Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sahabat Para pejuang Indonesia (Community of National Struggle History Activists and Friends of Indonesian Warriors)

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

Tampilkan postingan dengan label Tokoh & Pelaku Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh & Pelaku Sejarah. Tampilkan semua postingan

Kisah nyata : SAAT-SAAT TERAKHIR BUNG KARNO TERUSIR DARI ISTANA NEGARA.

"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1967)
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.
Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu".
Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno,
Bung Karno lalu melangkah ke arah ruang tamu Istana, disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan karena para ajudan bung karno sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.
Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.
"Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". tegas bung karno kepada ajudannya.
Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya".
Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..."
Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan.
Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara.
Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Maulwi Saelan ( pengawal terakhir bung karno ) dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan.
"Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak.
Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman.
Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi.
Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri gadis Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.
Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental.
Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno.
Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.
Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!...
Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri.
Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.
Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.
Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.
"Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachma lalu dengan menggenggam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto.
"Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso.
Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.
Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapikan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno.
Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar mardjono hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.
Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui diceritakan nekat membebaskan Bung Karno.
Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak.
Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!"
Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.
Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.
Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.
Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.
"Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" ujar istri bung hatta.
Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini".
Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.
Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan...
Share:

DETIK-DETIK KEMATIAN SOEKARNO


Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.

Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”
(Senyap)

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia koma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.

Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka.

Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Kini telah tiada lagi manusia yang bisa membuat dunia terdiam dengan perkataannya, tidak ada lagi singa yang sangat ganas. Betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami Soekarno. Terima kasih wahai Bung Karno karena telah membuat rakyat indonesia dapat terbebas dari penjajahan yang amat pedih. Jasamu tak akan pernah dilupakan. Dan terima kasih Allah karena engkau telah menciptakan manusia terhebat di negara kami. Selamat jalan wahai Singa Mimbar.
Share:

Jenderal Abdul Harris Nasution

Jenderal Abdul Harris Nasution
Jenderal Abdul Harris Nasution adalah tokoh penting di kalangan militer yang telah menghidangkan dukungan terkuat –suatu peran yang kerap dinilai secara dubious– yang pernah diterima Soekarno dari kalangan militer sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Ini terjadi saat Nasution mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi hubungan antara Jenderal Nasution dengan Soekarno terlebih dulu melalui suatu perjalanan panjang yang penuh lekuk-liku taktis. Dari lawan menjadi kawan, untuk akhirnya kembali menjadi lawan sejak tahun 1966, saat Nasution berperan besar membentangkan jalan ‘konstitusional’ bagi proses mengakhiri kekuasaan Soekarno dan pada waktu bersamaan menghamparkan karpet merah kekuasaan selama 32 tahun ke depan bagi Jenderal Soeharto. Jenderal Nasution adalah tokoh yang tercatat amat banyak ‘meminjam’ dan mengoptimalkan simbol maupun pemikiran Jenderal Soedirman, meskipun tak bisa dikatakan bahwa ia sepenuhnya memiliki sikap dan jalan pikiran yang sama dengan sang jenderal besar.

Surut tujuh tahun ke belakang dari 1959. Pada tahun 1952 semakin mencuat perbedaan pandangan antara tentara (terutama Angkatan Darat) yang dipimpin oleh KSAD Kolonel Abdul Harris Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang di satu pihak dengan Soekarno dan politisi sipil pada pihak yang lain. Tentara menganggap ada upaya-upaya politis dari pihak partai-partai untuk menguasai dan mengekang tentara serta menempatkan tentara sekedar sebagai alat (politik) sipil. Banyak politisi sipil yang kala itu tak henti-hentinya melontarkan kecaman ke tubuh Angkatan Perang, khususnya terhadap Angkatan Darat. Kecaman-kecaman itu dianggap tentara tak terlepas dari hasrat dan kepentingan para politisi sipil untuk mendominasi kekuasaan negara, padahal di mata para perwira militer itu, partai-partai dan politisi sipil tak cukup punya kontribusi berharga dalam perjuangan mati-hidup merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Tentara merasa punya peran dan posisi historis yang lebih kuat dalam perjuangan menuju dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu. Pada sisi yang lain, partai-partai yang ada kala itu relatif tidak punya pengalaman dan kesempatan selama penjajahan Belanda untuk memperoleh kematangan melalui sejarah perjuangan dan proses konsolidasi yang cukup. Kemudian, pada masa kemerdekaan partai-partai tak pernah membuktikan kemampuannya untuk memerintah sendiri. Bahkan, dengan berkoalisi sekalipun tak pernah ada partai-partai yang pernah membuktikan diri berhasil memerintah secara langgeng. Proses perpecahan terus menerus melanda internal partai yang ada. Partai Sosialis pecah menjadi PKI dan PSI. Partai Masjumi lama juga sempat mengalami keretakan, antara lain dengan pemisahan diri NU. Hal yang sama dengan PNI, yang secara berkala dirundung perselisihan intenal. Koalisi PSI-Masjumi-PNI yang selama waktu yang cukup lama mampu memberikan kepemimpinan politik yang relatif stabil, pada suatu ketika akhirnya pecah juga, diantaranya karena adanya perbedaan persepsi mengenai dasar-dasar negara. Bahkan dwitunggal Soekarno-Hatta yang menjadi salah satu harapan utama kepemimpinan politik dan negara kemudian juga retak –sebelum pada akhirnya bubar– dan mulai juga menjalar ke dalam tubuh Angkatan Perang. Suatu situasi yang banyak dimanfaatkan PKI sebagai benefit politik. Harus diakui PKI berhasil menjadi satu diantara sedikit partai yang berhasil mengkonsolidasi organisasinya dengan baik dan mempunyai strategi jangka panjang yang jelas karena terencana baik.

Namun pada sisi lain, dalam realitas objektif kala itu memang Angkatan Perang sejak beberapa lama juga sedang dirundung berbagai masalah internal, termasuk penataan ulang tubuh militer, tak terkecuali masalah penempatan eks KNIL (Koninklijk Nederland-Indisch Leger) sesuai perjanjian Konperensi Meja Bundar (KMB). Bahkan internal AD, sejumlah perwira –Kolonel Bambang Supeno dan kawan-kawan– pernah mengecam sejumlah kebijakan KSAD Kolonel Nasution. Mereka meminta Presiden Soekarno mengganti KSAD Kolonel Nasution dan bersamaan dengan itu, 13 Juli, menyurati KSAP dan Parlemen, menyampaikan ketidakpuasan mereka. Permasalahan Angkatan Perang itu menjadi bahan pembahasan di parlemen, dan parlemen melalui suatu proses perdebatan panjang menerima salah satu mosi (Manai Sophian dan kawan-kawan) di antara beberapa mosi, mengenai Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan, dan mengajukan usulan penyelesaian kepada pemerintah.

