Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI) Komunitas Penggiat Sejarah dan Sahabat Para Pejuang Indonesia Jl. KH Wahid Hasyim Jurang Mangu Timur Pondok Aren Kota Tangerang Selatan. Banten, Indonesia. Whatsapp : 0878-7726-5522. e-Mail : projasonline@gmail.com

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

KISAH PILU BUDAK SEKS (JUGUN IANFU) DI BANJARMASIN

ilustrasi
Pada tahun 1942-1945 merupakan masa penjajahan Jepang di Indonesia. Meski masanya terbilang pendek, penjajahan Jepang telah menyisakan kepedihan yang luar bisa bagi bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi korban budak seks (Jugun Ianfu). Berikut sekelumit kisah penderitaan Jugun Ianfu, saat mereka di sekap tentara pendudukan Jepang di Banjarmasin, Borneo Selatan.

Balatentara Jepang ini tiba di Banjarmasin melalui dua jalan, yakni bala tentara yang berjalan kaki dari utara, yakni pasukan Angkatan Darat (Rikugun) yang berasal dari Balikpapan terus berjalan kaki, naik perahu, bersepeda, dan ada yang naik kuda menembus route Muara Uya, Tanjung, Amuntai, Barabai, Kandangan dan seterusnya mereka sampai di Banjarmasin pada tanggal 13 Februari 1942. 
Sedangkan pasukan yang melalui jalan laut dan mendarat di Jorong adalah yang berasal dari kesatuan Angkatan Laut (Kaigun) yang tiba Pelaihari tanggal 13 Februari 1942 dan terus ke Banjarmasin.
Beberapa waktu kemudian mulailah Jepang mendatangkan beberapa perempuan-perempuan muda atau perawan, umumnya berusia belasan tahun dari Jawa. Sebagian mereka dipekerjakan di Rumah Sakit Umum Ulin. Mereka biasa dipanggil mina-san. 

Sebagian lagi ditempatkan di sebuah asrama yang kini menjadi lokasi Pasar Telawang (dulu di ujung jalan Residen de Haanweg).
Sebagaimana hasil investigasi Trans7 dan diberitakan oleh Banjarmasin Post (Senin, 10 Desember 2007) disebutkan bahwa diantara mereka itu adalah R.A. Soetarbini asal Yogyakarta, Mardiyem, dan 21 perempuan muda lainnya. Mereka diasramakan di sebuah bangunan yang kini menjadi lokasi pasar Telawang. Di asrama yang disebut ian jo itulah mereka disekap sebagai budak seks atau jugun ianfu. 

Perempuan-perempuan itu ditempatkan dalam bilik-bilik terpisah. Masing-masing berukuran 3×2,5 meter. Di masing-masing bilik tersedia segala perabotan seperti ranjang, kelambu, selimut, meja dan dua kursi. Ada juga gantungan baju. Di sudut kamar terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya dibatasi kain. Mereka dibekali cairan pembersih kelamin dalam enam botol untuk mencegah mereka terjangkit penyakit sipilis.

Mengutip buku ”Momoye; Mereka Memanggilku” yang ditulis Eka Hindra, semestinya Mardiyem dan Soetarbini jadi penyanyi. 

Keinginan inilah yang mendorong mereka berangkat ke Borneo, ikut kelompok sandiwara keliling Pantja Soerja. Ternyata mereka ditipu. Mardiyem tak bisa melupakan perkosaan pertamanya karena sangat menyakitkan. Apalagi ia belum mengalami menstruasi. Pertama kali ia diperkosa pria brewokan, pembantu dokter yang memeriksa kesehatannya di Telawang. Hari pertama Mardiyem dipaksa melayani 6 laki-laki padahal ia sedang mengalami pendarahan hebat.

