Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sahabat Para pejuang Indonesia (Community of National Struggle History Activists and Friends of Indonesian Warriors)

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan

Usman dan Harun, Marinir Indonesia yang Digantung di Singapura.

Tanggal 18 Maret 1943, Usman Janatin lahir di dusun kecil di Purbalingga, Jawa Tengah. Haji Muhammad Ali Hasan, sang ayah, tentunya tidak pernah mengira anak lelakinya itu kelak menutup mata pada usia yang masih sangat muda. Ya, itulah yang memang kemudian terjadi. Usman tewas di tiang gantungan negeri tetangga saat umurnya belum beranjak dari angka 25 tahun.

Kisah sedih sekaligus miris tersebut bermula dari tahun 1962. Usman yang baru saja lulus sekolah menengah atas langsung mendaftarkan diri ke TNI. Ia ingin menjadi marinir. Tanggal 1 Juni 1962, impian Usman menjadi kenyataan, ia diterima sebagai anggota Korps Komando Operasi (KKO), nama korps marinir TNI Angkatan Laut saat itu.

Tahun 1962 itu, Indonesia sedang terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu, sebutan untuk Malaysia sebelum negeri jiran itu resmi dideklarasikan pada 16 September 1963.

Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia rupanya tidak senang melihat tingkah Federasi Malaya yang berambisi mencaplok Sabah, Sarawak, bahkan Brunei Darussalam, yang terletak di Pulau Borneo alias Kalimantan bagian utara, berdampingan dengan wilayah NKRI.

Menurut Sukarno, upaya pembentukan negara Malaysia dengan mengincar sebagian wilayah Kalimantan, adalah bentuk baru imperialisme yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Federasi Malaya, bagi Sukarno, hanyalah negara boneka Inggris (Hellwig & Tagliacozzo, The Indonesia Reader: History, Culture, Politics, 2009:345).

Sang penyambung lidah rakyat Indonesia itu pun dengan lantang menyerukan gerakan Ganyang Malaysia. Dan nantinya, Usman bakal memainkan peran yang sangat penting.

Bikin Gempar di Negeri Singa
Seruan Ganyang Malaysia atas nama martabat bangsa yang dilantangkan Sukarno tak pelak membuat darah muda Usman Janatin bergolak. Meski belum lama diterima menjadi marinir di KKO, Usman sudah berani mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk dilibatkan dalam operasi militer Komando Mandala Siaga.

Operasi militer itu dipimpin oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani yang ditunjuk langsung Presiden Sukarno untuk menggantikan Soerjadi Soerjadarma (Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, 2013). TNI saat itu membutuhkan 3 sukarelawan. Selain Usman Janatin, ada pula Harun Thohir dan Gani bin Arup.

Tanggal 8 Maret 1965, ketiga sukarelawan tersebut diberikan misi penting, yakni melakukan aksi sabotase di Singapura. Dari ketiganya, Usman Janatin yang dipilih sebagai komandan (Sri Sutjiatiningsih & Soejanto, Harun, 1982:28). Singapura saat itu menjadi bagian dari Federasi Malaysia dan merupakan salah satu titik terpenting yang harus dilumpuhkan.

Tugas Usman, Harun, dan Gani sebenarnya adalah memantik ricuh di Singapura dengan mengeksploitasikan perbedaan ras serta merusak instalasi-instalasi penting. Singapura yang dihuni oleh banyak orang keturunan Cina memang berpotensi tinggi menuai konflik jika dibenturkan dengan ras Melayu yang menjadi penduduk asli di sebagian besar wilayah Malaysia.

Berbekal 12,5 kilogram bahan peledak, ketiganya diperintahkan untuk meledakkan sebuah rumah tenaga listrik. Namun, yang dibom ternyata bukan target semula, melainkan gedung Hong Kong and Shanghai Bank atau MacDonald House di Orchard Road, Central Area, Singapura (Gretchen Liu, The Singapore Foreign Service, 2005:83).

Tanggal 10 Maret 1965 menjelang petang, bangunan di kawasan padat yang di dalamnya terdapat puluhan orang sipil itu berguncang hebat. Letusan besar yang berasal dari sebuah tas travel meluluhlantakkan gedung bank yang dibangun sejak 1949 tersebut. Saking hebatnya ledakan itu, semua mobil yang diparkir di halaman gedung turut hancur, juga gedung-gedung lain di sekitarnya.

Tercatat, 3 orang tewas dan tidak kurang dari 33 orang lainnya mengalami luka-luka, baik luka berat maupun ringan (The Fight Against Terror, 2004:19). Korban tewas adalah dua wanita pegawai Hong Kong and Shanghai Bank, Elizabeth Choo (36 tahun) dan Juliet Goh (23 tahun), serta seorang sopir bernama Mohammed Yasin bin Kesit (45 tahun).

Sempat melarikan diri, Usman dan Harun tertangkap tiga hari setelah insiden tersebut terjadi, sementara Gani entah bagaimana caranya berhasil lolos. Usman dan Harun pun diajukan ke pengadilan dan divonis hukuman mati.

Garis Tipis Pahlawan Atau Teroris
Bulan-bulan terakhir di tahun 1965 itu, Indonesia sedang diterpa polemik usai terjadinya Gerakan 30 September. Hingga akhirnya, Presiden Sukarno harus merelakan posisinya diambil-alih oleh Soeharto yang sekaligus menandai bergantinya rezim kekuasaan di Indonesia.

Ketika Indonesia sedang sibuk mengurusi guncangan di dalam negeri, Usman Janatin dan Harun Thohir harus menghadapi pengadilan setelah 8 bulan ditahan. Pada 4 Oktober 1964, keduanya dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi Singapura dengan dakwaan telah melanggar control area, melakukan pembunuhan, serta menempatkan alat peledak dan menyalakannya.

Di persidangan, baik Usman maupun Harun menolak dakwaan tersebut. Keduanya beralasan, aksi tersebut bukanlah kemauan mereka sendiri, melainkan suatu tindakan yang memang harus dilakukan karena dalam situasi perang. Usman dan Harun pun meminta kepada sidang agar mereka diperlakukan sebagai tawanan perang.

Tanggal 15 Oktober 1965, pemerintah Indonesia mengirimkan utusan ke Singapura untuk menyelamatkan nasib Usman dan Harun (Pahlawan Nasional Usman bin Haji Muhamad Ali alias Janatin, 1980:43). Namun, usaha tersebut gagal dan 5 hari berselang, keduanya dijatuhi vonis berat berupa hukuman mati.

Upaya demi upaya dilakukan agar Usman dan Harun bisa terhindar dari maut. Namun, hingga asa terakhir dengan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Singapura saat itu, Yusuf bin Ishak, tetap saja tidak membuahkan hasil. Bahkan, permintaan pemerintah Indonesia yang berharap Usman dan Harun bisa dipertemukan dengan keluarga sebelum hukuman mati dilaksanakan, juga tidak dikabulkan.

Dan akhirnya, hari eksekusi datang juga. Pada jam 06.00 pagi waktu Singapura, tanggal 17 Oktober 1968, tepat hari ini 50 tahun lalu, Usman dan Harun dihukum gantung di Penjara Changi. Siang harinya, jenazah keduanya dipulangkan ke tanah air dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada hari itu juga.

Ratusan ribu rakyat Indonesia di Jakarta mengiringi pemakaman Usman dan Harun dengan rasa duka yang mendalam. Keduanya pun dianugerahi tanda kehormatan Bintang Sakti dan gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Bahkan, nama Usman-Harun diabadikan sebagai nama Kapal Perang Republik Indonesia yang diluncurkan pada Juni 2001.

Bagi sebagian rakyat Indonesia, Usman Janatin dan Harun Thohir barangkali dianggap sebagai pahlawan kusuma bangsa. Namun, label teroris tetap saja sangat sulit untuk diingkari atas aksi nir kemanusiaan yang telah mereka lakukan, sekalipun atas nama perang.

