Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sahabat Para pejuang Indonesia (Community of National Struggle History Activists and Friends of Indonesian Warriors)

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

Sang letnan itu kini mengemis (2)


Terhitung sejak bulan Januari 2008 lalu, sesuai dengan keputusan Presiden RI dalam kongres Veteran ke-7 tahun 2007. Sebanyak 5.134 veteran yang ada di Sumbar akan mendapat tunjangan dana kehormatan senilai Rp. 250.000. Penghargaan terhadapperjuangan yang mereka lakukan dalam membela Indonesia sekaligus sebagai figur yang turut andil dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Namun, bagaimana dengan Anwar?. Sang Letnan yang tak mendapat apapun dari perjuangannya?.

Pembaca tentu masih ingat dengan Anwar?. Letnan Satu yang kisahnya Penulis angkat menjadi tulisan bersambung dalam tiga edisi. Dia (Anwar) masih seperti dulu. Menengadahkan tangannya untuk mencari sesuap nasi. Di Simpang Potong, Anwar masih berkutat dengan riak kemelaratan. Kecuali hari Sabtu dan Minggu, Anwar pasti ada di Simpang Potong.

Di saat teman-teman seperjuangannya berbahagia dengan tunjangan-tunjangan yang didapatkan untuk mengisi hari tuanya. Anwar malah terabaikan. Bahkan Ketua LVRI Sumbar (Legium Veteran Republik Indonesia) Drs H Adrin Kahar Ph .D secara tegas mengungkapkan kalau Anwar belum tentu pejuang. Mungkin saja, dengan mengatas namakan pejuang, Anwar berniat untuk mengeruk keuntungan.

“Secara terang-terangan saya mengungkapkan kalau Anwar belum tentu Veteran. Kalau emang dia veteran, pasti dia punya nomor legium veteran atau surat-surat yang menyatakan dia pejuang. Contohnya, surat Bintang Gerilya. Tapi kenyataannya tak ada kan?. Kami (LVRI) selalu memperjuangkan hak-hak veteran. Tapi yang kami perjuangkan itu adalah mereka yang nyata ikut berjuang. Pembuktiannya, ya dengan surat keterangan,” tegas Sang Ketua.

Kata-kata LVRI seakan menjadi cambuk bagi Anwar. Anwar tenggelam. Keputus asaan seolah semakin kuat melekat. Sudah pasti, tak akan ada penghargaan ataupun tunjangan yang akan diterima Anwar. Minim lencana Veteran. Anwar semakin kuat menapak di atas trotoar panas. Memang, Anwar tak punya apa-apa untuk “diperagakan” kepada Pemerintah kalau dia adalah bekas pejuang kemerdekaan dua periode. Semua surat-surat Anwar hilang. Maklum, semenjak istrinya meninggal, Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang.

“Biarlah orang bicara saya bukan pahlawan. Tapi sejarah tak dapat dipungkiri. Dari dulu saya bilang kalau saya tak butuh tunjangn gono-gini. Saya hanya ingin melihat kibaran merah putih tanpa gangguan serta hanya butuh sesuap nasi untuk makan. Itu sudah cukup,”ulas Anwar untuk kesekian kalinya pada Penulis.

Jam sudah menunjukkan angka 12 siang. Matahari semakin panas. Dengan langkah tertatih Anwar mulai meninggalkan dua onggok bata yang jadi topangan tubuhnya. Anwar melangkah menuju simpang Alang Laweh. Menaiki Angkot jurusan Mato Aia, Anwar menuju rumah tumpangannya.

Rasa keingin tahuanlah yang menyeret langkah penulis untuk mengikuti mobil angkot biru tumpangan Anwar. Terus menguntit, akhirnya angkot berhenti di depan rumah bercat putih. Bangunan sederhana yang terletak di Kelurahan Koto Baru, Kecamatan Lubuak Bagaluang, Padang. Rumah mungil yang bersebelahan dengan bengkel variasi mobil. Itulah kediaman Anwar sejak tahun 1975.

