itu sesuai ketentuan Westerling harus berpegang pada
Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di Bidang Politik dan
Polisional. Karena keluar dari pedoman komando, Westerling pun dipecat
tahun 1948. Di Belanda pun, status Westerling masih sering
diperdebatkan. Pahlawan atau penjahat?
Sebagian pihak di Belanda
pernah mengelu-elukan Kapten Westerling sebagai pahlawan yang berhasil
menumpas pemberontakan. Tapi ada juga kaum kritis di Belanda yang
mengatakan Westerling itu cuma seorang penjahat perang.
Westerling dikerumuni wartawan di aiport di Brussel setelah melarikan diri dari Indonesia
Jika
saya ke Indonesia, kadang ditanya, “Kenapa sih kamu menikah dengan
orang Belanda?. Mereka itu kan penjajah?!”. Bahkan saya pernah bertemu
orang yang menolak menyopir mobil karena di antara rombongan ada orang
Belandanya.
Jaman sudah berubah. Sejarah bergulir dengan cepat.
Namun dendam sejarah masa lampau masih membuat sebagian orang Indonesia
tetap menyimpan citra kelabu tentang Belanda.
Faktanya, justru rakyat
Belanda sendiri yang mendesak pemerintah Belanda untuk minta maaf
terhadap rakyat Indonesia atas kejahatan perang di masa lalu. Bahkan
penyelidikan dan penelitian tentang kejahatan dan pelanggaran HAM agresi
militer Belanda diungkap sendiri oleh para sejarawan Belanda dan pers
Belanda sendiri.
Karena itu sekarang mulai sedikit terkuak
misteri, mengapa di masa hidupnya Westerling bisa leluasa bergerak
sana-sini. Ini janggal. Apalagi gara-gara kebengisannya di Sulawesi
Selatan, ketika itu Westerling sudah dipecat dari kesatuannya. Tapi
anehnya, sesudah itu Westerling malah berhasil mendirikan organisasi
rahasia, mengumpulkan kekuatan, pendukung dan punya kekuatan senjata.
Puncaknya di tahun 1950 malah melakukan kudeta terhadap Indonesia
sebagai negara berdaulat. Padahal sehebat-hebatnya Westerling, seberapa
hebat sih kekuatan seorang tentara sewaan?
Aneh. Sudah
jelas-jelas melakukan kejahatan perang, dipecat, tidak punya fungsi
strategis apa-apa di kemiliteran tapi kok bisa lepas dari jerat hukum?
Ditambah masih kurang ajar berani mengkudeta Soekarno pula. Padahal
ketika itu banyak suara, baik dari pihak Indonesia maupun Belanda
sendiri yang ingin Westerling diseret ke mahkamah militer.
Boro-boro
diajukan ke pengadilan, tahu-tahu setelah pemecatannya, malah terdengar
kabar Westerling berhasil mengumpulkan 500.000 pengikut dan mendirikan
organisasi rahasia bernama “Ratu Adil Persatuan Indonesia” (RAPI),
dilengkapi kesatuan bersenjata yang dinamakan “Angkatan Perang Ratu
Adil” (APRA).
Dengan organisasinya itu, tahun 1950 Kapten “Turk”
alias Westerling bekerja sama dengan Darul Islam Jawa Barat mengadakan
kudeta yang dikenal dengan peristiwa “kudeta 23 Januari”. Di balik
kudeta ini kemudian terungkap juga keterlibatan Sultan Hamid II, eks
perwira KNIL (beristrikan wanita Belanda), putra sulung Sultan
Pontianak. Motif kudeta di antaranya ingin mendirikan negara sempalan
yang bernama Negara Pasundan. Pasukan Westerling menembaki setiap
tentara TNI yang ditemui. Sebanyak 79 pasukan Siliwangi dan enam
penduduk sipil gugur.
Tapi kudeta itu berhasil digagalkan pasukan
TNI. Kegagalan kudeta itu antara lain karena diwarnai desersi anak buah
Westerling sendiri. Pemerintah dan militer Belanda sendiri mengaku
tidak pernah mendukung kudeta itu. Walaupun demikian, tak bisa disangkal
adanya andil dari “oknum” Belanda - siapapun dan apapun namanya,
terhadap suksesnya Westerling meloloskan diri ke Belanda.
Sejak
peristiwa kudeta gagal itu, Westerling semakin menjadi buruan Indonesia.
Namun berkat koneksinya dengan beberapa pejabat militer, akhirnya
Westerling dengan menumpang pesawat Catalina berhasil lari ke Singapura.