Hubungan RI-Singapura 

Peristiwa tersebut tentunya memengaruhi hubungan kedua negara. Setelah beberapa tahun berselang, PM Lee Kuan Yew menaburkan bunga di makam Usman dan Harun. Arsip Harian Kompas, 28 Mei 1973 tersebut menyebutkan, PM Lee saat itu tak hanya menaburkan bunga di atas makam keduanya. Taburan bunga itu berlangsung sesaat setelah Lee menaburkan bunga di makam Pahlawan Revolusi. Meski berlangsung singkat, namun peristiwa ini merupakan titik bersejarah dalam perkembangan hubungan RI dan Singapura pasca-eksekusi mati Usman dan Harun, delapan tahun sebelumnya. Lee dalam bukunya berjudul From Third World to First: The Singapore Story:1965-2000, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com 24 Maret 2014 menyatakan, ketika itu Dubes Singapura untuk Indonesia, Lee Khoon Choy, yang menyarankan untuk menutup episode kelam itu dengan sebuah bahasa tubuh diplomatik yang bersahabat. Lee Khon Choy akhirnya menyarankan PM Lee untuk meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun. 

Hubungan kedua negara kembali memanas saat Pemerintah RI berencana memberi nama salah satu kapal perang baru buatan Inggris dengan nama KRI Usman-Harun. Pemerintah Singapura menganggap, pemberian nama itu akan melukai rakyat Singapura terutama mereka yang menjadi korban peledakan bom. Namun protes yang dilayangkan lewat Menteri Luar Negeri K Shanmugam ini hanya dianggap sebagai suatu bentuk keprihatinan. "Kenapa harus seperti itu (diganti)?

Kita cukup mencatat keprihatinan dari Pemerintah Singapura. Saya rasa demikian," ucap Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 6 Februari 2014. Namun karena tidak diindahkan, Pemerintah Singapura melalui Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen mengatakan negaranya melarang kapal perang Indonesia itu memasuki teritorinya, termasuk pelabuhan dan pusat pangkalan angkatan laut. Meski dilarang untuk memasuki perairan Singapura, namun Panglima TNI Jenderal Moeldoko memastikan tak akan mengubah nama KRI Usman-Harun.
Share:

Propaganda Jepang di Indonesia pada masa penjajahan


Jepang menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942, ketika Panglima Tertinggi Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Bandung. Serangan dan pendudukan Jepang di Indonesia ini didasari oleh kebutuhan Jepang akan sumber daya alam di Indonesia, terutama minyak bumi, dalam upaya perang Jepang melawan China dan Amerika Serikat waktu itu di perang Dunia II.

Agar pendudukannya di Indonesia diterima, dan untuk memobilisasi rakyat, Jepang pada awalnya melakukan Propaganda Saudara Tua dan Propaganda 3A.  

Dalam Propaganda ini, sebagai Jepang digambarkan sebagai Saudara Tua, yang hendak memperbaiki nasib bangsa Indonesia dan membebaskannya dari penjajahan Belanda.

Pada mulanya, penduduk dibiarkan mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia. Para pemimpin perjuangan yang sebelumnya ditawan Belanda, seperti Ir Sukarno dan Muhammad Hatta juga dibebaskan dan diajak berkerja sama.

Propaganda ini disertai dengan Propaganda Tiga A, yaitu propaganda yang menggambarkan bahwa " Jepang Pemimpin Asia", " Jepang Pelindung Asia" dan " Jepang Cahaya Asia". Gerakan Tiga A didirikan pada tanggal 29 Maret 1942. Pelopor gerakan Tiga A ialah Shimizu Hitoshi. Ketua Gerakan Tiga A dipercayakan kepada Mr. Syamsudin.

Dalam propaganda ini, Jepang menyatakan bahwa bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia,  harus bersatu melawan penajajahan bangsa-bangsa Eropa, danbersatu dibawah kepemimpinan Jepang.
Share:

Satu-Satunya Wilayah di Indonesia yang Tidak Pernah Dijajah Belanda!


Seperti yang kita ketahui selama ini bahwa Indonesia pernah menjadi negara jajahan 3 negara, yaitu Portugis, Belanda dan Jepang. Beberapa Alasannya adalah mereka ingin menguasai Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah dan merupakan satu negara dengan jalur perdagangan yang strategis. Di antara ketiga negara yang menjajah Indonesia tersebut, Belanda adalah negara yang menjajah Indonesia dalam kurun waktu paling lama diantara yang lain. Daerah jajahannya pun meliputi Sabang sampai Merauke. Namun benarkah demikian? Karena rupanya ada satu wilayah di Indonesia yang terbebas dari jajahan Belanda, dan hal ini tidak kita dapatkan di bangku sekolahan dulu. Wilayah itu adalah Buton.

Wilayah Buton berlokasi di Sulawesi Tenggara, 46 km dari Bandara Betoambari di Bau Bau. Pertanyaannya, mengapa wilayah ini tidak dijajah Belanda? Rupanya, wilayah Buton ini bukannya luput dari perhatian Belanda, justru mereka memang sengaja tidak menyentuh atau menjajah daerah Buton. Pada masa-masa abad pertengahan dulu, bangsa Eropa memang sedang gencar-gencarnya melakukan invasi ke daerah Maluku untuk menguasai kekayaan alam disana. Bangsa Eropa tersebut adalah Portugis dan Belanda, Pada saat itu Buton menjadi tempat yang sangat strategis karena kapal-kapal para bangsa Eropa ini akan singgah terlebih dahulu di Buton.

Beberapa hal yang menjadi alasan mereka untuk memilih tidak menyentuh Buton adalah pada saat itu Buton sudah memiliki kerajaan yang kuat, daripada para pejajah Belanda ini harus susah payah menundukan kerjaan Buton terlebih dahulu untuk menguasai kekayaan alamnya, mereka lebih memilih menjalin kerjasama dengan Kerajaan Buton, terlebih kerajaan ini memang sudah terbiasa menjalin kerjasama dengan pihak asing, hal ini terbukti dengan banyaknya benteng yang bergaya Belanda di kawasan tersebut.

Pada saat itu Buton adalah kerajaan independen. Kerajaan ini memiliki sistem pemerintahan yang cukup ideal dengan adanya raja, perdana menteri, tentara sebagai badan pertahanan dan beberapa perangkat kerajaan lainnya. Kerajaan Buton adalah kerajaan kuat yang terbuka dengan bangsa asing yang melintasi wilayah perairannya, mereka sudah mengenal karakter orang-orang yang datang dari negeri yang berbeda-beda, ini lah sebabnya mereka bisa menjalin kerjasama dengan baik tanpa harus tersungkur karena taktik bangsa asing. Selain itu, kerajaan Buton juga selalu memantau pergerakan bajak laut, sehingga mereka menjadi lebih dibutuhkan oleh pihak Belanda.

Pada tahun 1538 Kerajaan Buton beralih menjadi Kesultanan Buton sejak dipimpin oleh Murhum Sultan Kamuddin Khalifatul Khamis seiring dengan masuknya ajaran Islam ke wilayah Buton. Wilayah ini tetap menjadi wilayah yang berdiri sendiri sampai akhirnya pada tahun 1960 Presiden Sukarno meminta Buton untuk bergabung dengan Indonesia, dan pada tahun 1965 Kesultananan Buton secara resmi bergabung dengan NKRI.
Share:

Operasi Cockpit 19 April 1944

Share:

BATALYON KALA HITAM LAWAN TERBERAT PADA MASA PEMBERONTAKAN DI /TII


Lahirnya Batalyon Infanteri 312/Kala HItam bermula dari hijrahnya pasukan Siliwangi ke Yogyakarta yang pada saat itu revolusi fisik sedang berkecamuk di negara Republik Indonesia. Saat itu tepatnya pada tanggal 30 Maret 1948 Mayor Inf Kemal Idris di perintahkan untuk membentuk sebuah Batalyon dengan nama Batalyon II Brigade XII KRU “ Z “ sekaligus beliau ditetapkan sebagai Komandan Batalyon yang pertama. Selanjutnya pada tanggal 24 Agustus 1948, tepatnya di Delanggu, Jawa Tengah diadakan rapat penentuan sebutan / nama Batalyon dan akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1948 disepakati nama Batalyon II Brigade XII KRU “ Z “ menjadi Batalyon “Kala Jengking “ yang kemudian diganti dengan “ Kala Hitam ” . Hingga sekarang tanggal 25 Agustus diperingati sebagai hari lahirnya Batalyon Infanteri 312/Kala Hitam.
Share:

Sejarah Warna Merah pada Bumper dan Velg di Mobil Dinas Brimob


Pasti Ada Sering  Bertanya ! Kenapa KENDARAAN BRIMOB Selalu Berwarna MERAH ??? 
Karna Sejarah VELQ itu Selalu Berwarna Merah, Setiap Warna Merah Yang ada  di Velq Kendaraan BRIMOB ,Bukan Sekedar Untuk GAGAH2NYA saja .