Sang empunya rumah, Shally (50) menyambut kedatangan Anwar dengan cemas. “Pak Gaek (panggilan Anwar) memang kurang enak badan, kami sudah melarangnya pergi kerja tapi wataknya sangat keras. sulit sekali melarangnya pergi,”terang Shally dengan wajah ragu.

Anwar tampak mengaso di atas sofa yang sudah lusuh. Mencoba menetralisir kembali nafasnya yang turun naik. Sementara Anwar mengaso, POSMETRO mencoba bercakap dengan Shally, orang yang berbaik hati menampung Anwar.

Wajah ramah Shallypun tampak mengerut, mencoba mengingat hari pertama Anwar datang ke rumah sederhananya. Sesat berpikir, akhirnya Shally mulai bercerita. Tarikan panjang nafasnya, memulai penuturan itu.

“Pak gaek datang awal 1975, bersam seorang temannya bernama Rustam (telah meninggal). Mereka adalah sahabat Ayah saya. Ayah bernama (Syamsudin). Ayahlah yang pertama memperkenalkan pak gaek dengan kami. Mereka adalah tiga sekawan yang tak dapat dipisahkan. Namun, akhirnya, ajal merenggut bapak dan Rustam. Tinggalah Pak Tua sendirian. Kami sudah menganggapnya bagian keluarga sendiri,”celoteh Shally melirik “Pak Gaek” yang menyeruput segelas air putih.

Rumah Shally memang sangat sederhana. Cat putihnya sudah terkelupas, dihuni empat keluarga. Ditambah Anwar, rumah itu kelihatan penuh sesak!. Tak hanya itu, ternyata, Label RTM (Rumah Tangga Miskin)pun tertempel di jendela rumah tersebut. Maklum, dengan empat keluarga, hanya suami Shally, Mak Tum (52) yang menjadi tulang punggung keluarga. Mak Tumpun hanyalah pekerja bengkel di Simpang Nipah. “Suami membuka bengkel kecil-kecilan. Kami termasuk penerima bantuan BLT dari Pemerintah. Kami juga hidup dengn sederhana. Tapi kedatangan pak gaek bukan beban bagi kami. Malah, kami bahagia. Pak Gaek sering mengajarkan bahasa Inggris dan jepang pada anak-anak,”tambah Shally.

Menurut Shally, di hari Tua-nya Pak Gaek tak pantas mengemis. “Pak Gaek adalah seorang pahlawan. Tapi dia seakan terabaikan. Saya pernah mengurus bantuan Veterannya, tapi tak ada hasil. Pak gaek luar biasa, dia bisa tiga bahasa. Bahkan dia juga bahasa jawa dan batak. Saya percaya dia pahlawan Walaupun hanya dengar cerita dari mendiang Ayah dan Pak Rustam. Tapi kenapa Pak Gaek terabaikan,”lemah Shlly menutur.

Ah, dunia memang terlalu kejam buat sang Letnan. Jeritan sepatah iklan TV Swasta menglir ditelinga Penulis. “Tanah yang Kita Pijak adalah bukti dari perjuangan Pahlawan yang membentuk kita menjadi manusia merdeka. Pahlawan yang bertamengkan rasa nasionalisme yang tinggilah semua ini tercipta. Hargai Pahlawan, sebagai peringatan tertinggi buat mereka. Kita bangsa besar, lahir dari cipratan darah sang revolusioner. Bangga ku dengan perjuanganmu”. Memang mungkin itu hanya sebaris iklan. Hanya perkataan belaka. Kalau itu kenyataan, mengapa hingga detik ini Anwar semakin murung?. Kapan secerca harapan menghmpiri tubuh ringkihnya, sementara pintu ajal semakin menganga menyambut kedatangan Sang Letnan.


Share:

Postingan Populer KCPI

PROFIL KCPI

Bantu Perjuangan KCPI

Bantu Perjuangan KCPI
Klik Donasi

Entri yang Diunggulkan

KCPI Siap Menjadi Narasumber Wawasan Kebangsaan

KCPI siap memberi materi sebagai Nara sumber Bidang Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan berlatar belakang sejarah perjuangan bangsa kepada ...