Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sahabat Para pejuang Indonesia (Community of National Struggle History Activists and Friends of Indonesian Warriors)

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

PASUKAN SANTRI PEJUANG


Pemuda Moenasir Ali lahir di desa Modopuro, Mojosari, Mojokerto pada 2 Maret 1919 dari seorang ayah bernama H. Ali yang merupakan seorang kepala desa yang dihormati di daerahnya. Sejak memasuki usia sekolah karena kedudukan ortunya yang terpandang Moenasir muda dapat mengenyam pendidikan formal yang lumayan di MULO Jombang, tidak lupa untuk menyeimbangkan pengetahuannya dalam hal agama, ia juga turut dipondokkan di pondok pesantren Tebu Ireng, hal tersebut menjadikan Moenasir muda akrab dan dekat dengan Kyai Hasyim Asy'ari dan menjadi salah satu santri kesayangan beliau.

Pada era Pendudukan Jepang, Moenasir muda turut dalam pelatihan santri di Cibarusah dengan instruktur dari pasukan Jepang yang membekali dirinya dengan dasar-dasar ilmu kemiliteran, taktik gerilya dan peningkatan semangat "Seishin/cinta kepada tanah air". Selesai dari pendidikan dia kembali ke Jombang dan Mojokerto untuk menularkan dan berbagi ilmu yang didapat kepada para santri dan membentuk cikal bakal barisan pemuda Hizbullah cabang Mojokerto.

Awal perang kemerdekaan, Moenasir muda ditunjuk sebagai komandan laskar Hizbullah Mojokerto dan aktif berjuang di banyak front terutama Surabaya, Jombang dan perbatasan Mojokerto, laskar Hizbullah Mojokerto merupakan salah satu pasukan yang tergabung dalam wadah Hizbullah Divisi Sunan Ampel. Pada tanggal 5 Mei 1947, pemerintah menyatukan Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan badan-badan kelaskaran. Kemudian, pada 3 Juni 1947, pemerintah mengesahkan berdirinya  Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai satu-satunya wadah perjuangan bersenjata bagi Republik Indonesia. 

Hizbullah Divisi Sunan Ampel dikecilkan menjadi Resimen 293 dengan komandan Letkol A Wahib Wahab dan Mansur Sholichy sebagai kepala staf. Setelah mengalami perubahan status yang mendasar, secara perlahan-lahan anggota Hizbullah dapat menyesuaikan diri menjadi pejuang profesional, dan semangat juangnya tetap menyala. Terhadap kesediaan Hizbullah meleburkan diri kedalam TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman mengatakan bahwa itu merupakan  bukti Hizbullah adalah kelaskaran yang mementingkan derajat negara dari pada golongan sendiri, serta wujud kepatuhan dan ketundukan kepada komando dan perintah atasan. Untuk melaksanakan keputusan itu, pada bulan Mei 1948, TNI Resimen 293 diperkecil menjadi 2 batalyon, yaitu  Batalyon Mobil (Mobile Troep) dengan sebutan Yon Mansur Solichy, yang kemudian menjadi Batalyon 42 Diponegoro dan  Batalyon Teritorial (Territorial Troep) dengan sebutan Yon Moenasir/Munasir, yang kemudian menjadi Batalyon 39 dengan. 

Selama perang kemerdekaan Bn 39 dikenal sebagai batalyon gerilya TNI yang anggotanya berasal dari eks laskar Hizbullah dan Sabililah dengan wilayah operasi nya meliputi Mojokerto, Jombang dan Tuban, selain itu pada waktu memadamkan pemberontakan PKI Madiun Yon Munasir bertugas untuk menguasai kota Jombang dan bersama-sama Yon Mansur Solichy membantu mengamankan jalur Bojonegoro - Cepu dari gangguan Laskar Minyak. pada saat Agresi Militer Belanda ke II pasukan Hizbullah Yon Mansur Solichy dan Yon Munasir bergerilya untuk merebut kembali kota Surabaya. Mereka berjuang bersama kesatuan dari Batalyon lain atas perintah Gubenur Militer Jawa Timur Panglima Divisi I Kolonel Sungkono, yang bersatu dalam “Komando Operasi Hayam Wuruk.”
 
Operasi Hayam Wuruk dipimpin Mayor Pamu Rahardjo, dengan kesatuan-kesatuan pendukung Batalyon Bambang Yuwono (Yon BY), Batalyon Mansur Solichy (Yon M) Batalyon Isa Idris (Yon I), Batalyon Tjipto (Yon T) dan Batalyon Mobrig. Mereka dibantu pasukan Yon Munasir yang dipimpin Kapten Syakir Husein. Dalam melakukan gerilya kali ini, Yon Munasir dipecah menjadi dua bagian. Sebagian mengikuti  Komando Operasi Hayam Wuruk, dan sebagian besar terdiri atas Kompi Hasyim Latif, Kompi Muhammad Mustofa Kamal, dan Kompi Farchan Achmadi bertugas di Jombang.
 