Akan Tetapi Ada SEJARAHNYA PADA TAHUN 1945 JAKARTA tidak Bisa Di Hubungi Oleh SURABAYA dan Pada Tgl 10 NOVEMBER 1945 INGGRIS Memenuhi Janjinya Untuk Meluntahkan SURABAYA pada saat itu M.YASIN MENJABAT SEBAGAI KOMANDAN POLISI ISTIMEWA ATAU TOKOBETSU KEISATSUTAI, Mengadakan Serangan Kepada Arah KOTA MALANG Dengan 3TRUK Serangan Udara INGGRIS Menghancurkan 2TRUK yang Berada DiBlakang ,Dan TRUK yang Di Tumpangi Oleh M.YASIN Berada di Depan.  Selamat Dari Maut Dari 2TRUK tersebut Mengalir DARAH2 Memenuhi BAK2 Tersebut Sampai RODA2 KENDARAAN Tersebut.

Dan Mengenal Peristiwa itu M.YASIN Meminta Kepada KEPOLISIAN Untuk Selalu Memberikan Warna MERAH Di Setiap VELQ KENDARAAN BRIMOB.

Itulah Mengapa Sampai Saat ini KITA Selalu Melihat Disetiap VELQ & BAMPER KEMDARAAN BRIMOB DI CAT WARNA MERAH .

Share:

SEJARAH BERDIRINYA BRIGADE MOBIL (BRIMOB)

Brigade Mobil atau  yang sering disebut BRIMOB adalah..... sebuah kesatuan paling unik di dunia.....

Unik karena.....
kesatuan ini berdasarkan fakta sejarah adalah sebuah kesatuan militer.....
namun.....
 secara struktur organisasi adalah..... bagian dari Kepolisian Republik Indonesia "POLRI".....

Kesatuan BRIMOB  ini secara resmi di bentuk pada tanggal 14 November 1946....
dalam satu upacara resmi .....yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir saat itu.....

Dari tahun kelahirannya......
maka pantaslah Brimob didaulat sebagai satuan militer paling tua di Indonesia......

Embrio Brimob sendiri sudah eksis sejak tahun 1912......
ketika saat itu kita masih dibawah pemerintahan kolonial Belanda...... 

Saat itu Belanda membentuk Gewapende Politie...... Yang kemudian digantikan oleh satuan lain bernama Veld Politie.....
dimana keduanya memiliki tugas yang sama..... 

Tugas2 ini antara lain bertindak sebagai unit reaksi cepat.... menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.... mepertahankan hukum sipil..... serta menghindarkan munculnya suasana .....yang memerlukan bantuan militer......

Dimasa pemerintahan Jepang.....
satuan khusus ini berganti nama lagi menjadi Tokubetsu Keisatsu Tai.....dan organisasinya jadi lebih luas.....

karena...
di bentuk di setiap daerah di Pulau Jawa.....
dan dipersenjatai dengan persenjataan lengkap....seperti senapan mesin dan kendaraan lapis baja.....

Pada saat proklamasi 17 Agustus 1945......
satuan polisi ini menyatakan diri setia kepada Republik Indonesia.... 
dan menjadi satu2 nya kesatuan bersenjata yg telah terorganisir secara resmi......

Peran pertama dari kesatuan polisi istimewa ini adalah....
dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya melawan pasukan sekutu.....

Dalam perkembangannya...... satuan ini ikut terlibat lagi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.... seperti pada agresi militer Belanda I pada 1947.....
dan agresi  belanda II.....
Pada akhir 1948...

Pada masa2 pasca kemerdekaan inilah.... satuan Brigade Mobil ini "dahulu disebutnya terbalik yakni Mobile Brigade"......
makin menguatkan diri sebagai sebuah satuan tempur.....
dengan kemampuan tempur yang tidak kalah darl   TNI....

Hal ini terbukti ketika tahun 1959..... dibentuknya unit elit Brimob Rangers....
unit khusus yang memiliki kwalifikasi Rangers ala US Army.....
Atau militer Amerika...

Unit ini dibentuk sebagai upaya pemerintah saat itu.....
untuk menangkal berbagai pemberontakan.....
di berbagai wilayah di Indonesia......

Unit Rangers ini.....
dididik langsung di Fort Buckner AS oleh US Army First Special Group Airborne.....
bagian dr US Army Scout Ranger.....
yang dikomandani Kapten Wilson......

Sedangkan untuk instruktur Brimob Ranger.......
pendidikan dilaksanakan di pangkalan US Navy di Okinawa.... dan di Subic serta Clark di Philipina......

Unit ini dididik untuk melakukan pertempuran hutan "gerilya".......dengan kwalifikasi penembak tepat "Marksman".... Tapi bukan Sniper loo yaaa....!!

Uji coba terhadap pasukan ini dilakukan di Jawa Barat.... yakni akhir 1949..... 
pada saat operasi pagar betis untuk memberantas pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo..... kemudian mengejar sisa2 pemberontakan PRRI di Sumatera......

Penggantian nama Mobile Brigade menjasi Brigade Mobil..... pertama kali dilakukan oleh Sorkarno.....
pada saat hari jadi Brimob ke 16 tahun 1961...... 

Penggantian nama ini tak lain karena..... agar tak dibilang kebarat2 tan....

Pada saat operasi Trikora..... sebanyak 50 orang dari  anggota Brimob ini... memperoleh medali bergengsi dari   pemerintah.... yakni medali Bintang Sakti..... 

Mereka memperoleh medali penghargaan ini karena..... pernah terlibat langsung perang melawan pasukan marinir dan angkatan darat Belanda....
dikawasan Tanjung Fatagar.....
Rumbati.....
Kokas.....
dan Fak Fak di Irian Barat......
Share:

Tokoh-Tokoh Sumpah Pemuda


Pada tanggal 28 Oktober 1928 para putera dan puteri Indonesia menyatakan tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu Indonesia. Namun, tahukan Anda siapa saja orang-orang atau tokoh penting yang turut andil dibalik peristiwa kongres pemuda dan pembentukan ikrar sumpah pemuda. Berikut adalah tokoh penting sumpah pemuda antara lain:

1. Soenario
Prof. Mr. Soenari Sastrowardoyo adalah seorang penasehat panitia dalam merumuskan sumpah pemuda dan pembicaranya.

2. J. Leimena
Leimena adalah anggota panitia kongres pemuda II. J. Leimena lahir tahun 1905 di Ambon Maluku yang merupakan mahasiswa aktivis dan ketua dari organisasi pemuda Jong Ambon.

3. Soegondo Djojopoespito
Tidak banyak orang yang tahu pria kelahiran tahun 1905 adalah tokoh penting yang memimpin jalannya kegiatan kongres pemuda II di Jakarta sampai menghasilkan ikrar sumpah pemuda.

4. Djoko Marsaid
Djoko Marsaid adalah aktivis yang menjadi ketua dari Jong Java. Pada saat kongres pemuda II, Djoko Marsaid bertindak menjabat sebagai wakil ketua kongres pemuda II.

5. M Yamin
M Yamin lahir pada tahun 1903 di Minangkabau yang terkenal sebagai penyair puisi gaya modern di Indonesia. M Yamin lah yang memberikan usulan dan mendorong agar Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan dalam ikrar sumpah pemuda.

6. Amir Syarifuddin Harahap
Tokoh yang satu ini adalah wakil ketua dari Jong Batak Bond dan aktivis yang sangat anti Jepang, bahkan Amir juga pernah diancam untuk dihukum mati. Amir memberikan kontribusi ide-ide brilian saat terjadinya perumusan sumpah pemuda.