Tentara menganggap parlemen terlalu jauh mencampuri masalah internal militer dan memperkuat dugaan mereka tentang konspirasi untuk memojokkan dan menjadikan militer sekedar alat sipil. Militer mengungkit betapa tidak relevannya parlemen mencampuri masalah internal Angkatan Perang, apalagi menurut mereka dalam parlemen itu tercampur baur unsur-unsur yang tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan dan sebagian lagi merupakan perpanjangan dari mereka yang dianggap federalis yang memecah negara kesatuan Republik Indonesia.

Para pimpinan militer sampai pada kesimpulan bahwa harus ada sesuatu yang dilakukan untuk menghentikan manuver para politisi sipil tersebut –yang miskin konsep namun banyak kemauan. Militer menghendaki pembubaran parlemen. Ini suatu sikap politik. Dengan menampilkan sikap politik seperti ini, dan bergerak untuk memperjuangkannya, tentara telah memasuki wilayah pergulatan politik dan kekuasaan. Kelak dengan keterlibatan dalam politik seperti itu, yang senantiasa dianggap sebagai hak sejarah terkait dengan riwayat perjuangan dan kelahiran Angkatan Bersenjata dari rakyat pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, tentara pada akhirnya semakin nyata mewujud sebagai ‘politician in uniform’. Dalam dimensi militer, 17 Oktober 1952 pasukan-pasukan tentara mengepung Istana Merdeka dan mengarahkan moncong meriam ke istana. Tentara sekaligus juga tampil dengan dimensi politik tatkala menggerakkan kelompok-kelompok dalam masyarakat melakukan demonstrasi menuntut pembubaran parlemen.

KSAP TB Simatupang bersama pimpinan-pimpinan AD menemui Soekarno di istana dan mengajukan permintaan agar Soekarno membubarkan parlemen. Soekarno menolak. Kendati moncong meriam sudah diarahkan ke istana, para pimpinan militer ini tampaknya ragu untuk menekan Soekarno lebih keras –padahal Soekarno sendiri kala itu sudah pula hampir tiba pada batas penghabisan keberaniannya. Namun menurut Simatupang, waktu itu para pimpinan militer dihadapkan pada dua alternatif, atau menerobos terus dan mengambil alih pimpinan negara seperti yang dituduhkan para politisi sipil pada waktu itu, atau menahan diri dan memilih untuk menaruh harapan pada suatu pemilihan umum yang akan melahirkan suatu stabilitas yang kokoh-kuat dasarnya.

Para pemimpin militer memilih jalan terakhir tersebut. Mereka mundur, tapi sadar atau tidak, sekaligus mencipta satu titik balik. Sejumlah perwira militer di beberapa daerah melakukan pengambilalihan komando teritorium dari tangan panglima-panglima yang pada Peristiwa 17 Oktober 1952 mendukung pernyataan Pimpinan Angkatan Perang dan Angkatan Darat. Setelah peristiwa tanggal 17, selama berhari-hari Kolonel Nasution diperiksa Kejaksaan Agung. Dengan terjadinya pergolakan di beberapa teritorium, KSAD Kolonel AH Nasution menyatakan diri bertanggungjawab sepenuhnya dan mengajukan pengunduran diri. Dengan serta merta Presiden Soekarno menerima pengunduran diri tersebut. Nasution meletakkan jabatan sebagai KSAD, dan berada di luar kepemimpinan Angkatan Darat selama beberapa tahun.

Dalam masa ‘istirahat’ tanpa jabatan militer –bahkan juga di posisi di luar itu, karena tempatnya di lembaga non militer tidak dijalaninya– yang berlangsung kurang lebih 4 tahun itu, Abdul Haris Nasution menggunakan waktunya untuk menyusun banyak tulisan dan konsep, meskipun belum sempurna benar, mengenai peranan militer sebagai kekuatan pertahanan maupun sebagai kekuatan sosial politik. Kelak pemikiran-pemikiran yang dituangkan Abdul Harris Nasution dalam kumpulan tulisan itu menjadi cikal bakal dan landasan bagi konsep Dwifungsi ABRI yang dilaksanakan secara konkret. Bersamaan dengan tersisihnya Nasution itu, KSAP Tahi Bonar Simatupang juga mengundurkan diri, dan itulah pula sebenarnya akhir dari karir militernya, meskipun secara formal baru pada tahun 1959 ia meninggalkan dinas aktif militernya. Sebagai KSAD baru diangkat Kolonel Bambang Sugeng. Tak ada pengganti untuk Simatupang, karena jabatan KSAP untuk selanjutnya ditiadakan. Tapi Simatupang –bersama dengan konsep dan buah pikiran Nasution– melalui penyampaian uraian dan tulisan-tulisannya ikut mewariskan pemikiran yang memberi ilham bagi konsep Dwifungsi ABRI dikemudian hari.

DALAM uraian TB Simatupang –saat memberi ceramah di depan Group Diskusi UI, Agustus 1973– disampaikan bahwa kedudukan Angkatan Perang yang agak berdiri sendiri sebetulnya telah merupakan kenyataan sebelum Republik Indonesia ada. Unsur-unsur yang kemudian menjadi pendiri dan pimpinan Angkatan Perang adalah orang-orang yang mengambil peran mendorong agar kemerdekaan segera diproklamasikan. Menurutnya, setelah Angkatan Perang dibentuk secara resmi, selama tahun-tahun perjuangan eksistensi dan pengembangan dirinya, Angkatan Perang itu tidak pernah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah. “Angkatan Perang tidak menganggap dirinya pertama-tama sebagai alat teknis di tangan Pemerintah, melainkan sebagai pendukung dan pembela kemerdekaan dan dasar-dasar negara”. Sejarah juga memang mencatat fakta bahwa ketika Presiden Soekarno dan sejumlah anggota kabinet dan pemimpin pemerintahan yang lain ditawan Belanda setelah serangan militer bulan Desember 1948, secara de facto Angkatan Perang mengambil peran meneruskan perjuangan melalui perang gerilya melawan tentara Belanda seraya mengambil fungsi-fungsi sebagai pimpinan aparat pemerintahan hingga tingkat desa dalam rangka menjaga kedaulatan negara dan eksistensi teritorial pemerintahan negara.