Pada bulan Pebruari 1949, Yon Munasir mendapat tugas di sektor utara Jalan Mojokerto-Kertosono. Mereka menyusun markas komando di Peterongan, Jombang. Dengan demikian, sejak Maret 1949 wilayah utara daerah Kertosono -Mojokerto menjadi daerah basis konsolidasi dan basis gerilya Yon Munasir. Sejak saat itu nama Batalyon Munasir diberi nama Batalyon Condromowo. Yang mengusulkan nama ini adalah Dan Yon Mayor Munasir sendiri.
 
Nopember 1949, ketika terjadi gencatan senjata, Brigade 16 melakukan penertiban administrasi. Semua anggota Yon Condromowo mendapat nomor register bernomor depan 113.  Setelah  terjadi penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada Pemerintah RI pada 31 Desember 1949, Yon Condromowo mengambil alih kekuasaan di daerah Jombang. Yon Diponegoro yang dipimpin Mayor Mansur Solichy mengambil alih kekuasaan di Mojokerto. Tidak lama berselang, Yon 42 Diponegoro dipindahkan ke Tanjung Karang (Lampung) untuk keamanan wilayah Mojokerto diserahkan kepada  Yon 39 Condromowo.

Agustus 1950, seluruh anggota Yon 39 Condromowo ditugaskan menjaga keamanan di daerah Karesidenan Bojonegoro, dengan markas batalyon di Tuban. Setelah memasuki masa damai, TNI terus melakukan konsolidasi. Yon 39 Condromowo berubah menjadi Yon 519 Resimen 17 Territorial V Brawijaya. Selain itu, juga terjadi penurunan pangkat setingkat, sehingga Dan Yon Mayor Munasir menjadi Kapten. para  Komandan Kompi yang semula berpangkat  Lettu menjadi Letda. Yang mengenaskan, semua Prajurit Satu yang telah bertempur bertahun-tahun turun menjadi Prajurit Dua.

Setelah sekitar satu setengah tahun bertugas di Karesidenan Bojonegoro,  anggota Yon 519 ditarik ke asrama TNI AD di Gunungsari, Surabaya. Bersamaan dengan berakhirnya masa ikatan dinas pertama pada tanggal 31 Maret 1953, beberapa batalyon digabungkan dan Yon 519 dilikuidasi. Sehubungan dengan hal tersebut, sebagian anggota Yon 519 menyatakan tidak melanjutkan ikatan dinas dan meninggalkan kesatuan, termasuk diantaranya Mayor Munasir beberapa komandan kompi bersama sekitar 20% dari jumlah total anggota, untuk anggota yang memutuskan tetap melanjutkan ikatan dinas dipecah-pecah dan bergabung ke beberapa batalyon,  sebagian besar masuk Yon  F dan Yon G Brigade I.

Pensiun dari dinas ketentaraan, Munasir kemudian pindah ke Jakarta dan aktif di IKABEPI (Ikatan Bekas Pedjoeang Indonesia) bersama antara lain, KH Wahib Wahab. Beliau ikut mendirikan Legiun Veteran bersama antara lain, Chairul Saleh, Letjen Sarbini, dan Letjen A. Kartakusuma. Tahun 1958 pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Legiun Veteran RI.

Tahun 1958, Munasir dilantik pula menjadi anggota Dewan Nasional. Tahun 1959, Munasir menjadi anggota Depernas (Dewan Perancang Pembangunan Nasional). Di bidang legislatif, Munasir pernah duduk sebagai anggota DPR periode 1967-1987. Sedangkan di bidang organisasi pertanian, pernah menjabat salah satu ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) di bawah pimpinan Martono.

Di lingkungan PBNU, Munasir pernah menjabat sebagai ketua Pertanu (Pertanian NU), Pengurus Pemuda Ansor, Sekjen PBNU, Syuriah PB NU dan Mustasyar PB NU, serta sebagai salah satu tokoh yang turut berperan dalam mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). .

Sebagai salah satu kyai sesepuh NU, beliau memiliki pesan dan jargon terkenal "NEGARA INI BISA KUAT, KARENA EMPAT HAL, PEMERINTAHANNYA ADIL, ULAMANYA BAIK, ORANG KAYA YANG DERMAWAN, DAN YANG MISKIN SELALU BERDOA UNTUK KEBAIKAN NEGARA".

KH. Munasir Ali meninggal pada hari Jumat, 11 Januari 2002 dalam usia 83 tahun di RS Pelni Petamburan Jakarta, pukul 23.15. Kiai Munasir dikaruniai 14 orang anak, 23 cucu dan 3 orang cicit. Putra pertamanya, Rozy Munir pernah menjabat sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Pemberdayaan BUMN. Jenazah beliau dimakamkan pada tanggal 12 Januari 2002 siang di pemakaman keluarga di Mojosari, Mojokerto

Share:

Postingan Populer KCPI

PROFIL KCPI

Bantu Perjuangan KCPI

Bantu Perjuangan KCPI
Klik Donasi

Entri yang Diunggulkan

KCPI Siap Menjadi Narasumber Wawasan Kebangsaan

KCPI siap memberi materi sebagai Nara sumber Bidang Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan berlatar belakang sejarah perjuangan bangsa kepada ...