7. W.R Supratman
Tidak hanya dikenal sebagai seorang wartawan, pengarang, dan pencipta lagu Indonesia Raya, W. R. Supratman juga menjadi tokoh penting dalam peristiwa sumpah pemuda. Pada penutupan kongres pemuda II, W. R. Supratman menunjukkan sebuah lagu instrumental tanpa teks dengan alat musik biola yang menjadi lagu kemerdekaan Indonesia yaitu Indonesia Raya.

8. S. Mangoensarkoro
Tokoh dengan nama lengkap Sarmidi Mangoensarkoro ini adalah tokoh penting sumpah pemuda yang lahir di tahun 1904. Sarmidi merupakan aktivis pendidikan, dimana saat kongres pemuda I dan II berlangsung, Sarmidi lebih banyak berbicara soal pendidikan untuk rakyat Indonesia. Bahkan berkat konsentrasinya dalam bidang pendidikan yang begitu kuat tersebut, pada tahun 1949 sampai 1950 Sarmidi dipercaya untuk menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan Indonesia.
Share:

POLISI-TENTARA (PT) Cikal bakal CPM

Saat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk belum tersedia perangkat hukum atau peraturan yang mengendalikan suatu organisasi bersenjata atau angkatan perang, oleh karena itu pengaturan kelompok-kelompok bersenjata tersebut menjadi sukar.


Dalam situasi tersebut timbul gagasan dari beberapa orang untuk mendirikan badan yang mengatur disiplin dikalangan organisasi bersenjata, umumnya mereka yang berpikiran demikian berlatar belakang penegakan hukum. Maka secara otonom di beberapa daerah mulai berdiri Polisi Tentara (PT)

Share:

Kisah nyata : SAAT-SAAT TERAKHIR BUNG KARNO TERUSIR DARI ISTANA NEGARA.

"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1967)
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.
Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu".
Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno,
Bung Karno lalu melangkah ke arah ruang tamu Istana, disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan karena para ajudan bung karno sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.
Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.
"Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". tegas bung karno kepada ajudannya.
Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya".
Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..."
Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan.
Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara.
Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Maulwi Saelan ( pengawal terakhir bung karno ) dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan.
"Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak.
Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman.
Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi.
Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri gadis Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.
Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental.
Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno.
Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.
Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!...
Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri.
Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.
Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.
Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.
"Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachma lalu dengan menggenggam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto.
"Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso.
Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.
Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapikan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno.
Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar mardjono hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.
Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui diceritakan nekat membebaskan Bung Karno.
Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak.
Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!"
Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.
Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.
Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.
Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.
"Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" ujar istri bung hatta.
Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini".
Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.
Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan...
Share:

Monumen Berdarah Perjuangan Lengkong


Pada hari Jumat petang, tanggal 25 Januari 1946, telah terjadi Peristiwa Berdarah Lengkong/Serpong. 

Pasukan dari Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot yang tengah merundingkan penyerahan senjata dari pasukan Jepang di Lengkong kepada pasukan T.R.I, secara tiba-tiba sekali telah dihujani tembakan dan diserbu oleh pasukan Jepang sehingga mengakibatkan gugurnya 34 Taruna Akademi Militer Tangerang dan 3 Perwira T.R.I, di antaranya Mayor Daan Mogot sendiri. 

Untuk mengenangkan para kesuma bangsa yang telah gugur ketika menjalankan tugas untuk negara, pada bulan Maret 1946, telah diciptakan lagu dengan judul “Pahlawan Lengkong”: 

Jauh di sana, di balik tembok, 
Terletak Taman Pahlawan Raya. 
Terus berjuang di medan Lengkong. 
Untuk membela nusa dan bangsa. 
Selamat tinggallah Ibunda. 
Selamat tinggallah Ayahanda. 
Ku pergi jauh ke sana. 
Mencari bahagia.

Adapun ketiga perwira TRI yang gugur dalam Peristiwa Lengkong adalah Mayor Daan Mogot (Direktur Akademi Militer Tangerang), Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo (Polisi Tentara Resimen IV), dan Lettu Soetopo (Polisi Tentara Resimen IV). 

Sedangkan ke-34 Taruna Akademi Militer Tangerang yang gugur yakni, Said Mohammad Alhadad, Mohammad Arsad bin Moesanip, Bacharoedin, R Brentel Soegito, Harsono Pramoegiri, Rudolf Maringka, Marsono, Martono, Matdoellah, Memed Danoemihardja, Oemar Ali bin Ali, Rafli Agoes, Mohammad Ramli Achmad, Rohadi, Saleh Bachroedin bin Haji Soehaemi, R Santoso Koesman, Sasmita, Sasmito Soenarjo, Sarjanto Sarnoe, Sjamsir Alam, Sjewket Salim, Soebandi, Soebijanto Hardjowijoto, Soegianto, Soegito, R.M. Soedjono Djojohadikoesoemo, Soekadi, Soekiswo, Somantri Martaatmadja, Soerardi, Soerjani, R Soeseno, Soewirjo Tjokrowigeno, dan Zainal.
Share:

SEJARAH DAN ASAL-USUL KATA PENGEMIS

SEJARAH DAN ASAL-USUL KATA PENGEMIS
Oleh Heri Eriyadi (Founder KCPI)

Pada saat itu penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat di pimpin oleh seorang Raja bernama Paku Buwono X, dimana para penguasa pada masa itu memang sangat dermawan serta gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum papa yang tak berpunya terutama menjelang hari Jum'at khususnya pada hari Kamis sore.

Pada hari Kamis tersebut Raja Paku Buwono keluar dari Istananya untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana menuju Masjid Agung, perjalanan dari gerbang Istana menuju Masjid Agung tersebut ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alun-alun lor (alun-alun utara), sambil berjalan kaki tentunya diiringi para pengawal sang raja, rupanya di sepanjang jalan sudah dielu-elukan oleh rakyatnya sambil berjejer rapi di kanan-kiri jalan dan sembari menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada sang pemimpinnya.

Pada saat itulah sang raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya berupa uang tanpa ada satupun yang terlewatkan dengan kebiasaan berbagi-bagi berkah tersebut mungkin juga warisan para penguasa sebelumnya (sebelum Paku Buwono X), ternyata kebiasaan tersebut berlangsung setiap hari Kamis (dalam bahasa jawanya Kemis), maka lahirlah sebutan orang yang mengharapkan berkah dihari Kemis dan diistilahkan dengan sebutan NGEMIS (kata ganti untuk sebutan pengguna/pengharap berkah dihari Kemis) dan para pelakunyapun biasa disebut Pengemis (Pengharap berkah pada hari Kemis).

Namun kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosa kata bahasa Indonesia yang tentunya kata dasarnya bukan emis, tapi Kemis (Kamis), ternyata sebutan peminta-minta kalah populer dengan istilah pengemis padahal kata pengemis kalau diurai dan diambil dari kata dasarnya yakni kemis atau emis mungkin tidak dikenal dalam kosa kata bahasa indonesia kecuali kalau ada tambahan awalan pe sehingga muncul istilah "Pengemis". Lain halnya dengan kata peminta-minta kata dasarnya adalah minta yang artinya jelas bahkan bisa berdiri sendiri tanpa ada awalan pe.

Jadi kalau boleh disimpulkan 
asal muasal kata atau perkataan pengemis berasal dari Surakarta atau Solo.
Share:

Apa yang Dimaksud dengan Peristiwa Bandung Lautan Api?

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, Jawa Barat, pada 24 Maret 1946, ketika ribuan penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal itu dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer dalam perang kemerdekaan Indonesia.

Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan di hadapan semua kekuatan perjuangan Republik Indonesia. 

Kemudian, Kolonel Abdoel Haris  Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI waktu itu, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan me-merintahkan evakuasi kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir keluar dari kota Bandung, dan malam harinya pembakaran kota berlangsung.

Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap strategi yang tepat dalam perang waktu itu, karena kekuatan tentara Indonesia dan milisi rakyat tak sebanding dengan kekuatan Sekutu dan NICA yang berjumlah besar.

Setelah peristiwa tersebut, tentara bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa itulah yang kemudian mengilhami lagu “Halo, Halo Bandung”.

Sementara istilah Bandung Lautan Api muncul pertama kali di harian Suara Merdeka, tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda, Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung tersebut dari bukit gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak bukit, Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai Cimindi.

Setelah tiba di Tasikmalaya, Bastaman segera menulis berita dan memberi judul “Bandoeng Djadi Laoetan Api”. Namun, karena kurangnya ruang, judul berita tersebut diperpendek menjadi “Bandoeng Laoetan Api”.


