Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sahabat Para pejuang Indonesia (Community of National Struggle History Activists and Friends of Indonesian Warriors)

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

Tampilkan postingan dengan label PAHLAWAN PELOPOR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PAHLAWAN PELOPOR. Tampilkan semua postingan

ASAL USUL NAMA TAN MALAKA


Ibrahim dibesarkan di lingkungan keluarga Islamis. Ia lahir dan tinggal bersama kedua orang tua serta seorang adik laki-lakinya di Suliki, Sumatera Barat.

Ayahnya bernama HM Rasad dan ibunya Rangkayo Sinah. Sang ayah bekerja sebagai pegawai pertanian sementara ibunya merupakan orang yang disegani di desanya karena berasal dari keluarga terpandang.

Ibrahim dibesarkan dalam kultur Islam. Belajar mengaji menjadi kegiatan wajibnya sehari-hari.

Saat berusia 16 tahun, desakan terhadapnya datang dari orang tua dan warga kampungnya. Ia diminta menerima dua tawaran yakni diberi gelar Datuk Tan Malaka dan ditunangkan dengan gadis yang telah dipilihkan oleh keluarga.

Namun, Ibrahim menjawab secara diplomatis terhadap dua permintaan itu. Ia mengusulkan hanya menerima salah satu saja dari dua tawaran itu. Jika tawaran yang pertama diterima, maka tawaran yang kedua harus dibatalkan, begitu juga sebaliknya.

Dikutip dari 'Tan Malaka: Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' Karya Masykur Arif Rahman, keberatan dan usul dari Ibrahim dikabulkan oleh keluarganya. Setelah melakukan pertimbangan, keluarga lantas lebih memilih memberikan gelar Datuk Tan Malaka kepada Ibrahim ketimbang menjodohkannya.

Bagi keluarga Ibrahim, gelar lebih penting ketimbang perjodohan. Sejak saat itu, Ibrahim lebih dikenal sebagai Tan Malaka. Namun demikian, Tan Malaka tak pernah menggunakan gelar Datuk di depan namanya.

Keluarganya mungkin tak pernah menyangka nama Tan Malaka di kemudian hari menjadi begitu terkenal di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri Tan Malaka dikenal sebagai pemikir dan pejuang kemerdekaan Indonesia.

Di luar negeri, Tan Malaka dikenal sebagai tokoh komunis asal Indonesia dan menduduki posisi ketua Komunis Internasional (Komintern) wilayah Asia tenggara. Namun sayang, meski memiliki jasa besar bagi perjuangan kemerdekaan dan revolusi Indonesia, nama Tan Malaka nyaris tak dimunculkan dalam sejarah perjalanan bangsa. Tan Malaka menjadi pahlawan yang dilupakan bangsanya sendiri.

Sumber : Merdeka.com
Share:

Raden Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika
Perjuangannya dalam memberikan bekal ilmu pengetahuan dan pendidikan kepada masyarakat luas khususnya kaum perempuan, akhirnya membuahkan penghargaan yang luar biasa dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai seorang Pahlawan Nasional di bidang pendidikan. Itulah Raden Dewi Sartika, sosok perempuan asli dari tanah Pasundan (Jawa Barat) yang semasa hidupnya banyak mengabdikan diri dalam dunia pendidikan terutama pendidikan bagi kaumnya sendiri dengan mendirikan sebuah sekolah bernama “Sakola Kautamaan Istri” (Sekolah Keutamaan Istri). Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu Tahun 2012, Redaksi Tabloid ‘Taman Pramuka’ pada edisi ke-XV, mencoba mengangkat kembali kilas balik sejarah Raden Dewi Sartika, sebagai salah satu tokoh perintis pendidikan di tanah air.

Dewi Sartika yang lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 lalu, adalah anak dari pasangan Raden Somanagara dan Nyi Raden Rajapermas yang merupakan keturunan priyayi Sunda. Sejak kecil, Dewi Sartika telah mendapat pendidikan dasar dari orang tuanya dengan disekolahkan di sekolah Belanda. Namun saat ayahandanya wafat yang juga seorang pejuang kemerdekaan. Dewi Sartika kecilpun dirawat oleh pamannya yang tidak lain adalah seorang Patih di Cicalengka dan melanjutkan pendidikannya di sana. Ketika itulah, bakat sebagai seorang pendidik muncul dalam diri Dewi Sartika kecil, bila ada waktu senggang, Ia menyempatkan diri untuk mengajari baca-tulis anak-anak pembantu yang berada lingkungan kepatihan. Dalam pendidikannya, Dewi Sartika banyak pula mempelajari tentang wawasan kesundaan dari pamannya dan wawasan kebudayaan barat dari seorang Asisten  Residen bangsa Belanda.