Pergolakan internal AD pasca Peristiwa 17 Oktober 1952 ternyata tak selesai begitu saja. Dalam masa kepemimpinan Kolonel Bambang Soegeng, gejolak perpecahan internal terus berlangsung hingga bulan pertama, bahkan sebenarnya sampai pertengahan tahun 1955. Para perwira militer ini mengadakan Rapat Collegiaal (Raco) pada 21 hingga 25 Februari di Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan ‘Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia’. 29 perwira senior dan berpengaruh dalam Angkatan Darat ikut menandatangani piagam tersebut. Dengan piagam tersebut, secara internal dianggap pertentangan di tubuh Angkatan Darat berkaitan dengan Peristiwa 17 Oktober 1952 telah selesai. Namun perbedaan pendapat antara para perwira itu dengan pemerintah tidak serta merta ikut berakhir, sehingga tak tercapai kesepakatan tentang penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952. Merasa terjepit, KSAD Jenderal Mayor Bambang Soegeng memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan Angkatan Darat kepada Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Kolonel bermarga Lubis ini masih terbilang sepupu Kolonel Nasution, namun kerapkali bersilang jalan dalam beberapa peristiwa karena berbeda pendapat dan sikap.

Pemerintah mengisi kekosongan jabatan KSAD itu dengan mengangkat Kolonel Bambang Utojo pada 27 Juni 1955, yang tadinya adalah Panglima Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya. Namun ketika Kolonel Bambang Utojo dilantik oleh Presiden Soekarno, tak seorangpun perwira teras dan pimpinan Angkatan Darat yang hadir, mengikuti apa yang diinstruksikan Wakil KSAD Zulkifli Lubis, untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka –yang tadinya tidak digubris oleh pemerintah. Zulkifli Lubis sekaligus menolak melakukan serah terima jabatan KSAD dengan Bambang Utojo yang telah berpangkat Jenderal Mayor. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juni, yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan sipil Kabinet Ali-Wongso. Kabinet yang dipimpin oleh Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai Perdana Menteri dan Mr Wongsonegoro dari PIR (Persatuan Indonesia Raya) sebagai wakilnya, kala itu belum genap berusia dua tahun sejak dibentuk 1 Agustus 1953. Ali baru saja menjadi penyelenggara Konperensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April yang dianggap suatu keberhasilan internasional.

Masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat ini akhirnya diselesaikan oleh kabinet baru –koalisi Masjumi dengan beberapa partai, dengan PNI sebagai partai oposisi– yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap yang dilantik 12 Agustus 1955, hanya 38 hari sebelum Pemilihan Umum 1955 untuk DPR. Pada penyelesaian akhir, berdasarkan musyawarah para perwira senior dan pimpinan Angkatan Darat, diajukan enam calon KSAD, salah satunya adalah Kolonel Abdul Harris Nasution. Kabinet memilih Nasution. Soekarno ‘terpaksa’ mengangkat kembali Nasution sebagai KSAD dan melantiknya 7 Nopember 1955 dengan kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Jenderal Mayor. Pelantikan Nasution dengan demikian berlangsung di antara dua hari pemungutan suara dalam Pemilihan Umum 1955 –yakni pemilihan 272 anggota DPR 29 September dan pemilihan 542 anggota Konstituante 15 Desember 1955. Anggota-anggota angkatan bersenjata turut serta dan memiliki hak suara dalam pemilihan umum yang diikuti puluhan partai berskala nasional maupun berskala lokal itu. Militer tidak ikut untuk dipilih, namun ada Partai IPKI yang dibentuk Nasution dan kawan-kawan yang dianggap membawakan aspirasi militer. IPKI dan kelompok sefraksinya di DPR hanya memperoleh 11 kursi (untuk IPKI sendiri hanya 4 kursi), suatu posisi yang secara kuantitatif amat minor. Sementara Fraksi Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia berada di DPR dengan 2 kursi perwakilan.

Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta. Pemilihan Umum 1955 di satu pihak memang menjadi contoh keberhasilan demokrasi, karena dilangsungkan dalam suasana bebas. Namun jumlah peserta pemilihan umum yang terlalu banyak, agaknya bagaimanapun pada sisi lain menjadi satu masalah tersendiri. Tapi bagaimanapun itu berkaitan pula dengan tingkat kematangan dan kesiapan rakyat dari suatu negara yang baru merdeka 8 tahun namun penuh pergolakan. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi.

Meneruskan pola jatuh bangun kabinet, sesudah pemilihan umum kebiasaan jatuh bangun juga berlanjut. Tetapi sebagai proses politik, semua itu selalu ada penjelasannya, dalam satu rangkaian pola sebab dan akibat, yang akarnya ada dalam budaya bangsa. Pemilihan Umum 1955, tidak menghasilkan –dan memang takkan mungkin dalam satu pola ideologis di negara yang plural seperti Indonesia– partai pemenang yang mayoritas yang dapat memerintah sendirian dalam suatu stabilitas politik. Kendati misalnya dikatakan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam, mencapai 90 persen, nyatanya partai-partai Islam secara bersama-sama bahkan tak mencapai separuh dari perolehan suara. Menempatkan Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi keluhuran Islam. Selain itu, pada pihak lain sebagian dari rakyat Indonesia yang resmi memeluk agama Islam, sesuai penelitian Clifford Geertz, sesungguhnya adalah kaum abangan. Pembagian masyarakat di pulau Jawa atas kaum santri di satu pihak dan kaum abangan di pihak lain yang dilontarkan Clifford Geertz ini paling banyak dirujuk dalam berbagai uraian sosiologis hingga kini. Penelitian Geertz itu sendiri dilakukan di Pulau Jawa, tetapi dianggap berlaku untuk Indonesia.