Share:

Asal Usul Nama Jalan Patekoan di Jakarta Barat

Patekoan adalah nama jalan yang dikenal sebagai lokasi kantor milik Kapitan Gan Djie, seorang China yang berasal dari XiangXu - Hokian China. Gan Djie muda sukses berdagang di Gresik Jawa Timur dan hingga menjadi saudagar kaya di sana.

Di Tahun 1659 Gan Djie bertolak ke Batavia bersama istrinya yang seorang asli Bali. Gan Djie tinggal di Jalan Patekoan yang mana nama jalan ini diganti menjadi jalan Perniagaan di sekitar Tahun 1960an.

Karena sifatnya yang baik dan suka menolong, Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsyuker mengangkatnya menjadi Kapitan de Chineseen menggantikan Kapitan China sebelumnya Phoa Beng Gan yang mengundurkan diri.

Di depan kantor Kapitan ini, sang istri selalu menyiapkan meja dan beberapa teko berisi air teh gratis dan gelas - gelas yang disiapkan bagi siapa saja yang lewat disana untuk istirahat dan minum.

Lokasi rumah Kapitan Gan Djie dikenal sangat besar saat itu dan berarsitektur China dengan khas lancip bagai buntut burung walet - tepat di jalan Perniagaan.
Share:

INILAH BUKTI BAHWA ULAMA ADALAH UNSUR PALING PENTING DALAM KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA

Tidak terasa usia negara tercinta Indonesia sudah mendekati tahun yang ke 70. Pelajaran berharga yang selalu dapat kita petik dari sebuah perayaan ulang tahun kemerdekaan adalah tentang kepeloporan dan cinta tanah air sebagaimana telah diwariskan oleh para pendahulu kita.

Secara kebetulan, ulang tahun negeri ini terjadi hampir bersamaan dengan agenda besar dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang keduanya memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan. Saat itu para ulama mempelopori perlawanan terhadap penjajah akibat kedzaliman yang dilakukan para penjajah terhadap umat Islam.

Namun demikian, perjuangan tersebut bukanlah sebuah perlawan lokal seporadis yang ditujukan hanya untuk kepentingan sesaat; para ulama dan santri berjuang demi hadirnya sebuah negara yang berdaulat dan merdeka. Pergerakan ulama-santri dalam melawan kolonial Belanda memang sempat membuat mereka menjadi kalangan yang begitu terpinggirkan, namun jelas hal itu tidak menghentikan langkah mereka.

Datangnya Jepang yang mengklaim diri sebagai saudara tua nyatanya malah menghadirkan penjajahan baru yang lebih kejam, hingga akhirnya ulama-santri menerima tawaran kolonial Jepang untuk barisan. Terbentuknya Hizbullah berawal dari keinginan Jepang untuk merangkul umat Islam di seluruh Indonesia agar bersedia dilatih militer dan kemudian dikirim ke Jepang untuk bergabung dengan Heiho (tentara pembantu) dalam melawan tentara sekutu, namun dengan gagasan brilian KH. Hasyim Asy’ari, laskar santri tersebut terpisah dengan Heiho dan membentuk barisan tersendiri yaitu Laskar Hizbullah.

Laskar bentukan KH. Hasyim Asy’ari ini dimaksudkan sebagai upaya persiapan kemerdekaan RI sekaligus mempertahankannya. “cara paling efektif menumbangkan penjajah adalah dengan kekuatan penjajah itu sendiri.” Begitu kira-kira teori yang beliau usung.

Laskar Hizbullah, Fisabilillah, dan seluruh rakyat Indonesia dengan berbekal fatwa jihad KH. Hasyim yang diteguhkan oleh Resolusi Jihad, pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa, khususnya umat Islam untuk membela NKRI. Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama-santri dari berbagai daerah berada di garda depan pertempuran. Perjuangan laskar ulama-santri terjadi di berbagai daerah terpompa semangat Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari.

Perjuangan ulama-santri berlanjut dalam pertempuran melawan penjajah, bahkan eskalasinya semakin keras diiringi dengan berbagai strategi diplomasi. Karena yang diusung oleh para ulama adalah politik kebangsaan, maka laskar Hizbullah tidak mempermasalahkan kebijakan-kebijakan terkait dengan tentara negara. Bahkan para ulama tetap menjaga semangat juang dengan meneguhkan kembali resolusi jihad jilid II. Meskipun perjanjian Linggarjati dan Renville telah merugikan, namun semangat juang ulama-santri tetap berkobar.

Ulama-santrilah yang mampu secara konsisten mengadakan perlawanan terhadap kolonial. Dengan kata lain, ulama dan pesantren menjadi simbol perlawanan kolonial. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa salah satu elemen bangsa yang tidak pernah terjajah oleh kolonial adalah ulama-santri dan pesantren; konsistensi perlawanan mereka terhadap penjajahan tidak pernah tergoyahkan.

Terkait dengan semakin banyaknya pasukan Belanda yang masuk ke wilayah Indonesia, Jenderal Sudirman menyadari bahwa ia tidak mungkin berjuang sendirian bersama TNI-nya (dulu TKR-Tentara Keselamatan Rakyat), maka ia pun mengambil inisiatif untuk menggabungkan pasukan bentukan para ulama pesantren, diantaranya Hizbullah dan Fisabilillah. Para ulama sama sekali tidak berkeberatan dengan peleburan itu, mereka tidak pernah berpikir bahwa hisbullah adalah investasi yang kelak harus ditagih  hasinya, para ulama juga tidak egois untuk bekerja sendiri dengan asas Islam.

Upaya untuk menyatukan laskar-laskar perjuangan terus dilakukan setelah Jenderal Sudirman bertemu dengan para pimpinan laskar dalam sebuah rapat yang diselenggarakan pada 12 November 1946 di Yogyakarta. Pertemuan ini berhasil membentuk Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang, di mana pasukan Hizbullah masuk ke dalam badan ini. Pimpinan tertinggi Hizbullah, KH Zainul Arifin duduk dalam kepengurusan Dewan ini.

Meleburnya Hizbullah ke dalam TNI (dulu TRI-Tentara Republik Indonesia) bukan tanpa resistensi internal. Sempat ada penolakan dari Hizbullah Sunan Ampel di bawah pimpinan Mayor Mansur Solichy karena khawatir penggabungan itu akan berimbas pada nasib Hizbullah yang akan diperlakukan seperti anak tiri.

Namun sikap Hizbullah Sunan Ampel ini melunak ketika TRI diubah menjadi TNI. Hal itu ditunjukkan oleh kesediaan mereka untuk bergabung dengan TNI. Sikap ini yang mengundang rasa simpati dari Panglima TNI kala itu, Jenderal Sudirman, sehingga ia menyatakan bahwa sikap Hizbullah yang mau melebur ke dalam TNI adalah sebuah bukti bahwa Hizbullah adalah sebuah kesatuan perjuangan yang lebih mementingkan negara daripada kepentingan golongan.

Kesediaan laskar Hizbullah untuk bergabung dengan TNI merupakan representasi dari sikap patuh terhadap pimpinan, yakni ulama. Para ulama kemudian menggunakan sikap patuh ini untuk tujuan yang lebih besar, yakni perlawanan terhadap penjajah.

Hal ini menunjukkan bahwa ulama bukan saja menjadi panutan masyarakat dalam hal keagamaan, karena mereka juga turut berjuang merebut kemerdekaan bangsa dengan turun langsung ke gelanggang perang.

Sejarah bergabungnya tentara Islam dengan TNI seperti diuraikan di atas merupakan salah satu bukti nyata betapa nasionalisme, kepeloporan, dan cinta tanah air adalah bagian dari implementasi syariat Islam. Semoga ulang tahun Indonesia yang ke 70 ini menjadi momentum bagi kita untuk tumbuh menjadi manusia yang lebih baik, shalih dan cinta tanah air.

sumber : jalandamai.org
Share:

SEBAB MUSABAB TERJADINYA PERISTIWA PERTEMPURAN LENGKONG DI TANGERANG

 

Setelah pemerintahan sipil di Tangerang pulih, dibentuklah Resimen 4 Tangerang yang memusatkan perhatian pada masalahmasalah yang berhubungan dengan pertahanan. Dalam hal ini di Tangerang masih terdapat markas pasukan Jepang yang cukup besar dengan persenjataan yang kuat. Markas Jepang ini terletak di Desa Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong dan dipimpin oleh Kapten Abe. Berjarak sekitar 15 km dari Kota Tangerang. Markas Jepang ini berada di bawah pengawasan sekutu yang berkedudukan di Bogor.

