Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sahabat Para pejuang Indonesia (Community of National Struggle History Activists and Friends of Indonesian Warriors)

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

Tampilkan postingan dengan label PAHLAWAN KEMERDEKAAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PAHLAWAN KEMERDEKAAN. Tampilkan semua postingan

Pahlawan Nasional dari Papua J.A Dimara


Pemerintah menetapkan dua tokoh sebagai pahlawan nasional. Dua tokoh yang ditetapkan yakni DR Johannes Leimena dari Maluku dan Johannes Abraham (JA) Dimara dari Papua. 

Siapakah Dimara? Rupanya banyak yang tidak tahu. Pahlawan nasional Johane Abraham Dimara lahir di desa Korem Biak Utara pada tanggal 16 April 1916. Dia adalah putra dari Kepala Kampung Wiliam Dimara. Ketika mulai beranjak besar (13 tahun), ketika masih disekolah desa, dirinya diangkat anak oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi dan dibawa kekota Ambon.

Anak Biak yang tumbuh cepat dengan postur atletis ini mulai masuk agama Kristen dan diberi nama Johanes Abraham. Nama kecilnya Arabel berganti Anis (dari Johanes) Papua (berasal dari Irian). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Dimara pada tahun 1930. Selanjutnya masuk sekolah pertanian dan selesai tahun 1935.

Sesuai dengan pendidikannya pada sekolah Injil yang dilakukannya setelah tahun 1935 (saat itu usianya mendekati 20 tahun), dirinya kemudian menjadi tokoh dalam profesi nya lebih lanjut yaitu guru agama Kristen. Dia menjadi guru penginjil di kecamatan Leksula, Maluku Tengah . Tepatnya di pulau Buru. Ketika zaman Jepang tiba, Dimara masuk menjadi anggota Heiho. Ketika Indonesia merdeka, Dimara bekerja dipelabuhan Namlea Ambon. Pada suatu hari ditahun 1946, masuk kapal Sindoro berbendera Merah Putih.

Sebenarnya ini adalah kapal yang membawa sejumlah Anggota ALRI asal suku Maluku dari Tegal. Maksudnya melakukan penyusupan di Ambon untuk memberitakan peristiwa Proklamasi dan tentu saja berjuang. Komandan pasukan ini adalah Kapten Ibrahim Saleh dan jurumudi Yos Sudarso (kemudian jadi Laksamana dan gugur di laut Aru). Dimara sebagai anggota polisi, ditugaskan untuk meneliti kapal RI ini. Maka terjadi pembicaraan diatas kapal, khususnya dengan Yos Sudarso. Pihak RI minta bantuan agar kapal bias mendarat penuh. Merasa insting nasionalismenya bangkit, Dimara bersedia membantu. Tapi menganjurkan agar kapal didaratkan di Tanjung Nametek sekitar satu kilometer dari namlea. Selanjutnya Dimara membantu perjuangan RI. Sempat ditangkap dan dipenjara bersama para pejuang Indonesia lainnya.

Tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan, bergabung dengan Batalyon Patimura APRIS dan ikut dalam penumpasan RMS. Pada suatu hari dalam kunjungan ke Makasar (sekitar tahun 1950-an), Presiden Soekarno menengok pasien di Rumah sakit Stella maris. Ketika itu Dimara sedang dirawat di Rumah sakit Stella Maris itu. Itulah pertama kali Dimara bertemu Presiden RI. Tidak terasa waktu berjalan cepat dan tahun 60-an RI berjuang untuk mengembalikan Pulau Irian bagian barat kedalam pangkuan Ibu Pertiwi.

Dimara adalah salah seorang pejuang yang ikut dalam pembebasan Irian Barat. Dirinya adalah anggota OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat). Sungguh jasanya tidak kecil karena dalam operasi di Kaimana, dia sempat ditangkap dan terluka. Dimara adalah saksi hidup perjuangan RI didaerah timur dan pangkatnya Mayor TNI menjelang pensiun. Pada tahun 2000 dirinya ditemui Wapres Megawati dirumah kontrakan sederhanaya didaerah Slipi. Meskipun pernah menjadi anggota DPA, Dimara orang sederhana yang mencintai Tanah Air Indonesia dan Bendera Merah Putih. Pada tanggal 20 Oktober 2000, Johanes Dimara tutup usia.