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia juga punya kenyataan dan catatan tersendiri, tentang keanekaragaman persepsi, penafsiran dan realitas dalam masyarakat yang berhubungan erat dengan kultur Hindu dan kultur animistis yang telah berakar berabad-abad lamanya, sebelum Wali Songo menyebarluaskan Islam di Indonesia. Masjumi sebagai partai modern berbasis Islam hanya memperoleh 60 kursi DPR dari 272 kursi yang ada. NU memperoleh 47 kursi, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) memperoleh 8 kursi dan Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia) 4 kursi. Bersama Masjumi jumlahnya hanyalah 119 yang tidak mencapai separuh dari 272. Sementara itu, harus pula dicatat fakta tentang rivalitas berkepanjangan yang terjadi antara Masjumi dan NU dengan suatu latar belakang historis dan perbedaan persepsi secara kualitatif di awal kelahiran mereka, termasuk dalam menyikapi masalah kekuasaan. Dan karena itulah para politisi Islam ini tak pernah padu dalam sepakterjang mereka sebagai satu kekuatan politik. Itulah pula sebabnya sebagian dari politisi Islam ini dalam menjalani political game, dalam perseteruannya dengan kekuatan politik lainnya kerapkali menggunakan faktor emosional yang terkait dengan agama sebagai senjata politik, tatkala kehabisan argumentasi rasional.
Share:

Brigjen Hasan Basry

Brigjen Hasan Basry (lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 17 Juni 1923 meninggal di Jakarta, 15 Juli 1984 pada umur 61 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ia dimakamkan di Simpang Tiga, Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 110/TK/2001 tanggal 3 November 2001.

Biografi

Hasan Basry menyelesaikan pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS) yang setingkat sekolah dasar, kemudian ia mengikuti pendidikan berbasis Islam, mula-mula di Tsanawiyah al-Wathaniah di Kandangan, kemudian di Kweekschool Islam Pondok Modern di Ponorogo, Jawa Timur.

Setelah prolamasi kemerdekaan, Hasan Basry aktif dalam organisasi pemuda Kalimantan yang berpusat di Surabaya. Dari sini ia mengawali kariernya sebagai pejuang. Pada bulan Oktober 1945, ia berangkat ke Banjarmasin untuk mempersiapkan basis bagi kedatangan ekspedisi militer dari Jawa untuk memperkuat perjuangan menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan. Ia membina hubungan dengan berbagai pergerakan perjuangan, diantaranya Lasykar Syaifullah. Akan tetapi, kegiatannya diketahui Belanda. Pada pertengahan tahun 1946, Belanda menangkapi tokoh-tokoh Lasykar Syaifullah. Hasan Basry berhasil meloloskan diri. Ia kemudian membentuk wadah perjuangan baru, Benteng Indonesia.

Bulan November 1946, Komandan Divisi IV ALRI di Jawa menugasi Hasan Basry untuk membentuk Batalyon ALRI di Kalimantan Selatan. Tugas itu dilaksanakan dengan cara melebur Benteng Indonesia menjadi menjadi Batalyon ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Ia menempatkan markasnya di Kandangan.. Selanjutnya ia berusaha menggabungkan semua kekuatan bersenjata di Kalimantan Selatan ke dalam kesatuan yang baru terbentuk itu.

Perkembangan politik di tingkat pemerintah pusat di Jawa menyebabkan posisi Hasan Basry dan pasukannya menjadi sulit. Sesuai dengan Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947), Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura dan Sumatera. Berarti Kalimantan merupakan wilayah yang ada di bawah kekuasaan Belanda. Akan tetapi, Hasan Basry tidak terpengaruh oleh perjanjian tersebut. Ia dan pasukannya tetap melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Sikap yang sama diperlihatkan pula terhadap Perjanjian Renville (17 Januari 1948). Ia menolak untuk memindahkan pasukannya ke daerah yang masih dikuasai RI, yakni ke Jawa.

Kemudian semua kesatuan Angkatan Darat di Kalimantan digabungkan ke dalam Tentara dan Teritorium VI/Tanjungpura yang kemudian menjadi Kodam VI/Tanjungpura. Letnan Kolonel Hasan Basry ditetapkan sebagai Komandan Sub Teritorium III Kalimantan Selatan.
Share:

Haji Agus Salim - pejuang kemerdekaan Indonesia

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.

Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.

Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.

Karya tulis
  • Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
  • Dari Hal Ilmu Quran
  • Muhammad voor en na de Hijrah
  • Gods Laatste Boodschap
  • Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi koleganya, Oktober 1954)
Karya terjemahan
  • Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya Shakespeare)
  • Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard Kipling)
  • Sejarah Dunia (karya E. Molt)
Karier politik

Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.

Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
  • anggota Volksraad (1921-1924)
  • anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
  • Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
  • pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.

Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.
Share:

Sang letnan itu kini mengemis (1)


SENIN 28 Juli 2008, Simpang Potong, Kota Padang. Sebentuk tubuh tua ringkih, tampak terduduk lesuh. Tanpa alas di atas trotoar berwarna coklat. Tubuhnya hanya terbungkus kemeja buram. Kepalanya, juga tertutup kopiah hitam yang tampak sudah digerogoti usia. Kopiah itu, seolah setia menutupi rambutnya yang memutih.

Lelaki tua itu bernama Anwar berumur 94. Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Anwar. Wajahnya keriput, dipenuhi bulu-bulu kasar berwarna abu-abu. Dengan gigi yang hanya tinggal dua, mulut Pak tua tampak komat-kamit, menyeringai. Sesekali, tangannya menengadah, pada setiap manusia yang berlalu. Berharap belas kasihan dan secarik uang untuk pengisi perutnya yang mulai minta diisi. Namun semua tampak acuh. Anwar tak putus asa, tangannya semakin dijulurkan.

Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang di rumah warga Koto Baru, orang yang berbaik hati menampung tubuh ringkihnya. Hidup sendirian di hari tua ternyata membuat Anwar harus mengalah pada kerasnya dunia. 10 tahun sudah Anwar jadi pengemis. Hanya menengadahkan tangannya, itulah cara Anwar bertahan hidup. Maklum, usia yang hampir satu abad tak ada yang bisa dikerjakannya. Tulangnya rapuh.

Jangan tanyakan keluarga pada Anwar, sebab, itu hanya akan membuatnya menangis. “Saya tak punya keluarga. Istri saya sudah meninggal tahun 1960. Bersama bayi yang dikandungnya. Mati karena kurangnya gizi,” terang Anwar. Air mata bening menjalar di pipi keriputnya.