Tersiarnya kabar bahwa Belanda yang berkedudukan di Bogor akan menduduki Parung, kemudian Lengkong, mengancam kedudukan TKR di Tangerang. Dalam upaya meminimalkan ancaman dari pihak NICA dan dalam upaya memperoleh tambahan senjata, dibentuk tim yang bertujuan agar pelucutan senjata berjalan damai. Untuk kelancaran pengambilalihan senjata itu distujui dengan memanfaatkan serdadu Inggris berkebangsaan India yang disersi.

Pada tanggal 25 Januari 1946 pasukan TRI berangkat ke Lengkong beserta serdadu India yang mengenakan seragam tentara Inggris. Dengan demikian mereka diizinkan untuk memasuki markas dan Mayor Daan Mogot melakukan perundingan dengan Kapten Abe. Pihak Jepang setuju untuk menyerahkan senjata, tetapi tiba-tiba terdengar letusan senjata, keadaan berubah menjadi panik. Tentara yang panik dan mengira diserang, serentak menembaki pasukan TRI Resimen 4. Para taruna yang tidak menyangka terjadinya peristiwa itu berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Pertempuran tersebut berakhir dengan menelan korban 34 taruna dan 3 perwira, termasuk Mayor Daan Mogot. Mereka yang masih hidup dan luka-luka ditahan oleh pihak Jepang. Untuk mengabadikan peristiwa pertempuran tersebut, pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang membangun monumen Akademi Militer Tangerang yang dibangun pada tanggal 26 Januari 1967.

Yang tersisa kini adalah sebuah rumah peninggalan Akademi Militer Tangerang yang terletak di lapangan golf BSD Serpong. Rumah ini berarsitektur tropis dengan langit-langit yang tinggi. Di bagian muka terdapat beranda yang ditopang oleh empat tiang penyangga pada bagian depan. Bangunan ini relatif masih belum mengalami perubahan yang berarti pada bagian-bagian bangunannya. Bagian dalam bangunan dibagi ke dalam 4 ruangan berukuran besar seperti pada markas-markas militer yang biasanya diperuntukkan sebagai ruang kerja. Daun pintu dan daun jendela yang dibentuk atas susunan bilah - bilah kayu (jalosie window). Bagian depan memiliki dua buah jendela dan satu pintu dengan daun pintu ganda. Di bagian kiri dan kanan terdapat masing-masing dua buah jendela dengan daun pintu ganda. Sepertiga bagian atas beranda ditutup oleh kayu yang disusun secara horisontal dengan bentuk ujung menyerupai tumpal. Pada bagian belakang bangunan utama terdapat bangunan sekunder yang mirip sebuah pos penjagaan berukuran sekitar 4 x 5 meter persegi. Terdapat juga sebuah sumur berdiameter 2 meter yang sudah ditutup

Tangerang merupakan salah satu daerah yang melakukan perlawanan paling sengit dalam perang kemerdekaan. Hal ini disebabkan karena Tangerang merupakan markas besar TRI dan pejuang setelah mereka ditarik dari Jakarta.

Share:

Mengapa Belanda Lebih Memilih Kartini, Bukan Cut Nyak Dien Atau Dewi Sartika?

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia? 

Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. 

Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?
Share:

FAKTA YANG DITAKUTKAN PARA PENJAJAH KETIKA MELAWAN BAMBU RUNCING


Ternyata jika mereka terkena tusuk Bambu Runcing jka tidak mati saat itu, maka matinya bisa berhari hari kemudian..atau bisa sebulan kemudian..Hal inilah yang membuat takut Belanda saat itu, karena bisa dibayangkan batapa Sakitnya menahan Luka terkena Bambu Runcing menjelang Kematiannya.Karena Luka yang mereka alami tidak bisa diobati..(Kemungkinan karena zat yg ada pada bambu tersebut, )

Dan satu hal lagi dengan sistem Gerilya yg diterapkan Pejuang kita, mereka tidak tahu kapan musuh datang dan dari arah mana..karena tidak ada Suara tembakan dari Senapan..yang ada hanyalah "Senjata Bambu Runcing"
Share:

Si Macan Sepatan Dari Serpong

Pada Zaman penjajahan VOC, terdapatlah sebuah Kampung Nelayan yang bernama Dadap dikawasan Tangerang dekat Cengkareng. Kehidupan para Nelayan di Kampung Dadap tersebut bisa dibilang lebih dari berkecukupan, rata-rata penduduk kampung tersebut hidup makmur. Sampai pada suatu ketika, Daerah itu menjadi incaran dari seorang Tuan Tanah serakah yang sangat berkuasa bernama Ki Radun.

Ki Radun si Tuan Tanah serakah yang telah menguasai Cengkareng, Rawa Buaya, dan Kali Deres, bermaksud untuk menguasai daerah Dadap untuk dijual kepada Kompeni Belanda untuk dijadikan kota pelabuhan, tentunya ia berharap pemerintah Kompeni Belanda akan membayarnya kalau ia yang menguasai Kampung Dadap tersebut dan mengangkatnya menjadi Demang diseluruh wilayah kekuasaanya itu.

Maka dimulailah usaha-usaha Ki Radun untuk menguasai Kampung Nelayan Dadap, mulai dari cara halus yakni membelinya dengan harga murah, sampai dengan kekerasan untuk mengusir para penduduk kampung tersebut. Kehidpuan para penduduk kampung nelayan itupun segera berubah setelah para anak buah dan centeng Ki Radun selalu mengganggu mereka dan berusaha mengusir mereka, kehidupan mereka yang asalnya makmur, serba lebih dari berkecukupan, menjadi miskin, karena tertindas dan selalu dicekam oleh ketakutan.

Pada saat itu hadirlah Zakaria, seorang Ustadz dan juga Pendekar atau jawara dari Serpong yang mendapat julukan "Si Macan Sepatan Dari Serpong" ke Kampung Dadap untuk syiar agama Islam sekaligus menolong penduduk Kampung Dadap dari ulah Ki Radun. Kehadiran Zakaria membawa harapan baru bagi warga Kampung  Dadap yang setiap harinya selalu dikecam oleh ketakutan karena teror dari Ki Radun itu. Zakaria menjadi pelindung, pemimpin sekaligus pemersatu warga Kampung Dadap untuk melawan kezaliman Ki Radun dan Kaki tangannya.

Tentu saja ki Radun tidak tinggal diam dengan sepak terjang Zakria ini, dia melakukan segala macam cara untuk menyingkirkan Zakaria, mulai dari cara halus yakni menyogoknya, hingga dengan cara kekerasan. Semua centeng yang ia kerahkan untuk "menghajar" Zakaria "keok" semua karena ternyata Zakaria adalah seorang jawara yang pilih tanding. Hingga akhirnya setelah Ki Radun mengetahui bahwa Zakaria adalah seorang buronan Kompeni, ia meminta bantuan Kompeni untuk mengatasi Zakaria dan menyewa seorang pendekar pembunuh bayaran bernama Artaman "Si Naga Laut Utara" yang sakti mandraguna dan mempunyai hubungan masa lalu dengan Zakaria "Si Macan Sepatan Dari Serpong"
Share:

Westerling Duplikat Hitler dari Belanda


“Kenapa anda tidak menembak Soekarno waktu kudeta dulu?” , Kapten Westerling ditanya. Apa jawabnya? Kapten yang pernah mengatakan bahwa Soekarno adalah tokoh yang paling dibencinya, menjawab: “Orang Belanda itu perhitungan sekali. Satu peluru harganya 35 sen. Sedangkan harga Soekarno tak lebih dari 5 sen. Jadi rugi 30 sen. Kerugian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan”. Dengan kata lain Westerling ingin menghina Soekarno, bahwa pelurunya lebih mahal daripada nyawa Soekarno.