Share:

Presiden Soekarno

Presiden Soekarno

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.


Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi".

Detik Detik Kematian Sang Presiden
- Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.

- Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

- Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

- Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

- Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu

- Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

- “Pak, Pak, ini Ega…”

- Senyap.

- Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

- Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

- Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

- Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim
dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

- Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

- “Hatta.., kau di sini..?”

- Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

- “Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”

- Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

- Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

- Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

- Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

- Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

- “No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

- Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

- Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

- Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka. Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

- Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

- Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.

- Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

- Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

- Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

- Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Kata Kata Bijak Soekarno

Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak. [Pidato HUT Proklamasi, 1963]
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961)
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.
Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.
Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.
……….Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan……
Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.
Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia
Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya
Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.
Share:

Mayor Daan Mogot


Daan Mogot (lahir di Manado, 28 Desember 1928 – meninggal di Lengkong, Tangerang, 25 Januari 1946 pada umur 17 tahun) adalah seorang pejuang dan pelatih anggota PETA di Bali dan Jakarta pada tahun 1942. Setelah Perang Dunia ke-2 selesai, ia menjadi Komandan TKR di Jakarta dengan pangkat Mayor. Bulan November 1945 menjadi pendiri sekaligus Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) dalam usia 17 tahun. Ia gugur di Hutan Lengkong bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara Jepang saat hendak melucuti senjata mereka di Hutan Lengkong di Tangerang.

Daan Mogot lahir di Manado pada tanggal 28 Desember 1928 dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien) dengan nama Elias Daniel Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut).

Pada tahun 1939, yaitu ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia (Jakarta sekarang) dan menempati rumah di jalan yang sekarang bernama Jalan Cut Meutiah – Jakarta Pusat. Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang.

Pada masa Pendudukan Jepang, ia masuk dalam organisasi militer pribumi bentukan Jepang di Jawa, yaitu Pembela Tanah Air atau PETA. Waktu itu tahun 1942, ia menjadi anggota PETA angkatan pertama. Sebenarnya usia Daan Mogot belum memenuhi syarat yang ditentukan pihak Jepang yakni 18 tahun. Waktu itu ia berumur 14 tahun.

Karena prestasinya, ia diangkat menjadi pelatih anggota PETA di Bali, kemudian dipindahkan di Jakarta. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat sejati yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis.

Mereka yang berasal dari Seinen Dojo oleh instruktur Jepang diangkat sebagi Instruktur Pembantu. Sebab, latihan yang akan diberikan kepada mereka jauh lebih ringan dari latihan yang pernah diterima pada masa Seinen Dojo di Tangerang. Pendidikan dan latihan itu dapat terlaksana sampai empat angkatan. Angkatan pertama mulai bulan Desember 1943 dan angkatan keempat, terakhir selesai bulan Juli 1945, sebelum Jepang takluk pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.

Ada 50 orang yang diambil dari peserta latihan angkatan pertama untuk mengikuti pendidikan “guerilla warfare” di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Di antara mereka yang ikut latihan khusus itu adalah Daan Mogot, Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Satibi Darwis dan Effendi. Jenis latihan yang diberikan antara lain bagaimana cara memelihara burung merpati, karena burung itu dapat dipergunakan untuk alat komunikasi. Di samping itu mereka dilatih bagaimana menggunakan senjata yang baik untuk menghadapi lawan.

Setelah ke-50 orang itu dilantik menjadi perwira, mereka tidak lagi bertugas sebagai Instruktur Pembantu, melainkan menjadi Shodancho.

Setelah dilantik menjadi perwira PETA, masing-masing perwira dikembalikan ke daerah asalnya. Di Bali, Daan Mogot, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan serta melatih para calon PETA di sana. Alasan Jepang mendirikan PETA di Bali, karena Bali dianggap merupakan daerah pertahanan dan tempat pendaratan. Untuk itu kekuatan dipersiapkan, terutama di daerah Nagara dan Klungkung. Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot melatih di Tabanan, Kemal Idris di Nagara dan Zulkifli Lubis di Klungkung. Sekalipun ketiga sahabat itu terpisah-pisah tempat tugasnya, namun mereka selalu mengadakan kontak, baik membicarakan hal yang berhubungan dengan latihan maupun tentang nasib rakyat yang sedang menderita di bawah telapak penjajah. Kegiatan latihan yang spesifik saat itu ialah mempersiapkan pertahanan guna menghadapi serangan musuh di pantai. Selama setahun para Shodancho di Bali menjalankan tugas dengan baik. Tahun selanjutnya mereka harus berpisah. Empat orang Shodancho harus kembali ke Jawa, sedangkan Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris yang tetap tinggal. Mereka bertindak sebagai instruktur PETA, memberikan latihan kepada calon-calon perwira hingga mereka mahir dalam berbagai bidang ketentaraan.