Para jugun ianfu itu harus siap melayani hasrat seks para tamu. Selain untuk melayani militer Jepang, sebagian perempuan itu sengaja didatangkan untuk melayani pejabat tertinggi Jepang di Banjarmasin, misalnya untuk Borneo Meisinbu, Kepala Kempeitai, Kepala Bank Tokyo, untuk Direktur-direktur perusahaan besar seperti Mitsubishi Kabushiki Kaisha, Toyo Menka Kabushiki Kaisha, Borneo Simboen, dan sebagainya.

Para tamu yang datang ke asrama Telawang harus terlebih dahulu membeli karcis, seperti membeli karcis bioskop. Ada perbedaan harga bagi kalangan serdadu dan perwira Jepang. Siang hari, untuk pangkat serdadu, harus membayar 2,5 yen, sementara pukul 17.00-24.00 malam harus membayar 3,5 yen. Pukul 24.00 sampai pagi untuk pangkat perwira, membayar 12,5 yen. Setiap karcis diserta satu kaputjes (kondom). Namun, bayaran itu tak pernah cair, hingga sekarang.

Kaputjes atau kondom yang dipergunakan merupakan buatan lokal yang diproduksi atas perintah militer Jepang. Untuk memenuhi keperluan orang-orang Jepang itu, maka Jepang memerintahkan memproduksi sejumlah besar kondom dari karet sebanyak 3000 sehari yang pembuatannya dilakukan oleh Lamberi Bustani atas pengawasan Jepang di pabrik Nomura milik Hitaki di Teluk Tiram, Banjarmasin (Nawawi et al, 1991).

Hari demi hari mereka melayani nafsu durjana militer Jepang. Mereka ingin berontak atau menolak melayani tapi tak ada daya. Berontak atau menolak melayani berarti celaka. Siap-siap teraniaya, atau dibunuh. Memang, dalam satu bulan, para jugun ianfu di ian jo Telawang diliburkan dua hari. Tiap tanggal 8 dan 20. Namun, upaya melarikan diri pun mustahil, karena alat transportasi dan komunikasi tidak semudah sekarang. Meminta pertolongan warga pribumi juga tidak mungkin, karena warga takut mendekati para Jugun Ianfu. Sanksi penyiksaan dan kurungan enam bulan, telah menanti bagi yang nekat.

Selain Jugun Ianfu, serdadu Jepang juga berkeliaran mencari perempuan-perempuan lacur atau memaksa perempuan-perempuan yang bersuami untuk melepaskan nafsu dengan ancaman bayonet. Kalau hal ini diketahui Kempeitai, serdadu-serdadu Jepang itu pasti dihukum berat karena dilarang mengganggu penduduk bangsa Indonesia.

Mengutip pemberitaan surat kabar Kalimantan Raya No.13 tanggal 20 Maret 1942, Waktu itu di Banjarmasin memang terdapat beberapa lokasi pelacuran, seperti di kampung Kertak Baru, Kerkhoflaan, Belakang Boom, dan Straat Belakang (Kampung Gedang-Kebon Sayur). Ketika tentara Jepang berada di Banjarmasin, maka untuk sementara waktu militer Jepang menyalurkan hasrat seks mereka di lokasi pelacuran tersebut. 

Akan tetapi, ketika tentara Jepang membangun asrama (Ian Jo) untuk budak seks (Jugun Ianfu) di ujung Residen de Haanweg (bekas C.F. Thile), kini pasar Simpang Telawang, maka kampung-kampung yang sudah ditentukan itu dihapuskan. Tentara Jepang kemudian meminta kampung atau lokasi pelacuran itu ditutup dan kepada penduduk setempat diminta pula memberikan anjuran atau nasihat kepada perempun lacur agar menjauhi kampung tersebut atau mendatangi tempatnya yang baru yang sudah sudah ditentukan atau disediakan tentara Jepang sebagaimana yang tersebut di atas yakni ujung Residen de Haanweg.
Share:

Profil Komunitas Cinta Pejuang Inonesia (KCPI)