Indonesia tentu saja geram dengan penghinaan itu. Beberapa kali ada usaha untuk mengekstradisi Westerling ke Indonesia. Sayangnya usaha itu tak pernah terwujud sampai meninggalnya Westerling tahun 1987 dalam usia 68 tahun di Purmerend Belanda. Beberapa jam sebelum meninggal akibat serangan jantung, Westerling dikabarkan marah-marah pada wartawan Belanda yang tidak pernah berhenti menguber noda masa lalunya.

Permintaan untuk mengekstradisi dan mengadili Westerling terutama bukan karena penghinaan tadi. Tapi juga karena kekejamannya di masa agresi militer Belanda plus percobaan kudetanya terhadap Presiden Soekarno. Kekejaman Westerling dituding memakai cara-cara Gestapo. Tudingan ini bukan hanya dari pihak Indonesia, tapi tudingan pada Westreling ini justru sangat gencar datang dari orang Belanda sendiri, terutana kaum peduli HAM.

Harian “De Waarheid” di Belanda menurunkan berita bulan Juli tahun 1947, isinya tentang kekejaman Westerling yang dinilai sama dengan kekejaman pasukan Jerman di PD II. Kemudian harian “Vrij Nederland” Juli 1947, juga merinci bagaimana kekejaman Westerling. Misalnya menyuruh dua tawanan bertarung. Lalu yang kalah ditembak mati. Termasuk mengeksekusi orang-orang tak bersalah di depan umum. Maksudnya untuk menakut-nakuti penduduk lain agar mereka mau buka mulut tentang persembunyian gerilyawan.

“Semua orang kampung, juga perempuan dan anak-anak, dikumpulkan dan ditembaki satu per satu. Saya pura-pura mati dan menjatuhkan diri di antara timbunan mayat berlumuran darah Saya tidak berani bergerak sebelum merasa yakin, Westerling dan pasukannya itu benar-benar telah pergi jauh”. Begitulah kesaksian seorang penduduk di Makassar atas aksi kekejaman Westerling.

Ketika masih bekerja di Jakarta, saya pernah mewawancarai seorang pejabat militer yang bermukim di bilangan Matraman Jakarta. Wawancara itu antara lain menyinggung tentang pengalamannya bertemu Westerling. Pak Suryadi bercerita, dia sempat ditahan di sel oleh Westerling. Di sel itu selama hampir tiga hari dia digantung dengan kepala di bawah dan kaki di atas. “Rasanya saya sudah hampir mati saja. Untung saja saya tidak sampai dibunuh”.

Raymond Paul Pierre Westerling, lahir di Istanbul 31 Agustus 1919, adalah tentara bayaran Belanda. Ayahnya Belanda, ibunya Turki. Tapi ada juga yang mengatakan ibunya orang Yahudi, ada yang mengatakan orang Yunani yang lahir di Turki. Simpang siur. Maklumlah, sejak usia 5 tahun Westerling mesti hidup sendiri di panti asuhan karena ditinggal kedua orangtuanya. Mungkinkah kekerasannya disebabkan sejak usia dini dirinya terpaksa tumbuh sendiri di jaman perang yang ganas, tanpa belaian kasih sayang orangtua?

Kapten ini biasa juga dipanggil “Turk”, panggilan yang biasanya ditujukan buat orang-orang berdarah Turki di Belanda.

Dia bisa bergabung dengan kesatuan Belanda, setelah mendatangi konsulat Belanda di Istanbul dan menawarkan diri sebagai sukarelawan perang. Kebrutalannya dan nalurinya sebagai penjagal mungkin membuat perang menjadi tempat yang cocok untuknya. Dia sendiri pernah mengakui, dalam perang dia menemukan kesenangannya. Keahliannya dalam kemiliteran adalah sabotase dan peledakan. Dia digojlok dalam satuan komando dengan training yang karena begitu kerasnya disebut “neraka dunia”, di Pantai Skotlandia yang dingin kosong melompong tanpa penghuni. Latihan keras untuk meraih baret hijau itu antara lain bertarung dan membunuh dengan tangan kosong, tanpa suara.

Berbekal segudang training berat kemiliteran, akhirnya Westerling sang tentara bayaran ditugaskan ke Indonesia untuk menumpas pemberontakan. Tugas sebagai pimpinan pasukan komando baret merah berada di pundaknya.

Seorang eks anak buahnya menggambarkan Westerling sebagai, “Orang yang kejam, tidak menghargai hidup dan suka melanggar janji. Dia bisa membiarkan tahanan di sel berhari-hari tanpa diberi makanan. Kadang dijanjikannya bahwa tawanan akan dilepaskan kalau mereka mau menolong Westerling. Tapi setelah tawanan itu sudah terlalu lemah dan tidak bisa lagi berjalan, malah langsung ditembak mati”.
Bahkan bagi anak buahnya sendiri, kekejamannya kadang dinilai keterlaluan. Sampai kadang ada yang menolak melaksanakan perintahnya, karena tak sampai hati menembak tawanan. Akibatnya anak buah yang membangkang tentu saja harus menerima hukuman indisipliner dari sang kapten ini.

Di Indonesia Westerling dikenal sebagai “algojo” yang melakukan pembantaian berkubang darah, terutama di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Dari kota Makassar sampai kabupaten Barru, Parepare, Pinrang, Sidrap, dan Enrekang. Kejadian itu sekitar Desember 1946 – Februari 1947. Korban terbanyak adalah di Galung Lombok, kabupaten Barru. Untuk mengenang sejarah kelam itu, pemerintah kota membangun tugu di kota Makassar, disebut monumen korban 40.000 jiwa. Apakah betul sebanyak 40.000 jiwa, hingga kini masih diperdebatkan kebenarannya jumlahnya. Namun ada satu hal yang jelas. Nyaris semua kesaksian, baik pihak Indonesia maupun pihak Belanda sendiri membenarkan bagaimana kejinya kekejaman Westerling. Dia adalah prajurit yang sangat mudah menembak mati seseorang, tanpa alasan jelas. Seperti menembak burung saja. Itu belum terhitung menyiksa tawanan secara tidak berperikemanusiaan.

Untuk menggambarkan kekejaman Westerling yang berdarah dingin itu, J. Dancey seorang perwira Inggris bercerita, “Suatu pagi saya mendatangi Westerling untuk minum dan ngobrol bersama. Tiba-tiba dengan tenang dia mengambil potongan kepala dari keranjang sampah di samping meja kerjanya. Katanya itu potongan kepala dari pimpinan pemberontak yang baru saja dipenggalnya”. Westerling seakan ingin mengajari perwira Inggris itu, “begini lho caranya kalau mau menumpas pemberontakan!”.

Situasi perang kadang membuat seorang prajurit mesti bertindak “saya yang mati atau kamu yang mati”. Sehingga mau tidak mau, kadang mesti membunuh. Namun itu tidak berarti prajurit tidak pakai aturan dan diperbolehkan membunuh sesuka hati. Tetap ada aturannya. Jika tidak, maka bisa kena tuduhan melakukan pelanggaran HAM.

Karena melakukan pembunuhan seenak perutnya sendiri, maka perbuatan Westerling tergolong pelanggaran HAM dan dituding melakukan kejahatan perang. Westerling memang menumpas pemberontakan dengan caranya sendiri. Dengan cara bengis dan kejam. Padahal ketika itu sesuai ketentuan Westerling harus berpegang pada Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di Bidang Politik dan Polisional. Karena keluar dari pedoman komando, Westerling pun dipecat tahun 1948. Di Belanda pun, status Westerling masih sering diperdebatkan. Pahlawan atau penjahat?

Sebagian pihak di Belanda pernah mengelu-elukan Kapten Westerling sebagai pahlawan yang berhasil menumpas pemberontakan. Tapi ada juga kaum kritis di Belanda yang mengatakan Westerling itu cuma seorang penjahat perang.

Westerling dikerumuni wartawan di aiport di Brussel setelah melarikan diri dari Indonesia


Jika saya ke Indonesia, kadang ditanya, “Kenapa sih kamu menikah dengan orang Belanda?. Mereka itu kan penjajah?!”. Bahkan saya pernah bertemu orang yang menolak menyopir mobil karena di antara rombongan ada orang Belandanya.