Tak seperti pengemis lainnya, yang kebanyakan terbelakang dan tak pernah mengenyam pendidikan. Anwar lain. Tiga bahasa asing, Bahasa Jepang, Ingris dan Belanda dikuasainya. Bahkan waktu berdialog dengan POSMETRO sesekali lontaran ucapan berbahasa Belanda pun diucapkannya. Anwar fasih, lidah tuanya seakan sudah biasa melafazkan ucapan bahasa asing tersebut.

Semakin penasaran dengan “Pak Tua Simpang Potong” itu, Penulis pun mulai menjejeri langkah Anwar. Mencoba mengorek lebih dalam tentang dirinya. Siapa gerangan Anwar, sudah rapuh tapi kuasai tiga bahasa? Ada sesuatu cerita tersembunyi dari lembar hidup Pak tua dan itu membuat hasrat penasaran penulis kambuh!. Dua hari menyatroni Anwar di simpang Potong, akhirnya Penulis tahu kalau Anwar bukan pengemis sembarangan. Catatan sejarah terpampang dari celoteh Pak Tua itu.

Memang sekarang Anwar hanyalah pengemis tua yang menyedihkan. Hidupnya tak tentu arah. Tapi, jika merunut sejarah “tempoe doeloe” Anwar adalah pemuda gagah yang ikut mengokang senjata melawan para penjajah. Pangkat yang disandang Anwarpun tak main-main, Letnan Satu, Komandan Kompi 3 Sumatra Bagian Selatan. Itulah daerah Anwar waktu menjabat sebagai serdadu bangsa untuk mengusir penjajah. Bukankah luar biasa “si Anwar Muda”?.

“Saya bekas tentara Sumatra Selatan. Di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan saya menjadi komandan Kompi 3 untuk berpetualang, melintasi medan demi menyerang Belanda. Tak terkira berbagai kisah pilu yang saya alami saat perang bergejolak. Tapi, untuk bangsa itu semua belum apa-apa. Hanya satu hal yang membuat kami bangga waktu pulang dari medan perang. Bangga jika membawa topi serdadu Belanda, itu jadi kebanggaan tersendiri dan membuat kita merasa terhormat,”ulas Anwar menatap kosong.

Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa. “Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang Presiden). Waktu itu hari masih pagi. Bangsa kita baru saja membuat perjanjian dengan Belanda (Perjanjian Linggar Jati). Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke Posko,” terang Anwar.

Bukan sekali Anwar kena tembak, bahkan, pengap dan lembabnya dinding jeruji besi pun telah dua kali Anwar rasai. “Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu (tahun 1946) sedang bergejolak. Tapi sial, melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih terbalut secarik kain yang menutupi lubang timah panas. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.

Di Panjang Panjang, Anwar diperlakukan tak senonoh oleh tentara Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai minum air kencing “sang meneer” pun hampir tiap hari menyinggahi kerongkongan Anwar. Namun Sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tetap tegak, walau kucuran darah dari pelipisnya tak pernah berhenti.

“Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan di ikat kawat berduri, kaki di ikat dengan rantai yang diberi golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang di campur kencing,”celoteh Anwar.

Soal Nasiolisme, Anwar bak “Si Naga Bonar” walau tua tapi kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya belanda, apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya sekedar kedudukan dan jabatan semata?. Saya jawab aja apa adanya, “Aku berjuang untuk Negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati di sini. Aku bangga, karena itu demi negara,”ulas Anwar mengingat kembali peristiwa hidup yang masih segar dalam ingatannya.

Kemerdekaanpun sepenuhnya diraih Indonesia. Namun tak begitu bagi Anwar, tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seorang Anwar seakan dilupakan. Anwar hilang di tengah gegap gempita eforia kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemispun jadi pilihan terakhirnya.

Tak ada tanda jasa, tak ada lencana penghormatan yang diterima Anwar dari Pemerintah. Bahkan gelar pahlawan veteranpun tak singgah pada Anwar. “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, angkatan saya yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang dan menjalani masa tuanya dengan glamauran harta. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua, tapi untuk kemerdekaan bangsa. Biarlah orang memandang saya hina. Asal saya bisa tenang. Biarlah hanya makan sehari yang penting bangsa ini merdeka,”jawab Anwar tegar, segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL-Mubarah, Sawahan.
Hari ini , Jumat (1/8) Penulis kembali berniat menemui Anwar. Namun, “Sang Letnan” menghilang dari Simpang Kandang. Dua onggok batu yang biasanya jadi sandaran Anwar kehilangan tuannya. Anwar raib. Padahal hari masih pagi, jarum jam baru berada di angka sembilan. Kemana Anwar?.

Kecewa dengan hilangnya Anwar, penulis mencoba menelusuri RTH (Ruang Terbuka Hijau) Imam Bonjol. Tempat biasanya Anwar tidur ketika penat datang mendera tubuh rentanya. Benar juga, tubuh renta Anwar tergolek diantara rumpun hijau Imam Bonjol. Namun ada yang lain dari penampilan Anwar hari ini. Bajunya tak hanya buram seperti kemarin, tapi lebih parah, kemeja biru yang dipakainya sudah tak berbuah. Mempertontonkan tulang-tulangnya yang kelihatan menonjol dibalut kulit keriput. Perutnya kempis. Sandalnyapun berlainan warna, hijau dan biru berbalut seutas tali plastik warna putih.

Mencoba mendekat, ternyata Anwar tertidur. Dadanya terlihat turun naik beraturan, membusung. Tulang dadanya semakin menonjol. Perlahan mata Anwar terbuka. Sesaat pandangannya kosong. “Tadi Saya pingsan nak, perut lapar. Padahal saya belum dapat apa-apa. Saya tak kuat berdiri. Untunglah ada seorang tukang becak yang kasihan pada saya. Membelikan saya sebungkus nasi telur. Tapi badan ini masih lemas,”erang Anwar lesuh.

Seperti sebelumnya, Walaupun tubuh rentanya masih lemah, Anwar tetap bercerita panjang lebar tentang kerasnya hidup yang dilewatinya selama 10 tahun hidup dijalanan. “Saya hanya kuat berdiri di simpang ini sampai pukul 11 siang. Tubuh ini sudah terlalu tua untuk lama-lama berdiri. Matahari terlalu garang. Berlainan benar waktu muda dulu, beratnya medan tempur selalu bisa saya taklukkan. Ah, sampai kapan tubuh ini bisa bertahan menunggu kepingan logam. Saya tak tahu,”Anwar menerawang.