Di negara ini dia sempat ditahan oleh pasukan Inggris selama dua
minggu. Namun selanjutnya “Kapten Turk” berhasil lari ke Belgia. Sesudah
itu secara diam-diam masuk ke Belanda. Permintaan Indonesia untuk
mengekstradisi Westerling tak pernah dikabulkan.
Pemerintah
Indonesia tentu saja tahu bahwa tuntutan HAM tidak pernah mengenal batas
kadaluarsa. Jika hingga kini tak pernah terdengar adanya tuntutan
Indonesia terhadap Belanda terkait masalah ini, mungkinkah karena
didasari pertimbangan politis tertentu?
Lolosnya Westerling dari
jeratan hukum, menimbulkan pertanyaan yang beberapa lama tidak pernah
terjawab. “Mengapa selama itu Westerling bisa lenggang kangkung di balik
semua pelanggaran yang sudah dilakukannya? Adakah orang kuat di
belakang Westerling? Adakah konspirasi di balik kudeta Westerling? Siapa
orang kuat di balik kudeta Westerling? Dari mana Westerling bisa
memperoleh senjata? Seberapa besar kekuatan tentara bayaran Westerling
hingga bisa membentuk pasukan elit-nya sendiri untuk melakukan kudeta?”.
Latar
belakang Westerling ternyata tidak sesederhana yang diduga. Westerling
pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, pernah bekerja untuk
dinas rahasia Belanda di London dan akhirnya benang merahnya.....tahun
1944 pernah bekerja sebagai pengawal pribadi Pangeran Bernhard.
Akhirnya
teka-teki di balik kejanggalan semua ini terkuak, melalui penelusuran
dan penelitian sejarawan Belanda bernama Harry Veenendaal dan wartawan
Belanda, Jort Kelder.
Setelah mengadakan penelitian selama 8 tahun,
keduanya berhasil mengumpulkan bukti dan dokumen tentang keterlibatan
Pangeran Bernhard di balik kudeta Westerling. Rupanya suami Ratu Juliana
itu ingin seperti Lord Mountbatten yang pernah menjadi raja di India.
Jika kudeta Westerling itu berhasil, menurut bukti-bukti yang ada,
disebutkan Pangeran Bernhard ingin menjadi raja di Indonesia. Apakah
sang Pangeran ingin mempunyai fungsi penting lain daripada “cuma”
sebagai suami ratu?
Temuan di atas berdasarkan kesaksian dari laporan Marsose dan buku
harian sekretaris pribadi istana, Gerrie van Maasdijk. Sekretaris ini
dulu dipecat setelah konfliknya dengan Pangeran Bernhard. Penemuan itu
dirangkum dalam buku berjudul “ZKH”, Zijne Koninkelijke Hoogheid (Paduka
Yang Mulia Pangeran). Menurut penyelidikan ternyata Westerling pernah
mengadakan kontak rahasia dengan staf Pangeran Bernhard sehubungan
dengan kudeta itu.
Penelusuran mengarah ke bukti-bukti adanya
bantuan rahasia penyaluran senjata dari pihak Pangeran Bernhard terhadap
pasukan Westerling. Bahkan ada temuan yang menunjukkan bahwa sang
Pangeran sudah mengantisipasi jika kudeta itu berhasil. Yaitu permintaan
bantuan kepada Jendral Douglas Mac Arthur sebagai panglima di pangkalan
Pasifik untuk mengirim pasukannya, jika kudeta Westerling sukses dan
menimbulkan perang saudara.
Kalau kita harus menentukan pemenang
di antara Westerling, Soekarno, Pangeran Bernhard: siapakah setelah
perang yang pantas disebut sebagai pemenang? Westerling yang walaupun
disebut penjahat perang, tapi sampai mati tidak pernah diseret ke
mahkamah militer? Presiden Soekarno yang gagal dikudeta Westerling (tapi
berhasil dikudeta “geger 1965”)? Pangeran Bernhard yang terkesan
“immun” karena posisinya sebagai suami sang Ratu?
Entahlah. Orang
bilang, di dalam perang yang menang jadi abu, kalah jadi arang. Semua
ketiga tokoh di atas sudah “Rest in Peace”. Bagi orang-orang di “alam
RIP”, soal kalah dan menang tidak lagi penting. Toh kehidupan sudah
memberi setiap orang jatah kemenangan dan kekalahannya masing-masing.
Kemenangan bagi seseorang, mungkin disebut kekalahan di mata orang lain.
Begitu juga sebaliknya.
Yang jelas, cerita sejarah perang
mungkin saja bisa jadi cerita menarik. Tapi sayang sekali nyaris tak ada
cerita tentang damai di dalamnya.