Mendirikan ‘Sekolah Istri’ 
Bakat dalam cara Dewi Sartika memberi pelajaran kepada para masyarakat terutama kaum perempuan di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, telah menjadikan semangat dan cita-cita untuk terus berupaya agar anak-anak dan kaum perempuan pribumi bisa mendapat kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan. Semangat dan cita-cita yang besar tersebut, akhirnya Ia upayakan pula ketika kembali lagi menetap di Bandung, dengan dibantu kakeknya R.A.A. Martanegara dan Den Hamer, selaku Inspektur Kantor Pengajaran kala itu, Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah khusus bagi kaum perempuan yang diberi nama “Sekolah Istri” pada 1904.  Sekolah baru tersebut baru berisi dua kelas dengan jumlah murid pertamanya sekitar 20 orang ditambah dua tenaga pengajar yakni Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Karena aktivitas belajar mengajarnya banyak, maka Iapun meminjam beberapa ruangan Kepatihan Bandung sebagai ruang kelas tambahan. Di sekolah tersebut, para murid perempuan ini, diajari mulai dari baca-tulis, berhitung, menjahit, merenda, menyulam, dan pelajaran agama. Tanggapan positif atas berdirinya Sekolah Istri, banyak bermunculan dari masyarakat. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah muridnya terus bertambah. Karena jumlah murid makin banyak, akhirnya bangunan kelas tidak mencukupi lagi dan selanjutnya dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Kemudian, setelah enam tahun berjalan, tepat di 1910, oleh pihak pengelola, nama sekolah yang sebelumnya bernama ‘Sekolah Istri’ diperbaharui menjadi ‘Sekolah Keutamaan Istri’. Tapi semua mata pelajarannya masih tetap seperti sediakala. Diakui, pembangunan sekolah ini, sebelumnya sempat menuai pertentangan, terutama karena budaya ‘pengekangan’ kaum wanita masih kuat dijalankan pada saat itu.  Namun karena niat baik, cita-cita serta kegigihan Dewi Sartika yang tiada putusnya serta kebijakan dari keluarga, maka sekolah tersebut tetap terwujud.

Dewi Sartika Menikah
Di saat yang bersamaan dengan perjalanan perjuangannya ingin mengentaskan kebodohan bagi kaum perempuan pribumi, Dewi Sartikapun menemukan jodohnya yaitu Raden Kanduruan Agah Suriawinata seorang Guru di Sekolah Karang Pamulang. Kemudian mereka menikah pada 1906.

Sekolah Keutamaan Istri’ Banyak Di Dirikan
Karena penilaian positif terhadap upaya pengembangan sumber daya kaum perempuan pribumi melalui dunia pendidikan yang di rintis Dewi Sartika begitu besar. Akhirnya banyak diantara kaum perempuan Sunda yang memiliki cita-cita dan harapan yang sama mendirikan ‘Sekolah Keutamaan Istri’ di beberapa tempat. Sekitar 9 sekolah berdiri di Kota Kabupaten se- Pasundan. Termasuk yang didirikan di Bukit Tinggi Sumatera Barat oleh Encik Rama Saleh.

Dewi Sartika Dianugrahi Bintang Jasa
Atas jasa-jasanya memperjuangkan hak kaum perempuan pribumi dalam bidang pendidikan terutama di tanah Pasundan. Pada September 1929, dalam acara peringatan 25 Tahun berdirinya ‘Sekolah Keutamaan Istri’,yang sekaligus dirubah namanya menjadi ‘Sakola Raden Dewi’, Dewi Sartika mendapat penghargaan dari Pemerintah Kerajaan Hindia-Belanda berupa Bintang Jasa. Namun perkembangan Sekolah yang Ia bina sejak masih remaja dan telah banyak bermunculan di mana-mana, tidak membuat dirinya kuat untuk terus mengembangkannya. Tepat di usia ke 62 tahun, pada 11 September 1947, Dewi Sartika meninggal dunia di Tasikmalaya dan oleh keluarga serta kerabat dan para sahabatnya, almarhumah dimakamkan di pemakaman Cigagadon Desa Rahayu Kecamatan Cinean. Namun tidak lama kemudian jasadnya dipindahkan ke pemakaman Bupati Bandung Jalan Karang Anyar Kota Bandung. Atas jasa-jasanya pula, Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada 1 Desember 1966 menganugrahkan kepada Raden Dewi Sartika gelar Pahlawan Nasional. 
Share:

Profil Cut Nyak Dien – Biografi Foto Pahlawan Nasional Indonesia




Foto Cut Nyak Dien (Menunduk)

Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan Indonesia sebelum kebangkitan nasional. Cut Nyak dien lahir di Lampadang, Aceh pada tahun 1985. Meninggal di Sumedang pada 6 November 1908. Dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat.

Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Cik Ibrahim Lamnga pada usia 12 tahun. Suami Cut Nyak Dien gugur dalam pertempuran di Gletarum pada Juni 1878. Cut Nyak Dien bersumpah tidak akan menerima pinangan dari laki-laki manapun kecuali laki-laki tersebut bersedia membantu Cut Nyak Dien untuk balas dendam atas kematian suaminya, Teuku Ibrahim.

Pada tahun 1880, Akhirnya cut Nyak Dien menikah lagi dengan seorang laki-laki yang bernama Teuku Umar, ia adalah seorang pejuang yang cukup disegani oleh Belanda. Mulai sekitar September 1893 – Maret 1896 Cut Nyak Dien selalu berjuang bersama sang suami.

Untuk mendapatkan senjata dan berbagai peralatan perang lainnya. Teuku umar berpura pura bekerja sama dengan belanda. Sedangkan istrinya, Cut Nyak Din berjuang secara langsung melawan belanda di Wilayah kampung halaman Teuku Umar. Setelah belanda mengetahui bahwa Teuku Umar berpura pura, Teuku umar bergabung lagi dengan para pejuang

Teuku Umar gugur dalam pertempuan di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Meskipun suaminya telah meninggal dunia, CUt Nyak Dien tetap melanjutkan perjuangannya melawan Belanda dengan bergerilya. Cut Nyak Dien tidak pernah mau berdamai dengan pihak belanda yang disebutnya sebagi kafir-kafir. Pejuangan cut nyak din dengan bergerilya sangatlah berat karena ia harus keluar masuk hutan. Hal ini menyebabkan ia dan para pasukannya pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Cut Nyak Dien kemudian menderita sakit encok dan mata mengalami rabun. Para pengawal merasa kasihan melihat kondisi Cut Nyak din. Akhirnya mereka membuat kesepatan dengan belanda. Mereka nyatakan bahwa Cut nyak dien boleh ditangkap asal diperlakukan sebagai manusia terhormat dan bukan sebagai penjahat perang. Meskipun status cut nyak din sebagai tawanan, namun ia masih sering didatangi oleh para tamu. Belanda yang curiga melihat tingkah laku Cut Nyak din mengasingkannya ke Sumedang pada tanggal 11 Desember 1905.

Cut Nyak dien meninggal di pengasingan. Ia dikenal sebagai pejuang wanita yang berhati baja dan ibu bagi rakyat aceh. Atas jasa jasanya, Cut Nyak Dien diberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 106/1964.


Share:

Rojali Jawara Betawi

Kopiah hitam merah beludru Miring ke kanan Menutup kepala berambut ikal Di dalamnya tersimpan jimat pelenyap tubuh. Kumis setebal akar bahar di lengan Mata merah belo Persis akik darah di tangan.

Sepucuk pistol bekas rampasan nica Dan sebuah golok terselip di kanan kiri pinggang Yang dililit sabuk kedot kebal.

Mat Item :

Senterklas sohor Betawi kulon Benggolan tulen tukang santron jangan coba sebut sembarang nyebut jin angin dapat mengantarnya kemana dia suka. Mat Item suka menyelam dalam lautan malam Dan muncul seketika di depan pintu Warung babah gendut di bilangan Tanggerang, Muara Karang, Pesing, Angke, dan Rawa Buaya. Atau mampir melepas cumbu Ke rumah janda dan istrinya di Srengseng, Kedoya, Kreo, Serpong, Lengkong, dan Maruya.

jika Mat Item nyamper Centeng petenteng pada keder Bandar judi keprok dan sintir Kudu nyetor. Buntelan hasil jarahan disebar Untuk pengganjal perut tipis lesak Sisa kurban jaman jepang. Judas Eskariot mata recehan Diam-diam mengintip dalam barisan.

Segepok captunan dari kepolisian Menaklukan jimat kesaktian. Dua puluh letusan tapak jalak Menghujam di tubuh kekar hitam Tanpa balutan. Darahnya menyatu dalam gulungan arus Kali Angke Sebagian jasadnya dimoyak dan dilempar Ke berbagai tempat jin buang anak. Salah satunya tertanam di pemakaman Enclek Tanggerang

Pada nisannya tertulis:

H. Mubamad Item
alias: Mat Item
Wafat 12 - 2 - 1953.
Share:

Postingan Populer KCPI

PROFIL KCPI

Bantu Perjuangan KCPI

Bantu Perjuangan KCPI
Klik Donasi

Entri yang Diunggulkan

KCPI Siap Menjadi Narasumber Wawasan Kebangsaan

KCPI siap memberi materi sebagai Nara sumber Bidang Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan berlatar belakang sejarah perjuangan bangsa kepada ...