Jaman sudah berubah. Sejarah bergulir dengan cepat. Namun dendam sejarah masa lampau masih membuat sebagian orang Indonesia tetap menyimpan citra kelabu tentang Belanda.
Faktanya, justru rakyat Belanda sendiri yang mendesak pemerintah Belanda untuk minta maaf terhadap rakyat Indonesia atas kejahatan perang di masa lalu. Bahkan penyelidikan dan penelitian tentang kejahatan dan pelanggaran HAM agresi militer Belanda diungkap sendiri oleh para sejarawan Belanda dan pers Belanda sendiri.

Karena itu sekarang mulai sedikit terkuak misteri, mengapa di masa hidupnya Westerling bisa leluasa bergerak sana-sini. Ini janggal. Apalagi gara-gara kebengisannya di Sulawesi Selatan, ketika itu Westerling sudah dipecat dari kesatuannya. Tapi anehnya, sesudah itu Westerling malah berhasil mendirikan organisasi rahasia, mengumpulkan kekuatan, pendukung dan punya kekuatan senjata. Puncaknya di tahun 1950 malah melakukan kudeta terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat. Padahal sehebat-hebatnya Westerling, seberapa hebat sih kekuatan seorang tentara sewaan?

Aneh. Sudah jelas-jelas melakukan kejahatan perang, dipecat, tidak punya fungsi strategis apa-apa di kemiliteran tapi kok bisa lepas dari jerat hukum? Ditambah masih kurang ajar berani mengkudeta Soekarno pula. Padahal ketika itu banyak suara, baik dari pihak Indonesia maupun Belanda sendiri yang ingin Westerling diseret ke mahkamah militer.

Boro-boro diajukan ke pengadilan, tahu-tahu setelah pemecatannya, malah terdengar kabar Westerling berhasil mengumpulkan 500.000 pengikut dan mendirikan organisasi rahasia bernama “Ratu Adil Persatuan Indonesia” (RAPI), dilengkapi kesatuan bersenjata yang dinamakan “Angkatan Perang Ratu Adil” (APRA).

Dengan organisasinya itu, tahun 1950 Kapten “Turk” alias Westerling bekerja sama dengan Darul Islam Jawa Barat mengadakan kudeta yang dikenal dengan peristiwa “kudeta 23 Januari”. Di balik kudeta ini kemudian terungkap juga keterlibatan Sultan Hamid II, eks perwira KNIL (beristrikan wanita Belanda), putra sulung Sultan Pontianak. Motif kudeta di antaranya ingin mendirikan negara sempalan yang bernama Negara Pasundan. Pasukan Westerling menembaki setiap tentara TNI yang ditemui. Sebanyak 79 pasukan Siliwangi dan enam penduduk sipil gugur.

Tapi kudeta itu berhasil digagalkan pasukan TNI. Kegagalan kudeta itu antara lain karena diwarnai desersi anak buah Westerling sendiri. Pemerintah dan militer Belanda sendiri mengaku tidak pernah mendukung kudeta itu. Walaupun demikian, tak bisa disangkal adanya andil dari “oknum” Belanda - siapapun dan apapun namanya, terhadap suksesnya Westerling meloloskan diri ke Belanda.

Sejak peristiwa kudeta gagal itu, Westerling semakin menjadi buruan Indonesia. Namun berkat koneksinya dengan beberapa pejabat militer, akhirnya Westerling dengan menumpang pesawat Catalina berhasil lari ke Singapura. Di negara ini dia sempat ditahan oleh pasukan Inggris selama dua minggu. Namun selanjutnya “Kapten Turk” berhasil lari ke Belgia. Sesudah itu secara diam-diam masuk ke Belanda. Permintaan Indonesia untuk mengekstradisi Westerling tak pernah dikabulkan.

Pemerintah Indonesia tentu saja tahu bahwa tuntutan HAM tidak pernah mengenal batas kadaluarsa. Jika hingga kini tak pernah terdengar adanya tuntutan Indonesia terhadap Belanda terkait masalah ini, mungkinkah karena didasari pertimbangan politis tertentu?

Lolosnya Westerling dari jeratan hukum, menimbulkan pertanyaan yang beberapa lama tidak pernah terjawab. “Mengapa selama itu Westerling bisa lenggang kangkung di balik semua pelanggaran yang sudah dilakukannya? Adakah orang kuat di belakang Westerling? Adakah konspirasi di balik kudeta Westerling? Siapa orang kuat di balik kudeta Westerling? Dari mana Westerling bisa memperoleh senjata? Seberapa besar kekuatan tentara bayaran Westerling hingga bisa membentuk pasukan elit-nya sendiri untuk melakukan kudeta?”.

Latar belakang Westerling ternyata tidak sesederhana yang diduga. Westerling pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, pernah bekerja untuk dinas rahasia Belanda di London dan akhirnya benang merahnya.....tahun 1944 pernah bekerja sebagai pengawal pribadi Pangeran Bernhard.

Akhirnya teka-teki di balik kejanggalan semua ini terkuak, melalui penelusuran dan penelitian sejarawan Belanda bernama Harry Veenendaal dan wartawan Belanda, Jort Kelder.
Setelah mengadakan penelitian selama 8 tahun, keduanya berhasil mengumpulkan bukti dan dokumen tentang keterlibatan Pangeran Bernhard di balik kudeta Westerling. Rupanya suami Ratu Juliana itu ingin seperti Lord Mountbatten yang pernah menjadi raja di India. Jika kudeta Westerling itu berhasil, menurut bukti-bukti yang ada, disebutkan Pangeran Bernhard ingin menjadi raja di Indonesia. Apakah sang Pangeran ingin mempunyai fungsi penting lain daripada “cuma” sebagai suami ratu?

Temuan di atas berdasarkan kesaksian dari laporan Marsose dan buku harian sekretaris pribadi istana, Gerrie van Maasdijk. Sekretaris ini dulu dipecat setelah konfliknya dengan Pangeran Bernhard. Penemuan itu dirangkum dalam buku berjudul “ZKH”, Zijne Koninkelijke Hoogheid (Paduka Yang Mulia Pangeran). Menurut penyelidikan ternyata Westerling pernah mengadakan kontak rahasia dengan staf Pangeran Bernhard sehubungan dengan kudeta itu.

Penelusuran mengarah ke bukti-bukti adanya bantuan rahasia penyaluran senjata dari pihak Pangeran Bernhard terhadap pasukan Westerling. Bahkan ada temuan yang menunjukkan bahwa sang Pangeran sudah mengantisipasi jika kudeta itu berhasil. Yaitu permintaan bantuan kepada Jendral Douglas Mac Arthur sebagai panglima di pangkalan Pasifik untuk mengirim pasukannya, jika kudeta Westerling sukses dan menimbulkan perang saudara.

Kalau kita harus menentukan pemenang di antara Westerling, Soekarno, Pangeran Bernhard: siapakah setelah perang yang pantas disebut sebagai pemenang? Westerling yang walaupun disebut penjahat perang, tapi sampai mati tidak pernah diseret ke mahkamah militer? Presiden Soekarno yang gagal dikudeta Westerling (tapi berhasil dikudeta “geger 1965”)? Pangeran Bernhard yang terkesan “immun” karena posisinya sebagai suami sang Ratu?

Entahlah. Orang bilang, di dalam perang yang menang jadi abu, kalah jadi arang. Semua ketiga tokoh di atas sudah “Rest in Peace”. Bagi orang-orang di “alam RIP”, soal kalah dan menang tidak lagi penting. Toh kehidupan sudah memberi setiap orang jatah kemenangan dan kekalahannya masing-masing. Kemenangan bagi seseorang, mungkin disebut kekalahan di mata orang lain. Begitu juga sebaliknya.

Yang jelas, cerita sejarah perang mungkin saja bisa jadi cerita menarik. Tapi sayang sekali nyaris tak ada cerita tentang damai di dalamnya.
Share:

Postingan Populer KCPI

PROFIL KCPI

Bantu Perjuangan KCPI

Bantu Perjuangan KCPI
Klik Donasi

Entri yang Diunggulkan

KCPI Siap Menjadi Narasumber Wawasan Kebangsaan

KCPI siap memberi materi sebagai Nara sumber Bidang Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan berlatar belakang sejarah perjuangan bangsa kepada ...