Perlahan, rentetan-rentetan kehidupan Anwar mulai terkuak. Celoteh panjang Anwar menguak tabir tersebut. Rupanya, Anwar juga pernah menjadi awak kapal barang berbendera Jerman. Lulus di Sekolah Sembilan (Belakang Tangsi) tahun 1930. Anwar mulai berpetualang. Dari tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang dilihat Pak Tua.

“Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas Kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa ini untuk ikut berjuang,”terang Anwar.

Anwar berpetualang, menyelusuri setiap pelosok Tanah Indonesia untuk berjuang mengusir Sang Meneer dari Indonesia. Awalnya hanya bermodalkan bambu runcing. Anwar akhirnya mendapatkan senjata rampasan dari tentara Belanda. Senjata ditangan, Anwar muda mulai merengsek. Memuntahkan pelurunya di barisan terdepan pejuang Indonesia.

“Pada awalnya tak ada senjata. Kami hanya bermodalkan bambu. Namun, dari tangan belanda yang berhasil kami bunuh, kami nisa memperoleh senjata. Dengan itulah kami menyerbu musuh. Mengambil topinya sebagai “cinderamata” dari medan tempur,”lanjut Anwar.

Hingga Akhirnya Indonesia merdeka. Belanda pergi dari tanah Bangsa. Tentu, kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan pahlawan kita. Termasuk Si Anwar yang berjuang di dua episode perang tersebut. Anwar bertarung dengan gagah. Namun apa yang didapatkan sang Letnan?. Hingga detik ini Anwar masih berstatus pahlawan bangsa yang terabaikan. Pahlawan yang menyongsong hari tuanya dengan melakoni profesi sebagai pengemis. Indonesia merdeka, namun Anwar masih tetap “terjajah oleh hidup”!!.

Memang, dulu Anwar pernah diberi secarik kertas bertuliskan penganugrahan sebagai pejuang oleh Pemerintah. Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat wasiat” itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai Veteran.

“Memang dulu saya diberi surat oleh Pemerintah. Kalau tak salahnya surat Bintang Grelya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tpi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah. Hidup seperti roda nak. Kadang di bawah. Sekali lagi, saya berjuang untuk Indonesia. Melihat Merah Putih berkibar tanpa gangguan itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Tak ada yang membuat saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia,”celoteh Anwar.

Letnan Kolonel Anwar, pahlawan bangsa kini tak ubah hanyalah tubuh tua dekil, tak ada yang peduli. Anwar semakin pupus di tengah sibuknya Kota Bengkuang. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya” kata Bung Karno. Namun itu hanyalah barisan kata, bukan kenyataan. Tak percaya? tanyakan itu semua pada Anwar. Pahlawan kita yang hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk bertahan hidup.Memang Anwar tak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah kita tega melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus terlunta. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak adalah hasil dari muntahan peluru Pahlawan mengusir penjajah. Namun kenapa kita menutup mata untuk itu. Apakah rasa penghormatan kepada para Pahlawan sudah pudar dihantam terjangan zaman. Sekali lagi, jangan lupakan Anwar yang telah gigih perjuangkan bangsa. Pemerintah? mungkin lupa juga akan nasib Sang Kapten.

Share:

Pahlawan Nasional dari Papua J.A Dimara


Pemerintah menetapkan dua tokoh sebagai pahlawan nasional. Dua tokoh yang ditetapkan yakni DR Johannes Leimena dari Maluku dan Johannes Abraham (JA) Dimara dari Papua. 

Siapakah Dimara? Rupanya banyak yang tidak tahu. Pahlawan nasional Johane Abraham Dimara lahir di desa Korem Biak Utara pada tanggal 16 April 1916. Dia adalah putra dari Kepala Kampung Wiliam Dimara. Ketika mulai beranjak besar (13 tahun), ketika masih disekolah desa, dirinya diangkat anak oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi dan dibawa kekota Ambon.

Anak Biak yang tumbuh cepat dengan postur atletis ini mulai masuk agama Kristen dan diberi nama Johanes Abraham. Nama kecilnya Arabel berganti Anis (dari Johanes) Papua (berasal dari Irian). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Dimara pada tahun 1930. Selanjutnya masuk sekolah pertanian dan selesai tahun 1935.

Sesuai dengan pendidikannya pada sekolah Injil yang dilakukannya setelah tahun 1935 (saat itu usianya mendekati 20 tahun), dirinya kemudian menjadi tokoh dalam profesi nya lebih lanjut yaitu guru agama Kristen. Dia menjadi guru penginjil di kecamatan Leksula, Maluku Tengah . Tepatnya di pulau Buru. Ketika zaman Jepang tiba, Dimara masuk menjadi anggota Heiho. Ketika Indonesia merdeka, Dimara bekerja dipelabuhan Namlea Ambon. Pada suatu hari ditahun 1946, masuk kapal Sindoro berbendera Merah Putih.

Sebenarnya ini adalah kapal yang membawa sejumlah Anggota ALRI asal suku Maluku dari Tegal. Maksudnya melakukan penyusupan di Ambon untuk memberitakan peristiwa Proklamasi dan tentu saja berjuang. Komandan pasukan ini adalah Kapten Ibrahim Saleh dan jurumudi Yos Sudarso (kemudian jadi Laksamana dan gugur di laut Aru). Dimara sebagai anggota polisi, ditugaskan untuk meneliti kapal RI ini. Maka terjadi pembicaraan diatas kapal, khususnya dengan Yos Sudarso. Pihak RI minta bantuan agar kapal bias mendarat penuh. Merasa insting nasionalismenya bangkit, Dimara bersedia membantu. Tapi menganjurkan agar kapal didaratkan di Tanjung Nametek sekitar satu kilometer dari namlea. Selanjutnya Dimara membantu perjuangan RI. Sempat ditangkap dan dipenjara bersama para pejuang Indonesia lainnya.

Tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan, bergabung dengan Batalyon Patimura APRIS dan ikut dalam penumpasan RMS. Pada suatu hari dalam kunjungan ke Makasar (sekitar tahun 1950-an), Presiden Soekarno menengok pasien di Rumah sakit Stella maris. Ketika itu Dimara sedang dirawat di Rumah sakit Stella Maris itu. Itulah pertama kali Dimara bertemu Presiden RI. Tidak terasa waktu berjalan cepat dan tahun 60-an RI berjuang untuk mengembalikan Pulau Irian bagian barat kedalam pangkuan Ibu Pertiwi.

Dimara adalah salah seorang pejuang yang ikut dalam pembebasan Irian Barat. Dirinya adalah anggota OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat). Sungguh jasanya tidak kecil karena dalam operasi di Kaimana, dia sempat ditangkap dan terluka. Dimara adalah saksi hidup perjuangan RI didaerah timur dan pangkatnya Mayor TNI menjelang pensiun. Pada tahun 2000 dirinya ditemui Wapres Megawati dirumah kontrakan sederhanaya didaerah Slipi. Meskipun pernah menjadi anggota DPA, Dimara orang sederhana yang mencintai Tanah Air Indonesia dan Bendera Merah Putih. Pada tanggal 20 Oktober 2000, Johanes Dimara tutup usia.

Share:

Kisah Herlina, Srikandi Pejuang Trikora Menolak Nama Papua


Tidak banyak jejak arsip srikandi pejuang perempuan yang ikut dalam perjuangan secara fisik pasca kemerdekaan. Salah satu srikandi pejuang perempuan pasca kemerdekaan adalah Herlina yang terlibat dalam operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) dalam Komando Mandala yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto. Trikora dicetuskan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di alun-alun utara kota Yogyakarta yang isinya :
  1. Gagalkan berdirinya negara Boneka Papua bentukan Belanda
  2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Jaya tanah air Indonesia
  3. Bersiap melaksanakan mobilisasi umum
Trikora muncul karena adanya kekecewaan dari pihak indonesia yang selalu gagal dalam upaya diplomasi melalui beberapa perundingan dengan Belanda untuk mengembalikan Irian barat yang secara sepihak yang diklaim oleh Belanda.

Surat Keputusan Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, (Sumber: Herlina Pending Emas)

Ketika pada tahun 1961 Presiden Soekarno mengobarkan semangat Trikora, Herlina pada waktu itu berada di Maluku sebagai pendiri Mingguan Karya yang berkantor di Ternate inipun jiwanya merasa terpanggil dan mendaftar sebagai salah seorang sukarelawati. Di wilayah Kodam XIV Pattimura namanya sudah tak asing lagi, karena ia kerap menulis di mingguan tersebut.

Melalui Kodam Pattimurasebagai bagian dari Komando Mandala dan operasi Trikora Herlina diterjunkan bersama 20 orang sukarelawan untuk melakukan infiltrasi dan operasi gerilya di rimba belantara Irian Barat.

Akhirnya setelah operasi-operasi infiltrasi mulai mengepung beberapa kota penting di Irian Barat, termasuk dengan aksi penerjunan Herlina di belantara Irian, sadarlah Belanda dan sekutu-sekutunya, bahwa Indonesia tidak main-main untuk merebut kembali Irian Barat. Atas desakan Amerika Serikat, Belanda bersedia menyerahkan irian Barat kepada Indonesia melalui Persetujuan New York / New York Agreement. Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi provinsi ke 26. Nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya ( sekarang Papua ).

Herlina atau Herlina Kasim merupakan srikandi pejuang sukarelawati Trikora dan mendapat julukan “Pending Emas”. Julukan pending emas ini tidak lain karena Herlina mendapat penghargaan Pending Emas sebesar ½ kilogram (500 gram) pada tanggal 19 Februari 1963 yang didasarkan oleh Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertingi Angkatan Perang Republik Indonesia/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 10/PLM.BS- Tahun 1963. Penghargaan yang cukup menarik ini diberikan kepada Herlina karena keberaniandan kegigihan sebagai perempuan sukarelawati pertama yang berani terjun di belantara Irian Barat semasa Operasi Trikora.

Pengalaman itulah yang membuat namanya terukir sebagai salah seorang tokoh dalam sejarah operasi lintas udara di tanah air. Keberaniannya yang luar biasa tidak lepas dari kesukaannya berpetualang. Setelah menamatkan SMA, antara tahun 1959-1961 ia berkeliling Indonesia, hingga ke daerah Maluku.

Saat itu situasi di Maluku sendiri, sebagai garis depan, kian memanas menyusul dibentuknya Dewan Papua boneka Belanda. Semagat juang Herlina meledak, lalu memimpin penduduk di sekitar tempat ia tinggal dan melakuakan demonstrasi menentang Dewan Papua dan mengajak bersatu untuk merebut Irian Barat.

Merasa kurang aksi dengan hanya berdemo, diam-diam ia mengajukan permohonan kepada Panglima Kodam XVI Pattimura agar dapat di terjunkan di Irian Barat. Herlina pada waktu pertama kali mendaftar belummemiliki pengalaman terjun, terlebih terjun militer. Akan tetapi hal itu tidak menjadi masalah baginya dan dia pun siap diterjunkan sebagai barang. Panglima Kodam XVI Pattimura akhirnya meluluskan permintaannya, dengan syarat semua ini akan menjadi rahasia antara Herlina dan dirinya.

Si pending emas ini dilahirkan di Malang, Jawa Timur, pada tanggal 24 Februari 1941. Pendidikan SD di Malang (1953); SMP di Jakarta (1956); SMA di Jakarta (1959); Pendidikan Militer Korps Wanita Angkatan Darat (1963-1964); Pendidikan Atase Pers Departemen Luar Negeri. Riwayat pekerjaannya ialah sebagai Pegawai Departemen Pertanian di Jakarta (1955-1956), Anggota Militer Korps Wanita Angkatan Darat (1964), Pegawai Departemen Luar Negeri (1964), diperbantukan Departemen Luar Negeri untuk Operasi Khusus; Komandan Batalyon Sukarelawati Dwikora (1964). Bersama para pejuang Trikora, Herlina dianugerahi tanda jasa oleh Presiden Soekarno berupa Pending Emas, sebuah ikat pinggang dari emas murni seberat 500 gram plus uang Rp. 10 juta. Tetapi semua hadiah itu ditolaknya karena katanya “Saya berjuang untuk bangsa dan negara, bukan mencari hadiah.”