Pada tahun 1945 ketika Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Ini suatu keunikan pada masa itu, karena Mayor Daan Mogot baru berusia 16 tahun

Di sana Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Keresidenan Jakarta, empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya. Sejumlah perwira yang bergerak di situ adalah Singgih, Daan Yahya, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin (Resimen Cikampek), Darsono (Resimen Cikampek), dan lain-lain.

Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan Lengkong-Serpong Tangerang Banten, ketika Taruna Akademi Militer Tangerang yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang tanggal 25 Januari 1946.

Ironisnya, sementara ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan rela gugur di medan pertempuran, ayahnya tewas dibunuh para perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda.

Sebagai sponsor terwujudnya gagasan mendirikan sekolah akademi militer, maka tanggal 18 November 1945 ia dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Ide mendirikan sebuah akademi militer ini memang seperti yang diangan-angankan oleh Daan Mogot.

Ide pendirian Militer Akademi Tangerang itu datang dari empat orang: Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin.

Pada tahap awal ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Ada di antara mereka yang menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang Taswin bertugas di staf sedangkan Kemal Idris di pasukan.

Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.

Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.

Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.

Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan.

Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.

Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.

Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna Akademi Militer Tangerang, meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong.

Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.

Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.

Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.

Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas mau diapakan.

Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain para perwira dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agus Salim yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.
Share:

Letnan Jendral Urip Sumoharjo


Letnan Jenderal Urip Sumohardjo (lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 23 Februari 1893 – meninggal di Yogyakarta, 17 November 1948 pada umur 55 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia dan pahlawan nasional Indonesia.

Beliau dimakamkan di TMP Semaki, Yogyakarta.

Namanya kini digunakan sebagai nama salah satu jalan besar di kota Yogyakarta, sebagai bentuk penghormatan bagi beliau. Ketika Pemerintahan Indonesia baru berdiri, Presiden Soekarno mendirikan BKR sebagai pennegak hankam, bukan suatu tentara militer, Letjen Oerip Soemohardjo pun terheran dan berkata : "Aneh, satu negara Zonder tentara" sebagai bentuk keheranannya

Lahir di Purworejo, 22 Februari 1893. Dengan pangkat Letnan Dua KNIL ia menjalani dinasnya di Kalimantan selama 7 tahun.

Sebagai perwira, ia dinilai cukup berhasil terutama dalam tugas-tugas patroli. Ia satu-satunya orang Indonesia yang mencapai pangkat mayor dalam KNIL, namun ia tidak menyetujui semua tindakan pemerintah jajahan seperti diskriminasi. Di Banjarmasin ia memprotes peraturan yang melarang pewira Indonesia memasuki kamar bola. Di Balikpapan Oerip pun menantang peraturan yang melarang orang-orang Indonesia naik kereta api milik BPM.

Tanggal 31 Agustus 1938 di Purworejo dilangsungkan upacara ulang tahun Ratu Wilhelmina. Oerip diangkat sebagai ketua panitia. Salah seorang undangan yakni Bupati Purworejo datang terlambat. Ia melarang Bupati memasuki tempat upacara. Kasus tersebut dilaporkan kepada Departemen Perang, ternyata Oerip disalahkan. Kemudian ia dipindahkan ke Gombong, karena merasa tidak bersalah, dengan perantaraan telpon ia minta berhenti dari dinas militer.

Setelah PD II, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan mobilisasi. Ia mendaftarkan kembali dan disserahi tugas memimpin depo Cimahi. Tahun 1942 semua tentara Belanda ditawan Jepang, termasuk Oerip. Setelah Oerip dibebaskan, Jepang menawarkan jabatan sebagai komandan polisi namun ia menolaknya.