Suri tauladan seperti ini tampaknya sudah sangat sulit kita jumpai saat ini.

Sebagai seorang penulis yang piawai, perjuangan Herlina dalam operasi Trikora dituangkannya dalam buku Pending Emas yang terbit pertama kali pada tahun 1964 dengan kata pengantar dari Presiden Soekarno. Yang menarik, pada edisi cetakan tahun 1985, kata pengantar dari Presiden Soekarno dihilangkan dan digantikan oleh kata pengantar dari Letjen Achmad Taher. Pada buku edisi kedua itu nama Panglima Komando Mandala, Mayjen Soeharto ditulis berulang-ulang dan berbunga-bunga. Padahal dalam buku edisi cetakan sebelumnya Herlina tidak menggambarkan kekagumannya kepada Panglima Komando Mandala itu. Alih-alih, sama sekali tidakdisebutkan nama panglima yang akhirnya menjadi Presiden RI kedua tersebutdi dalam buku edisi pertama.

Selepas masa Trikora, pada tahun 1965 Herlina mendapat tugas dari satuan Opsus (Operasi Khusus) Departemen Luar Negeri untuk menerbitkan surat kabar koran Berita Harian palsu yang akan disebarkan di semenanjung Malaya bersama Taguan Harjo, pelukis komik terkenal dari Medan yang saat itu bekerja di seksi penerbitan Staf Pempen (Pembangunan dan Penampungan) Daerah Militer II Bukit Barisan sebagai pemimpin redaksi. Koran itu dipilih karena di samping populer di Malaysia juga memakai huruf Latin hingga tidak sulit ditiru. Isi koran palsu yang diterbitkan akhir September 1965 itu hampir seluruhnya propaganda anti pembentukan Malaysia. “Semuanya telah ditentukan oleh ‘kantor pusat’ di Jakarta,” cerita Herlina. Urusan penyebaran menjadi tugas Herlina. Untuk mengangkutnya ke Malaysia dipakai enam buah tongkang ikan yang masing-masing berisi lima “nelayan”. Saya sendiri ikut ke Pontian (sebuah pelabuhan kecil di Perak, Malaysia),” kisah Herlina pada majalah Tempo Edisi. 25/XI/22 - 28 Agustus 1981 (tempointeractive.com).

Waktu itu ia menyamar sebagai nelayan yang mengenakan celana panjang hitam, baju kain kasar dan topi lebar.Di Malaysia telah siap kurir yang akan menyebarkan koran tersebut. Sebelum edisi yang kedua sempat terbit, Gerakan 30 September meletus. Penerbitan koran palsu dihentikan. “Di samping itu kita juga sudah memutuskan ingin berdamai dengan Malaysia,” kata Herlina.

Urusan penyebaran menjadi tugas Herlina. Untuk mengangkutnya ke Malaysia dipakai enam buah tongkang ikan yang masing-masing berisi lima “nelayan”. Saya sendiri ikut ke Pontian (sebuah pelabuhan kecil di Perak, Malaysia),” kisah Herlina yang pada masa itu juga menjadi komandan batalyon sukarelawati Dwikora.

Nama Herlina selain tenar dan dikenang sebagai pejuang Trikora yang pemberani sekaligus sukarelawati Dwikora ternyata juga tidak lepas dari kekurangan, hal ini dapat kita lihat dalam catatan arsip salah satu surat kabar pada tahun 1986 ketika kompetisi sepakbola pada waktu itu yaitu Liga Galatama sempat tercoreng akibat skandal pengaturan skor yang dilakukan ofisial klub Caprina (klub Galatama dari Denpasar, Bali) akibat menyuap beberapa pemain Makassar Utama yang pemilik klubnya tidak lain adalah Herlina si pending emas, srikandi pejuang wanita Trikora.

Lama tidak terdengar, kabar terakhir tentang sukarelawati Trikora ini adalah pada saat menghadiri Peringatan 50 Tahun Trikora pada tanggal 19 Desember 2011 lalu, dimana beliau mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan DPR agar mengembalikan nama Papua saat ini menjadi Irian kembali. Nama Irian mengingatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final bagi rakyat Irian. Sebab hal tersebut dapat dibuktikanberdasarkan arsip-arsip yang ada bahwa pada tanggal 1 Mei 1963 United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia hingga kemudian Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Ketika itu, mayoritas rakyat Irian Barat memilih bergabung ke RI.

Nama Papua, kata perempuan kelahiran Malang 70 tahun lalu itu, identik dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Padahal, gerakan separatisme itu yang ditentang oleh para pejuang Trikora atas komando Presiden Soekarno dan operasionalnya dipimpin Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat Mayor Jenderal Soeharto. “Indonesia harus mengembalikan namanya menjadi Irian. Sehingga tidak ahistoris dengan semangat perebutan Kembali Irian Barat ke Bumi Pertiwi yang dilakukan oleh para pahlawan pejuang kemerdekaan,” ujar dia seraya mengingatkan persoalan mengatasi ketidakadilan di Bumi Cendrawasih adalah tugas utama pemerintahan SBY. Terlepas dari sejarah di atas, penggunaan nama Papua menggantikan Irian ditegaskan dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat hingga pada hari ini masih menjadi wilayah NKRI. Apakah penggunaan nama Papua pada masa yang akan datang menjadi ganjalan bagi rakyat Papua ? ataukah justru menjadi spirit bagi rakyat Papua dalam membangun NKRI, ataukah kita perlu kembalikan lagi menjadi Irian seperti kata Herlina si Pending Emas biarlah waktu yang menjawab.

Referensi :

Herlina. 1964. Pending Emas. Gunung Agung.Jakarta

Marching, Soe Tjen. 2011. Kisah di Balik Pintu Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat. Penerbit Ombak.

Sekretariat Negara Republik Indonesia.1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka. PT Citra Lamtoro Gung Persada. Jakarta. Cetakan Ketujuh.

Share:

Postingan Populer KCPI

PROFIL KCPI

Bantu Perjuangan KCPI

Bantu Perjuangan KCPI
Klik Donasi

Entri yang Diunggulkan

KCPI Siap Menjadi Narasumber Wawasan Kebangsaan

KCPI siap memberi materi sebagai Nara sumber Bidang Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan berlatar belakang sejarah perjuangan bangsa kepada ...