Saat Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia masih berada di Gentan, tidak jauh dari Yogyakarta. Sementara teman-temannya bekas KNIL yang berada di Jakarta mengusulkan kepada Pemerintah agar ia diangkat menjadi pimpinan TKR.

Selanjutnya Oerip mengumpulkan teman-temannya bekas KNIL untuk bersama-sama membuat atau mengeluarkan pernyataan tidak terikat lagi dalam dinas KNIL. Pernyataan itu ditandatangani 13 orang.

Tanggal 15 Oktober ia diangkat menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letjen. Tugas yang dihadapi cukup berat, jumlah tentara cukup banyak sedangkan organisasinya belum teratur.

Dalam keadaan demikian, TKR masih belum mempunyai pimpinan tertinggi yang bertanggungjawab secara penuh. Untuk mengatasi hal itu, pada bulan November 1945, ia mengundang para komandan divisi ke Yogyakarta untuk mengadakan rapat. Acara tunggal ialah memilih seorang panglima TKR. Tokoh yang terpilih ialah Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V Banyumas.

Peristiwa ini merupakan hal yang unik dalam sejarah perkembangan TNI, yaitu panglimanya tidak diangkat oleh pemerintah namun dipilih oleh anggauta-anggautanya sendiri.

Ini memperlihatkan pula bahwa pemerintah pada masa itu kurang menaruh perhatian terhadap pembinaan tentara . Hal ini sangat disesalkan oleh Oerip. Satu bulan kemudian Pemerintah baru menyetujui dan tanggal 18 Desember 1945 Kol. Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal. Oerip tetap sebagai Kepala Staf Umum dengan pangkat Letjen.

Untuk penyempurnaan lebih lanjut dibentuk Panitia Besar Reorganisasi Tentara. Oerip duduk sebagai anggauta. Di sini buah pikirannya banyak dipakai. Hasil kerja panitia itu disetujui pemerintah, untuk kedua kalinya pada tanggal 20 Mei 1946 Letjen Oerip dikukuhkan sebagai Kepala Staf Umum TRI.

Hubungan antara TRI dengan Laskar-laskar ini tidak selalu berjalan lancar. Seringkali terjadi persaingan antara keduanya dan tentu saja keadaan itu merugikan perjuangan. Banyak komandan divisi tidak bersedia menyerahkan kekuasaan kepada penggantinya seperti yang sudah ditetapkan oleh Panitia Besar Reorganisasi. Hal itu cukup memusingkan Oerip.

Oerip menentang kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu menilai rendah Angkatan Perangnya sendiri. ia mengundurkan diri dari jabatan Kepala Staf Angkatan Perang dan dinas militer. Namun pemerintah masih mengangkatnya sebagai Penasehat Militer Presiden.

Apa yang sejak semula diduga dan dicoba Oerip dan Soedirman untuk mencegahnya, akhirnya terjadi pula. Tanggal 18 September 1948 PKI melancarkan pemberontakan di Madiun. Angkatan perang terpecah. Sebagian berpihak kepada pemberontak, sebagian lagi tetap setia kepada Pemerintah. Oerip tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus istirahat di rumah sakit, kemudian meninggal dunia, Sebagai pengahargaan atas jasa-jasanya, pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Kemerdekaan.

Penataan Angkatan Perang di awal Kemerdekaan bukan perkara yang mudah bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Begitu pula penataan di tubuh TNI dan POLRI setelah lengsernya Soeharto ! Ya, di bidang apa pun masa-masa peralihan dan penataan kembali pasti dihadapkan oleh berbagai kepentingan. Keadaan seperti ini bisa menjadi terpecah-pecah dan melahirkan kawan menjadi lawan. Begitu pun sebaliknya !
Share:

Postingan Populer KCPI

PROFIL KCPI

Bantu Perjuangan KCPI

Bantu Perjuangan KCPI
Klik Donasi

Entri yang Diunggulkan

KCPI Siap Menjadi Narasumber Wawasan Kebangsaan

KCPI siap memberi materi sebagai Nara sumber Bidang Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan berlatar belakang sejarah perjuangan bangsa kepada ...